Sabtu, 16 Mei 2015

Touring dari Bogor ke Jawa Timur

Pemandangan di Penanjakan Bromo


Bromo. Nama gunung itu demikian akrab di telingaku. Meski sering membaca berita di berbagai media tentang kecantikan gunung ini, tapi kakiku belum pernah menjejak Jawa Timur, propinsi di mana gunung tersebut berada. Selain Bromo, pesona alam Jawa Timur lainnya   membuat aku dan Akang menjadikan propinsi itu sebagai tujuan touring tanggal 7-12 Mei 2015 lalu.  


Jarak yang jauh antara Bogor dan Jawa Timur membuat touring memakan waktu  lebih lama. Kami memperkirakan perjalanan akan memakan waktu 5 hari, sehingga kami membawa pakaian cukup banyak.  Bagasi  motor yang terbatas memaksa kami harus memilih  barang bawaan lebih cermat. 

Berhubung kondisi jalan di Indonesia banyak yang rusak, kami memilih menggunakan motor berjenis enduro adventure berkapasitas mesin 650 cc. Sementara ini si Kuning, begitulah aku menyebutnya, adalah motor andalan kami,  primadona di antara dua motor lainnya yang berkapasitas 250 cc dan 1800 cc. Si Kuning  mampu melaju dalam berbagai kondisi jalan, baik jalan mulus maupun jalan buruk.  Berbeda dengan si 1800 cc yang lebih “manja”,   tak mampu dengan mudah melewati jalanan rusak. Sementara si 250 cc lebih nyaman dipakai di dalam kota.

Touring kali ini kami lakukan bersama Pak Yugen dan istrinya. Pasangan senior ini rencananya akan bertemu kami  di Karawang.

Aku senang bisa kembali touring bersama Pak Yugen dan istrinya. Pasangan ini bukan saja senoir di bidang touring dan motor besar. Tapi dalam membina rumah tangga pun mereka patut dijadikan teladan. Kisah cinta rumah tangga mereka aku tulis dalam postingan khusus "Ajari Kami Cinta."

Bogor-Solo

Tanggal 7 Mei 2015, pukul 5.00 WIB, aku dan Akang memulai perjalanan menuju Jawa Timur. Kami melintas jalanan Bogor, kemudian melewati Jl. Babakan Sentul Cikeas, masuk ke jalan kecil Kampung Gudang, Jl. Mayor Oking Citeureup lalu masuk ke jalan pintas melewati  sebuah kompleks pabrik semen Jl. As Salam Muhara. Jalan itu mula-mula berbeton mulus tapi kemudian berubah menjadi jalan tanah yang sepi, berdebu.  


Salah satu segmen jalan rusak di Lebak Pasar

Kemudian kami masuk perkampungan. Di desa Lebak Pasar, jalan  rusak parah dengan batu-batu besar menyembul di bagian tengah dan pinggir. Si Kuning  berayun-ayun meliuk memilih jalan yang lebih baik.  Letak knalpot yang rendah dan shock breaker si Kuning yang sangat lembut  menimbulkan masalah. Knalpot terantuk batu besar. Suara si Kuning yang tadinya  halus berubah meraung-raung. 

“Aduh, baru saja berangkat sudah ada hambatan. “ Keluhku.

“Tidak apa-apa. Nanti kalau ada bengkel kita berhenti. “ Sahut Akang menenangkan.

Di bengkel motor Desa Kelapa Nunggal


Si Kuning terus melaju membelah perkampungan. Di desa Kelapa Nunggal  kami menemukan bengkel motor yang sudah buka. Akang dan montir bengkel bekerja sama memperbaiki knalpot si Kuning sementara aku duduk mengawasi mereka. Tak lama kemudian, perbaikan selesai. Suara si Kuning kembali halus. Perjalanan pun berlanjut. 

“Alhamdulillah perbaikannya cepat ya, Kang.Tidak seperti waktu kita touring ke Palembang. Butuh dua jam  memperbaiki knalpot si Kuning. “ 

“Itu karena kasusnya beda. Waktu touring ke Palembang itu rusaknya lumayan parah, knalpotnya penyok. Sekarang tidak seperti itu. “ Sahut Akang.

Rupanya kami terlalu cepat merasa gembira. Masih ada  jebakan batman, jalan rusak parah   kembali menghadang. Sekali lagi  knalpot si Kuning menghantam batu besar! Kumat deh. 

Tak ada bengkel motor lagi sepanjang perkampungan itu. Kami pun terus melaju  meski si Kuning berteriak-teriak berisik.

Menyusuri sisi kanal

Keluar dari jalan kampung, kami melewati bendungan Cibeet yang terletak di Pasarranji Cikarang Bekasi, lalu menyusuri jalan di sisi kanalnya. Sampai Karawang, Akang menghentikan motornya lalu menghubungi Pak Yugen. 

Kami tak berhasil menemukan lokasi di mana Pak Yugen berada. Lalu kami berhenti di sebuah kios yang bersebelahan dengan bengkel motor. Akang kembali menghubungi Pak Yugen sambil menunggu perbaikan si Kuning.

Untuk bertemu teman touring kali ini  ternyata cukup rumit. Pak Yugen mengatakan dia menunggu di sebuah rumah makan dekat penjual oleh-oleh. Masalahnya kami tak menemukan rumah makan itu, dan Pak Yugen sendiri bingung ketika ditanya di mana tepatnya lokasi rumah makan itu.

“Bisa kirim koordinat rumah makan itu lewat google maps, Pak? “ Tanya Akang.

Pak Yugen bingung. Tak seperti kami yang mengandalkan GPS, google maps dan internet, Pak Yugen yang berbeda generasi lebih percaya cara konvensional. Akhirnya disepakati kami bertemu di rumah makan Pesona Laut di Indramayu.

Ketika  bertemu Pak Yugen dan istrinya, tanpa menunggu lama, kami langsung melanjutkan perjalanan.  Sudah cukup banyak waktu terbuang karena urusan ke bengkel dan saling menunggu. 

Pak Yugen dengan motor berjenis enduro adventure berkapasitas 1200 cc memimpin sebagai Road Captain. Pengalaman sebagai biker senior dengan jam terbang  tinggi dibuktikan Pak Yugen dengan kepiawaiannya  mengendarai motor. Satu hal yang tetap kami pegang teguh dalam perjalanan ini adalah patuh pada semua peraturan lalu lintas yang berlaku. Bagaimana pun keselamatan tetap nomor satu. 

Cuaca cerah. Jalur Pantura pun lancar tanpa macet. Kami melewati Plumbon, Plered, Cirebon lalu masuk ke gerbang Jawa Tengah pukul 12.15 WIB. 

Tak mudah mencari rumah makan yang bagus di wilayah ini. Sedih juga melihat beberapa bangunan rumah makan besar dan megah, tapi  tutup. Kawasan pantura  tak seramai dulu lagi. Imbasnya terkena pada rumah-rumah makan yang gulung tikar kekurangan pembeli.  Sampai di Brebes kami  belum berhasil  menemukan tempat makan yang layak. Akhirnya kami berhenti di masjid Jami Al Munawaroh di wilayah Kluwut Bulakamba Brebes.

Masjid Al Munawwaroh

Air wudhu terasa menyejukkan kulit, efeknya bahkan terasa di tubuh dan jiwa. Hati rasanya tentram setelah melaksanakan shalat Dzhuhur dan Ashar   dijamak. 

“Kita nanti menginap di mana, Pak? “Tanyaku pada sang Road Captain.

“Kita menginap di Solo. Hotelnya bagus. Teman saya, anak motor juga yang merekomendasikan. “ Sahut Pak Yugen sambil tersenyum.

“Lokasinya di mana, Pak?” Tanyaku lagi.

Pak Yugen meraih ponselnya. Dia membaca kembali sms dari temannya.

“Di sebelah hotel Lor In. “ Jawabnya.

Aku dan Akang  berpandangan sambil tersenyum. Pak Yugen seperti biasanya, kurang detail menjelaskan lokasi. Akang kemudian browsing, dan mendapatkan alamat hotel itu.

Nasi Sop Iga

Kami makan siang dengan menu sop iga disebuah kedai yang bersebelahan dengan masjid. Setelah makan dan istirahat sebentar, roda motor kami kembali menggilas jalan.

Gerbang Pemalang

Setelah melintasi Tegal, Pemalang dan Pekalongan, di Jalan Raya Plelen Gringsing,  kami berhenti. Di sana terdapat kedai berderet-deret menjual kelapa muda. Udara yang panas menyengat sepanjang siang  membuat kami kehausan. Minum kepala muda terasa  membantu kondisi tubuh kembali segar. Haus hilang, ion tubuh pun tergantikan.

Istirahat di Grinsing

Jam menunjukkan pukul 17.00.  Motor melaju melewati Batang, Kendal dan  dan pinggiran Semarang. Di sisi Rumah Sakit Columbia Asia, kami dihadang kemacetan. Truk-truk besar, trailer, mobil dan motor bercampur baur tak karuan. Pak Yugen menyelinap di antara truk dan bus besar, kemudian motornya hilang dari pandangan. Sedikit demi sedikit kami maju melalui celah di antara
kendaraan, lalu bingung menentukan arah.  Di sana ada 6 simpang jalan! Sejak tadi kami mengandalkan sang Road Captain sebagai penunjuk arah.  Kami tak menggunakan GPS. Sekarang Pak Yugen tak tampak lagi. 

Akang bingung,  dia membawa si Kuning melaju lurus. Kemacetan terurai. Tapi selama beberapa saat melaju, kami tak melihat Pak Yugen. 

Akang menghentikan motor lalu menyalakan GPS. Ternyata kami salah jalan! Kemudian kami mengambil jalan berputar arah lalu naik ke fly over. 

“Ya Allah, Neng. Salah jalan lagi. Mestinya kita tidak usah naik fly over, langsung ke kiri saja.  Coba lihat itu petunjuk jalan menuju Solo. Kita harus putar arah lagi.” Seru Akang.

“Kenapa kita tadi tidak melihat petunjuk jalan yang terpampang sebesar itu ya? “Tanyaku heran.
“Tadi tertutup badan  truk besar. “ Sahut Akang.

Setelah berputar, kami memilih arah ke Solo. Akang melaju terus mengikuti petunjuk jalan, tapi Pak Yugen tak juga tampak. 

Sejak berangkat setelah minum kelapa muda di Grinsing tadi, aku merasa tak enak. Helmku terasa sangat kencang mencengkram kepala. Efeknya makin lama terasa di gigi, syaraf gigi terasa nyeri berdenyut-denyut.  Aku berusaha membetulkan letak helm,  terasa ada rambut yang tertarik-tarik oleh dalaman hijab yang terjepit di helm. Rasa sakit itu makin menyiksa, apalagi bila tubuh terayun-ayun oleh kondisi jalan yang tidak rata, nyerinya makin kuat.

“Akang, bisa berhenti sebentar nggak? Kepala Neng sakit, sepertinya ada rambut yang tertarik mempengaruhi syaraf, jadi nyeri." 

“Ya kita berhenti di depan sekalian Akang mau menelepon Pak Yugen. “ Sahut Akang.

Di depan  sebuah rumah makan kami berhenti. Aku melepas helm dan kemudian melepas dalaman hijab yang menyiksaku sedari tadi. Untung saja melepas dalaman hijab bisa kulakukan tanpa melepas hijab.

Ingatlah kawan, untuk perjalanan yang jauh dengan motor, sebaiknya yakinkan kita mengenakan helm dengan nyaman tanpa ada bagian rambut yang tertarik. Perlu diperhatikan juga ukuran helm yang dikenakan, jangan terlalu sempit. Saat ini memang aku menggunakan helm yang satu ukuran lebih kecil dari helm yang biasa kukenakan. Akibatnya sungguh tak nyaman.

Akang kembali menghubungi Pak Yugen. Menurut Pak Yugen dia ada di sebuah SPBU. Tapi dia tak bisa menyebutkan dengan jelas lokasi SPBU itu. Aku dan Akang akhirnya menyambangi setiap SPBU yang kami temui. Hingga 3 SPBU kami datangi, tetap saja kami tak menemukan Pak Yugen.
Kami tiba di gerbang Ungaran. Akang menghentikan si Kuning di pinggir jalan di depan sebuah kedai soto. Dia kembali menghubungi Pak Yugen. 

“Sementara menunggu Pak Yugen, kita makan soto yuk, Kang.”

“Ya. Pesankan satu untuk Akang juga ya, Neng.” Teriak Akang. Dia berdiri di pinggir jalan mengawasi kendaraan yang lewat, menanti Pak Yugen.

Soto ayam kampung panas mengepul, ditambah sate ayam dan sate kerang. Hmm, nikmat.

Soto Ayam Kampung Pak No Ungaran

Selesai menyantap soto, Akang ke toilet. Aku duduk menunggu sambil menghirup teh panas. 

Tiba-tiba terdengar keributan dari arah jalan.

“Motornya! Tolong motornya!” Teriak seseorang.

Aku menoleh, kulihat sebuah trailer berukuran panjang dan tinggi penuh bermuatan motor bebek hendak menikung hampir saja menyerempet si Kuning yang terparkir di pinggir jalan.

Yang berteriak adalah sopir trailer.  Pelayan warung soto berlari-lari ke arah si Kuning. Di berusaha memindahkan motor itu. Detik berikutnya aku tahu bahwa sang pelayan warung  tak akan mampu menahan berat si Kuning . Benar saja, kuda  besi berbobot 206 kg  itu hampir roboh dan sang pelayan  berteriak panik.

“Akang! Cepat! Itu Si Kuning hampir jatuh!” Teriakku panik.

Seorang laki-laki dari warung sebelah melesat berlari membantu pelayan, lalu Akang yang baru keluar dari toilet bergegas menghampir dua pria yang kerepotan menahan berat si Kuning. Ah, untung saja  tak jadi jatuh. Setelah Akang memindahkan motornya, trailer besar itu bergerak pergi.
Pak Yugen akhirnya tiba. Setelah istirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan melewati Ungaran, Salatiga, Boyolali dan Solo.

Akang kini memimpin di depan. Setelah menyusuri jalanan kota Solo mengikuti petunjuk GPS kami menemukan Jl. Adi Sucipto. Sebuah perempatan yang membelah dua  jalan itu membuat kami bingung memilih, apakah akan ke Jl. Adi Sucipto yang  diselah kiri atau di sebelah kanan. Untuk keadaan ini, paling tepat menggunakan cara konvensional ala Pak Yugen, yaitu bertanya. Seorang pengendara motor menunjuk arah  kiri ketika kami menanyakan nama hotel tempat kami akan menginap.

Hotel Syariah Solo

Akhirnya kami tiba di depan hotel yang dimaksud. Hotel Syariah, sebuah hotel baru yang berlokasi di Jalan Adisucipto no 47 bersebelahan dengan hotel Lor In. Hotel berbintang 4 ini kabarnya adalah hotel  syariah terbesar di Indonesia. Tentang hotel ini  aku tulis dalam review tersendiri di "Bermalam di Syariah Hotel Solo"

Di lobby hotel

Yang kami lakukan selanjutnya adalah menikmati istirahat yang nyaman, melepaskan segala kepenatan setelah menempuh 637 km jarak Bogor- Solo. Tidur kami demikian nyenyak. Kami terbangun saat adzan subuh berkumandang.

Solo- Jombang-Nongko Jajar-Bromo

Tanggal 8 Mei 2015, pukul 5.30 WIB kami bergerak meninggalkan hotel, kembali menyusuri jalan melewati Sragen. Pukul 06.18 hatiku bersorak senang kala memasuki gerbang wilayah Jawa Timur. Speedometer menunjukkan jarak 665 km.

Memasuki gerbang Jawa Timur

Di sisi kanan aku melihat bangunan megah Pesantren Putri Gontor. Kemudian ladang-ladang tebu di sisi kiri kanan jalan dengan  pohon tinggi kurus, tak bercabang, tumbuh tegak dan rapat. Daun hijaunya terdiri dari pelepah dan helai daun tak bertangkai. Bunga majemuk warna abu-abu tersusun atas malai dengan panjang bunga sekitar70-90 cm melambai-lambai diterpa angin.  Aku menyaksikan kecantikan tersendiri kendati bentuk dan warna bunga tebu sangat sederhana. Cahaya keemasan matahari pagi seolah menegaskan keindahan yang tercipta dari kerumunan bunga tebu. Kecantikan dalam kesederhanaan, itulah kesan yang tertangkap indra visualku.

Di wilayah Ngawi, kami melewati Wana Wisata Monumen Soerjo, sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang Gubernur pertama Jawa Timur, Mr. Soerjo. Gubernur Soerjo meninggal dalam sebuah insiden kerusuhan yang dilakukan komunis tahun 1948. 

Kemudian aku melihat kios kerajinan kayu jati berderet-deret di sisi jalan. Rupanya di sinilah sentra industri Desa Banjarejo. Dahulu penduduk Ngawi hidup dalam kemiskinan. Mereka hidup hanya mengandalakan sawah tadah hujan, mencari ranting kayu jati dan menjual daun jati. Tapi sejak mereka mengolah limbah jati dari Perum Perhutani menjadi barang-barang kerajinan seperti furniture, souvenir dan produk seni berkualitas lainnya, jalan sejahtera bagi masyarakat Ngawi  terbentang. Hasil kerajinan mereka bukan hanya beredar di tanah air seperti Jogja, Solo, Jakarta dan Kalimantan tapi juga sudah dikirim ke Turki, Malaysia dan Belanda.


Sarapan di Caruban

Kami berhenti di depan RSUD Caruban, di sebuah warung. Lesehan pecel pincuk Mbak Mari, begitulah yang tertulis di spanduknya. Mataku menangkap sebuah tulisan yang tertera di etalase. “Nasi Bungkus Biasa Rp. 4000,- “. Wah, murah sekali! Di Bogor mana ada yang seharga ini.
Aku bertanya pada si Mbak penjual makanan, nasi bungkus biasa itu menunya apa saja. 

“Nasi bungkus biasa itu nasi, pecel dan rempeyek, Mbak. “ Jelasnya.

Aku memesan nasi rawon dan pecel pincuk. Akang memesan nasi bebek.

Nasi Rawon

Pecel Pincuk

Nasi Bebek

“Bebeknya enak, Neng. Kulitnya keras tapi dagingnya lembut dan bumbu meresap. “ Komentar Akang.

Perjalanan berlanjut. Setelah melewati Nganjuk kami tiba di Jombang. Di kota ini Pak Yugen mengajak kami mampir ke sebuah rumah tua. Adiknya telah menunggu di sana.


Pak Yugen dan istri, di depan rumah tua masa kecilnya
“Rumah ini menyimpan banyak kenangan masa kecil saya. Dulu saya tinggal di sini dengan buyut, nenek dan orangtua. Sayang sekali sekarang tak ada yang mau menempati rumah ini. Barang-barang isi rumah ini sudah banyak  hilang diambil orang.  Meski begitu, saya tak ingin menjualnya.” Ucap Pak Yugen.

Lemari kuno

Rumah tua ini banyak kemiripan dengan rumah nenekku, dimana aku melewati masa kecil. Bentuknya memang jauh berbeda, tapi detailnya mirip. Bentuk jendela   dengan  dua daun jendela  kayu  berjalusi. Bentuk kusen bergaris tegas dan kaku. Lalu ada lemari kayu jati tua tempat meletakkan cangkir-cangkir hias. Dulu nenekku juga punya lemari seperti ini. Kenangan indah masa kecil di rumah nenek membanjiri benakku. Kisahnya serunya bisa dilihat di tulisanku “HebohnyaRumah Kakek.”

Kami disuguhi kue-kue dan minuman. Ada satu yang istimewa. Kue jagung. Terbuat dari jagung yang dihaluskan, dibungkus dengan daun jagung, lalu dikukus. Rasanya enak!

Kue jagung


Setelah sejenak melepas kerinduan dengan kerabatnya, Pak Yugen kembali memimpin perjalanan. Kami melewati Trowulan, Mojokerto, dan Mojosari. Setelah melewati jalan padat penuh kendaraan besar di Jl. Raya Pabean Gempol Pasuruan kami mampir di warung Mbak Sri di Purwodadi untuk makan siang. 

Sebuah kebetulan yang menyenangkan, di rumah makan ini Bu Yugen bertemu dengan adik ipar dan keponakannya, Pak Saiful dan Giffa. Di rumah merekalah malam ini kami akan menginap.

Setelah makan siang, kami menelusuri jalan   terus menanjak hingga tiba di Nongko Jajar, kecamatan Tutur kabupaten Pasuruan.  Udara sejuk membelaiku. Desa Nongko Jajar terletak di kaki gunung Bromo. Tempat ini merupakan salah satu pintu gerbang  menuju gunung Bromo.

Nongko Jajar memiliki banyak keunikan khas daerah pegunungan yang  menarik untuk dinikmati. Ada berbagai kebun buah di desa ini. Salak, apel, durian, strawberry, alpukat, jeruk, klengkeng, golden melon dan nangka. Selain itu terdapat banyak sayur mayur, bunga-bungaan, kelinci, kambing hingga peternakan sapi perah. 

Kami tiba di rumah Pak Syaiful. Putri, anak perempuan sulung pak Syaiful menyambut kedatangan kami. Putri memeluk Bu Yugen penuh haru. Almarhumah ibunda putri adalah adik kandung Bu Yugen. Dia meninggal sekitar setahun yang lalu. 

Di meja telah terhidang kue-kue dan apel. 

“Kue onde-onde ini enak, Neng.”Komentar Akang sambil mengunyah.

Aku menatap kue yang diletakkan di atas piring beling itu tanpa minat. Kue seperti ini dimana-mana juga banyak. Di Bogor aku sering melihat kue ini dijual  penjaja kue.

“Serius. Ini enak.” Ucap Akang seolah meyakinkanku.

Onde-onde ala Putri

Kata-kata Akang mendorong aku meraih sebuah kue. Kugigit si bundar berbalut wijen itu. Ternyata Akang benar. Kue onde-onde dari Nongko Jajar buatan Putri ini enak sekali! Kulitnya lembut kenyal, isi kacang hijaunya terasa pas. Rasanya memanjakan lidah. Aku rasa itulah kue onde-onde terenak yang pernah aku makan! Mestinya Putri bisa membuka usaha toko kue onde-onde. Dia bisa sukses. Hehehe...

Kemudian aku meraih sebuah apel kecil berwarna kehijauan.

“Itu apel jenis manalagi.” Jelas Pak Syaiful.

Aku mencium aroma buah  itu.  Wangi sekali. Rasanya juga segar, tidak asam seperti apel Malang.

“Beli dimana buah apel ini?” Tanya Akang.

“Dikasih orang, Pak.Di sini kan banyak pohon apel.” Sahut Putri.

“Wah, seumur hidup saya belum pernah melihat pohon apel secara langsung. Hanya melihat dari TV saja.” Akang berkata sambil tersenyum.

“Kalau begitu, mumpung sudah sampai sini, sempatkan melihat pohon apel, Pak. Nanti saya antar.” Kata Pak Syaiful bersemangat.

Sore itu, setelah istirahat sebentar, kami meluncur di atas motor  menyusuri jalan menanjak berliku. Jalan itu  menuju penanjakan Bromo. Pak Yugen kembali memimpin di depan, tapi kemudian dia salah jalan. Akhirnya Pak Syaiful mengambil alih tempat terdepan karena dia yang hafal jalannya.

Menuju Penanjakan Bromo di senja berkabut

Sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di penanjakan Bromo. Penanjakan adalah sebuah tempat  menyaksikan matahari terbit dikawasan pegunungan Bromo yang berada di ketinggian 2.770 meter dari permukaan laut. Tempat ini berada dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Tempat ini wajib dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke Bromo.

Sayang sekali, ketika kami tiba di sini tak banyak yang bisa dilihat. Aku berdiri dekat pagar pembatas  melihat ke arah pegunungan. Kabut tebal putih bergulung-gulung menutup hampir seluruh pegunungan.

Bromo tertutup kabut tebal

“Yaah...gak kelihatan. “Seru Akang kecewa.

“Kalau mau lihat pemandangan bagus, ke sini harus pagi-pagi. Besok pagi saya antar lagi ke sini ya. “Kata Pak Syaiful.

“Tapi Pak Yugen besok mengajak berangkat pagi-pagi ke Turen.” Sahut Akang. 

“Jangan mau! Kalian itu sudah datang jauh-jauh dari Bogor, percuma saja kalau cuma lihat kabut. Besok pagi-pagi kita ke kebun apel, ke penanjakan lagi lalu  turun ke padang pasir dan tangga menuju kawah Bromo. Sudah tak usah risau. Berangkatnya  diundur  jam 10 saja.” Pak Syaiful mengajukan usul yang membuat hatiku bersorak.

Di Penanjakan Bromo

Malamnya, kami membicarakan rencana tersebut dengan Pak Yugen sambil meneguk segelas susu murni hasil peternakan sapi  Nongko Jajar. Disepakati, aku, Akang dan Pak Syaiful akan berangkat ke kawasan Bromo pagi-pagi, dan segera kembali ke rumah sebelum jam 10 untuk melanjutkan perjalanan touring.

Hikmah Besar di balik  Kehilangan Orang Tercinta

Udara Nongko Jajar dingin menggigit. Makan malam kami lakukan duduk lesehan beralas karpet di ruang tengah rumah Pak Syaiful. Menunya sate dan sop. Di kesempatan ini Pak Syaiful berbagi kisah hidup yang mengharukan.

“Almarhum istri saya itu orangnya aktif sekali. Tak bisa diam.  Semangat berdagangnya sudah mendarah daging. Dia gesit dan tangkas. “ Kenang Pak Syaiful.

“Saya ingat, dia sangat memanjakan Giffa. Sementara saya cemas dengan keadaan itu. Giffa sudah mulai suka beradu kebut-kebutan naik motor dengan teman-temannya, anak kampung sini. Motor saya dimodifikasi sampai biayanya membengkak. Kalau saya marah pada Giffa, ibunya selalu membela anak itu. Pernah saya suruh Giffa sekolah di pesantren supaya bisa fokus belajar agama dan akhlak yang baik, tapi ibunya tak tega berpisah dari Giffa. “Lanjut Pak Syaiful.
“Dulu Giffa manja sekali. Badannya gendut. Kalau makan banyak. Sekali makan daging bisa habis 3 potong. Hahaha..” Seloroh Bu Yugen.
“Eh, sekarang malah bagus badannya. Tidak gendut lagi. Tegap.”Bu Yugen memuji keponakannya.

“Waktu istri saya meninggal, terus terang saya sangat terpukul. Saya cemas luar biasa masalah pendidikan dan pengasuhan Giffa. Saya kan harus kerja di Jakarta. Lalu anak-anak bagaimana? Kalau Putri, saya tak khawatir. Sebagai anak sulung perempuan dia sudah mengerti tanggung jawab. Tapi Giffa yang biasa dimanja tak bisa mengurus dirinya sendiri. Yang membuat saya  cemas, lingkungan pergaulan di kampung ini sudah sangat mengkhawatirkan. Bisa dikatakan  desa ini  dalam keadaan darurat narkoba. Sudah puluhan orang meninggal karena over dosis. Saya jelas tak ingin Giffa terjerumus. Masalahnya saya tidak bisa hadir setiap hari di rumah untuk mengawasi Giffa. Tiga bulan pertama ditinggal istri, saya berada dalam masa paling sulit. Galau.  Yang terpikirkan saat itu, kepada siapa saya menitipkan Giffa. Rencana saya ingin menitipkan si bungsu itu kepada adik perempuan saya yang tinggal di luar kota.  Kalau tak ingat Tuhan, saya pasti depresi berat. Jadi yang saya lakukan berdoa terus, mengadu pada Tuhan, banyak membaca istighfar dan shalawat minta dibukakan jalan keluar.“Mata Pak Syaiful berkaca-kaca.

Mendengar penuturannya, hatiku tenggelam dalam haru. Bisa dibayangkan bagaimana bingungnya dihadapkan pada situasi demikian.

Aku menatap Giffa. Anak laki-laki berusia 15 tahun itu sepantar dengan  anak pertamaku. Giffa menunduk menekuri piring berisi nasi dan lauk. Dia tak banyak bicara meski saat ini dialah bintang pembicaraan kami.

“Jalan terang perlahan terbuka. Giffa yang banyak diam setelah ditinggal ibunya, tiba-tiba memutuskan sendiri,  ingin masuk pesantren. Masya Allah.Hampir saya tak percaya! Ternyata inilah jalan yang dibukakan Allah. Saya cari informasi, tanya sama tetangga. Lalu saya bawa Giffa ke salah satu pesantren yang direkomendasikan. Alhamdulillah Giffa langsung mau mondok di sana.” Pak Syaiful tersenyum. Dia berhenti sejenak, menelan makanan, kemudian meneruskan kisahnya.

“Kemudahan lain pun datang.  Atasan  memindahkan lokasi kerja saya dari Jakarta ke Surabaya. Jarak Surabaya ke sini kan tak terlalu jauh, hanya dua jam.  Sekarang Putri kuliah dan kos di dekat kampusnya. Giffa mondok di pesantren dan saya kerja di Surabaya. Rumah ini sering kosong. Satu bulan sekali kami berkumpul di sini, mengaji dan kirim doa untuk almarhumah. “ Pak Syaiful menghela nafasnya seakan merasakan kelegaan. 

“Allah Maha Besar. Tak mungkin dia memberi musibah tanpa alasan. Ada hikmah besar dibalik kehendakNya. Kepergian istri, meskipun meninggalkan duka yang dalam tapi menjadi titik balik bagi Giffa untuk mengerti arti tanggung jawab dan serius memikirkan masa depannya.  Indah sekali Allah merancang kisah hidup kami. Hati saya sekarang lega luar biasa. Apalagi melihat kemajuan pesat prilaku Giffa yang jauh berbeda. Pesantren itu membina santrinya dengan disiplin, dan mendidik para santri untuk mandiri. Pendidikan akhlak, itulah intinya. Saya melihat hasilnya dalam diri Giffa. Alhamdulillah... “ Kalimat syukur berkali-kali diucapkan Pak Syaiful dengan mata berbinar.

Putri, Giffa dan Pak Syaiful

Kisah  menyentuh ini berakhir bahagia. Kini keluarga kecil ini melanjutkan hidup  penuh rasa syukur. Ikatan kasih sayang antara Pak Syaiful dan anak-anaknya, Putri dan Giffa terjalin kiat erat. Saat berkumpul bersama  menjadi moment istimewa bagi mereka. 

Aku merasa beruntung bisa mendengar kisah Pak Syaiful. Sudah lama aku sadari, touring bukan hanya sekedar melakukan perjalanan. Ada banyak hal yang bisa diambil pelajarannya. Filosofi kehidupan ini terasa  memperkaya wawasanku.

Lanjutan kisahnya klik ini Touring di Kawasan Wisata Bromo



3 komentar:

WS mengatakan...

Senang sekali baca blog nya ibu Juliana, banyak hal menarik. Perjalanan Touring nya sangat menarik... menginspirasi jd pengen juga touring dgn pasangan, skr sih anak masih kecil :D
Bu di artikel selanjutnya tolong info2 menarik lain nya di tambahin misal jumlah bensin, harga tiket, makan dll sbg tambahan informasi..

Unknown mengatakan...

Nice.. Barokallahu fikum

Unknown mengatakan...

Tulisan yg indah