Senin, 18 Mei 2015

Menguak Misteri "Masjid Tiban"

Pesantren  Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah
Aku, suamiku si Akang, bersama pasangan Pak Yugen dan istrinya sejauh ini telah  menempuh lebih 1000 Km perjalanan dengan motor. Dari  Bogor kami memilih jalur pantai Utara, masuk wilayah Jawa Tengah, menginap di  Solo. Kemudian di  Jawa Timur, kami mampir ke Jombang, dan bermalam di Nongko Jajar  Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Selanjutnya setelah wara-wiri di kawasan wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kini kami melanjutkan perjalanan.



Tujuan kami kali ini adalah Turen, Kabupaten Malang, tepatnya ke desa Sananrejo. Ada apa di sana? Awalnya aku mendengar cerita  Bu Yugen, dan  Bu Yugen  memperoleh cerita ini dari saudara-saudaranya. Dengan penuh semangat dia menerangkan ada sebuah masjid yang disebut Masjid Tiban. Masjid ini megah, indah, terdiri atas 11 lantai. Bahkan di lantai atas terdapat pasar. Pembangunan masjid  tidak diketahui masyarakat sekitar, tiba-tiba saja sudah berdiri megah di tengah desa Sananrejo. Masyarakat menyebut masjid ini dengan nama “tiban” yang artinya terjatuh, atau ada dengan sendirinya.  Beredar kabar bahwa masjid ini dibangun oleh makhluk halus berjenis jin. Kabar ini menyebar kemana-mana membuat orang berbondong-bondong datang ke tempat ini. Penasaran? Ya,  begitulah. Maka dengan antusias Bu Yugen mengajak aku ke tempat itu.


Perjalanan dari Nongko Jajar menuju Turen memakan waktu sekitar satu jam.  Dari jalan utama kami menuju jalan desa. Lokasi tepatnya adalah di Jl. KH Wahid Hasyim Gang Anggur no 10 RT7 RW 6 Sananrejo, Turen, Malang, Jawa Timur.
Bangunan indah yang tampak mencolok dibandingkan sekitarnya

Kami tiba di sebuah  jalan kecil yang ramai pedagang di kiri kanannya .Lalu terlihat sebuah gerbang megah berlatar bangunan tinggi kokoh. Bangunan  bagian depan bergaya candi, sementara bangunan utama dilengkapi kubah-kubah  bergaya mirip  arsitektur India, dan  Timur Tengah,  dengan detail menakjubkan. Bangunan itu tampak menonjol, menarik perhatian karena kecantikan  dan keunikannya  berbeda  sangat mencolok dengan bangunan rumah penduduk  sekitarnya.

Bagian atas 

Kalau melihat bagaimana tinggi megah dan kokohnya bangunan ini, rasanya tak mungkin  tempat ini  muncul tiba-tiba, tanpa masyarakat mengetahui pembangunannya.

Gerbang 

Pos petugas keamanan

Kami memasuki gerbang. Tampak makin jelas fisik bangunan. Tak ada satu pun papan, plat, atau keterangan terpampang yang menyebutkan nama “Masjid Tiban”. Ternyata tempat ini bukan bernama Masjid Tiban, bahkan bukan masjid! Masjid Tiban hanya nama julukan yang dipopulerkan masyarakat.  Bangunan megah ini adalah sebuah pesantren.  Pesantren  Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah, begitulah namanya. Panjang sekali ya? Para santri menyingkatnya dengan nama Pesantren Bi Ba'a Fadlrah.

Tampak dari sudut depan

Tempat ini berdiri di atas lahan seluas 4 hektar, namun baru 1,5 hektar saja  yang dimanfaatkan.

Masuk ke bangunan ini makin terlihat detail yang rumit, unik, indah.  Bangunan di dominasi warna putih, biru dan emas. Sepintas aku kira tempat ini dipercantik keramik atau tile, ternyata yang tampak seperti keramik  adalah semen  yang di bentuk  profil lalu di cat  mengkilap seperti kilau keramik.  Bentuk profilnya halus, dikerjakan dengan teliti.


Detail yang cantik, rumit, unik

Ada ruangan yang dindingnya dihiasi kaligrafi berwarna emas.  Kursi-kursi antik dan “nyeni” melengkapi ruangan. Ada juga bagian dinding bergaya seperti puade emas, mirip singgasana pengantin  yang menghias panggung acara pernikahan mewah.

Bagian ornamen yang berkesan mewah

Ornamen dinding dan langit-langit di ruang depan pintu masuk

Ada bagian ruangan yang dipercantik aquarium-aquarium. Berbagai ikan hias melengkapi keindahannya. Menjelajahi ruang demi ruang di tempat ini seperti memasuki istana  misterius. Tiap ruang, dan  level bangunan  berbeda nuansa.

Tangga dan aquarium

Ornamen-ornamen etnik bergaya perpaduan Timur Tengah, India dan China menghiasi seluruh ruangan. Ornamen  yang didominasi warna emas makin menambah indah bangunan ini. Ada bagian bangunan yang remang-remang karena minim pencahayaan, ada bagian yang terang.

Di depan sebuah korridor. Bagian langit-langit belum selesai dikerjakan

Pengunjung bebas berkeliaran menikmati keunikan tempat ini  hingga lantai teratas. Menelusuri tempat ini bisa dilakukan lewat tangga maupun lift. Tapi saat aku  mencoba, ternyata liftnya tidak menyala. Ada banyak pintu, jendela, lubang angin, koridor, tangga dan ruangan.

Korridor yang indah

Lantai 1 sampai 4 digunakan para santri untuk kegiatan shalat, mengaji,  dan mempelajari Islam.  Lantai 6 berfungsi sebagai ruang berkumpul dan bersantai. Di lantai 5, 7 dan 8 terdapat pertokoan yang dikelola oleh santriwati. Toko-toko itu menjual  makanan, pakaian dan lain-lain.  Pertokoan itu mengingatkan aku pada toko-toko di pasar tradisional, tapi di sini lebih bersih dan teratur.

Selain itu ada tempat pemandian, tempat istirahat yang terpisah bagi wanita dan pria, musholla, serta lantai 4  yang berfungsi sebagai masjid. Ada kolam, ayunan,  tempat bermain anak-anak dan ada juga studio foto.

Para pengunjung yang menikmati suasana bangunan unik
Ada himbauan yang di pasang di dinding, isinya meminta pengunjung untuk berlaku sopan, menghormati tempat ini. Ini bukan tempat wisata, begitulah salah satu kalimatnya. Laki-laki dan wanita diminta bersikap santun, tidak melakukan  tindak asusila.

Berada di dalam bangunan ini terasa dingin, padahal tidak dilengkapi AC dan  diluar sana  panas oleh terik matahari.  Ada banyak pengunjung lain.  Kebanyakan dari luar kota. Mereka datang berombongan naik bus-bus besar.

Saat akan melaksanakan shalat, aku memilih melakukannnya di musholla yang berada di lantai bawah. Untuk mencapai tempat wudhu, harus melalui beberapa tangga, lalu ruang yang berbelok-belok. Sayang sekali, di musholla-nya tak disediakan mukena. Salah satu pengunjung  dari Solo berbaik hati meminjami aku mukena untuk shalat dzuhur dan ashar yang dijamak.

Jadi, misteri apa yang terkuak? Siapa yang mengerjakan pembangunan tempat ini? Bukan jin, saudara-saudara! Hehehe...Tempat ini dibangun oleh para santri pondok pesantren ini. Dan sekarang bangunan ini belum selesai, masih terus dikerjakan. Di berbagai lantai masih ada bagian yang belum sempurna, terutama di lantai 9-11. Aku berhasil bertemu dengan salah satu pria yang sedang mengerjakan detail jendela, dan dia asli manusia. Hehe...Aku sempat bercakap-cakap dengan pria itu.

Kok bisa masyarakat menganggap bangunan ini tiba-tiba muncul dengan sendirinya, sampai menjuluki tempat ini dengan nama "tiban" ? Pondok ini terletak di lembah. Pembangunan berlangsung sedikit demi sedikit sehingga sampai lantai lima baru terlihat dari luar.  Proses pembangunan  berlangsung bertahun-tahun, perlahan-lahan, ruang demi ruang. Bahan bangunan yang dibeli pun "nyicil", hanya pas untuk satu demi satu pekerjaan sehingga mengangkut bahan tak perlu menggunakan truk besar. Hanya menggunakan  mobil pick up dan truk kecil yang kehadirannya tak menarik perhatian masyarakat.

"Singgasana" di bagian luar dekat gerbang

Lalu bagaimana membangun bagian  yang tinggi  terutama kubah-kubahnya? Biasanya di perkotaan kegiatan pembangunan ini membutuhkan alat berat seperti crane yang tinggi, padahal warga sekitar tak pernah melihat kehadiran crane di sini. Ternyata pembangunan tempat ini semua dilakukan secara konvensional. Untuk pekerjaan yang berat, santri yang membantu bisa sangat banyak, sampai ratusan orang. Dan mengangkut bahan ke atas dilakukan dengan kerekan, bergotong royong ramai-ramai.

Apa yang membuat aku salut pada tempat ini? Ya tentu saja kehebatan tokoh di balik pembangunnya. Beliau bukan lulusan arsitektur lho!.  Adalah almarhum KH. Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al Mahbub Rahmat Alam  yang akrab dipanggil Romo Kiyai Ahmad. Beliau adalah perintis, pendiri, pengasuh, pemilik, pembina dan arsitek bangunan ini. Alm. Romo Kiyai Ahmad memperoleh petunjuk membangun tempat ini lewat  shalat istikharah, bukan lewat pendidikan formal di bidang arsitektur maupun teknik sipil. Beliaulah yang membimbing santri-santrinya membangun tempat ini. Pengerjaan detail bangunan  rumit ini murni hasil karya anak negri yang belajar secara otodidak.  Karena itu, mereka sangat patut diacungi jempol. Hebat!


Aku dan Akang

Kalau jalan-jalan atau berlibur ke Jawa Timur, jangan lupa memasukkan kompleks pesantren ini dalam itinerary ya. Rugi kalau tak menyaksikan keunikan tempat ini!


Ikuti terus perjalanan touringku di Jawa Timur, melihat  Jembatan Gladak Perak, Cagar Alam Kawah Ijen dan Pantai Pasir Putih Situbondo

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kalau foto di sini mbak juliana dewi kalah cantik sama bangunannya.
Oya mbak. Kami juga suka touring ala bagoacker yg minimalis. Belum sejauh mbak juliana. Tapi kami optimis kami bisa lebih jauh lagi pakai motor. Salam