Selasa, 19 Mei 2015

Gladak Perak, Cagar Alam Kawah Ijen dan Pantai Pasir Putih


Kisah touringku bersama si Akang dari Bogor ke Jawa Timur terus berlanjut. Setelah menikmati  indahnya kawasan Wisata Bromo,  kemudian ke Turen, Kabupaten Malang, mengunjungi bangunan unik "Masjid Tiban" yang ternyata bukan masjid, kini kami meluncur lagi bersama pasangan suami istri Pak Yugen dan Bu Sri Widayati. 

Kami sempat dihadang macet parah di daerah Tempeh karena ada proses evakuasi sebuah truk yang  terperosok di sisi jalan yang terjal. Untung saja tak terlalu lama kami bisa terbebas dari macet parah itu.


Siang sudah beranjak sore ketika kami melintas disebuah jembatan yang melintang di atas sungai Curah Kobo’an di wilayah Pronojiwo


Rasa lelah dan haus memaksa kami berhenti di sebuah warung  dekat jembatan.   Aku  memilih berjalan-jalan melihat suasana. Dari atas jembatan kulemparkan pandangan ke arah sungai yang hampir kering dibawah sana, lalu tampak sebuah jembatan yang  lebih kecil dari jembatan tempat aku berdiri.

Jembatan Gladak Perak


Jembatan itu terlihat usang,  tak lagi dipergunakan. Meski banyak besi pada pagarnya sudah hilang, tapi konstruksi jembatan masih tampak kokoh. Entah mengapa hatiku sedih melihat jembatan tua itu. Kalau melihat fisiknya, aku yakin dulu jembatan ini memegang peranan penting  sebagai sarana penghubung bagian Timur dan Tenggara Gunung Semeru. Tapi kondisinya saat ini seperti barang rongsokan yang ditelantarkan.


Aku duduk di warung, menikmati tahu goreng dicocol bumbu petis dan secangkir white coffe. Setelah ngobrol beberapa saat, aku bertanya pada Ibu pemilik warung.

“Bu, jembatan tua itu namanya apa, Bu? “ Tanyaku.

“Jembatan Gladak Perak, Mbak. Jembatan itu peninggalan Belanda. “ Jawab si Ibu sambil mengaduk kopi pesanan Pak Yugen.

Bu Yugen yang duduk di pondok sebelah memanggilku.

“Mbak, sini lho. Ada foto-foto sejarah dibangunnya jembatan tua itu.” Katanya.

Aku bergegas menghampiri Bu Yugen.





Sebuah poster plastik berukuran besar tertempel di dinding warung. Di poster itu tercetak foto-foto zaman dulu yang menjelaskan sejarah dibangunnya jembatan Gladak Perak.

Sejak akhir abad 19, dalam rangka mengeruk kekayaan alam Indonesia, pemerintah Hindia Belanda giat membuka lahan-lahan perkebunan di lereng-lereng Gunung Semeru. Setelah tahun 1925, pemerintah Belanda merencanakan  membangun akses yang menghubungkan bagian Timur dan Tenggara Gunung Semeru. Jembatan yang paling sulit dibangun adalah yang melintang di atas sungai Curah Kobo’an bagian hilir.

Sebelumnya sudah  ada jembatan gantung sederhana terbuat dari bentangan kawat baja pada dua tebingnya. Jembatan sederhana itu hanya bisa dilalui pejalan kaki dengan jumlah terbatas. Letak jembatan gantung itu kira-kira sama dengan jembatan besar yang ada sekarang. Tidak  ada catatan kapan pastinya jembatan gantung itu dibuat.

Di akhir tahun 1929 ketika Lumajang dikukuhkan menjadi kabupaten, pemerintah Hindia Belanda mulai merancang pembangunan jembatan Gladak Perak dengan memanggil arsitek-arsitek dari negeri Belanda. Turut dilibatkan juga arsitek-arsitek muda dari Bumi Putra, diantaranya Soekarno yang saat itu masih menjadi mahasiswa ITB.

Pembangunan jembatan ini meskipun prosesnya sederhana namun diawasi oleh insinyur-insinyur Belanda dan Opzichter Koesno dari BOW ( Burgerlijke Openbare Werken) Probolinggo, sekarang Dinas Pekerjaan Umum. Dalam proses pembangunannya, banyak  korban jiwa dari para pekerja yang jatuh ke dalam jurang. Ketika selesai di bangun tahun1940, jembatan itu di cat dengan warna perak. Saat diterpa cahaya matahari, jembatan akan berkilau seperti rantai yang membentang antara tebing Utara dan Selatan. Karena itu orang menyebut jembatan ini “Gladak Perak”. Versi lain mengatakan bahwa jembatan ini menghabiskan dana beribu-ribu gulden (uang perak Belanda), sehingga dinamai Gladak Perak.

Tahun 1947 jembatan ini pernah dibumi hanguskan dengan dinamit oleh pasukan Zeni Pioner 22,  hingga badan jembatan putus. Hal ini dilakukan untuk menghambat pengejaran tentara Belanda ke Pronojiwo.

Tahun 1951 jembatan ini kembali dibangun. Baja-baja dirancang di Lumajang tahun 1954, dan dipasang tahun 1955. Pelaksana pembangunan adalah seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Kian Sing.

Ketika Presiden Soekarno mengunjungi Lumajang tahun 1955-1956, beliau menanyakan keberadaan jembatan ini.


Kini, jembatan Gladak  Perak tak terawat. Banyak bagian besi pagarnya hilang diambil orang. Jembatan yang telah menjadi saksi bisu berbagai kejadian pengukir sejarah, dibangun dengan korban jiwa dan jerih payah keringat para pekerja pribumi sekarang tak lebih dari barang rongsokan.

Aku kemudian turun ke Gladak Perak. Kupandangi konstruksi jembatan tua itu dari dekat, berusaha membayangkan berbagai peristiwa yang melatari pembangunan dan keberadaannya. Hanya ada satu kesan yang kutangkap. Menyedihkan.

Perjalanan kami kemudian diwarnai hujan ketika kami mencapai Candipuro. Akang dan Pak Yugen menghentikan motor di halaman sebuah toko . Kami mengeluarkan jas hujan.

Ibu pemilik toko yang baik hati menyodori kursi-kursi plastik, hingga aku bisa membuka jaket  dan sepatu bootku sambil duduk.
" Dari mana mau kemana, Mbak? " Tanya si Ibu.

" Dari Bogor, Bu. Kami sudah ke Bromo, ke Turen , sekarang menuju Jember, besok ke Cagar Alam Kawah Ijen dan Situbondo. " Sahutku ramah.

"Dari Bogor Jawa Barat? Wah, jauh sekali, Mbak. Capek nggak?" Tanya si Ibu heran.

"Kalau capek kami istirahat, Bu. " Jawabku santai.

Setelah berterimakasih, kami melanjutkan perjalanan membelah hujan.


Selepas maghrib di tengah rintik hujan kami tiba di Jember. Pak Yugen dan istrinya menginap di rumah saudara mereka, sementara aku dan Akang menginap di hotel Sulawesi setelah menikmati makan malam lezat yang dihidangkan oleh adik bu Yugen, rawon dan telor asin.

**********

Pagi  yang cerah di Jember. Aku dan Akang memilih sarapan di luar hotel. Kami ingin mencicipi menu makanan lokal yang lebih menggugah selera. Tak jauh dari hotel, ada sebuah warung makanan sudah buka.


Aku berseru senang “menemukan” nasi jagung,  botok tempe,  dendeng bungkus kelapa, rempeyek dan sayur kacang panjang. Enaak..

 Cagar Alam Kawah Ijen

Pukul 8.30 kami kembali meluncur di jalan, menuju kawasan hutan cagar alam Kawah Ijen.  Suasana hijau pepohonan menyertai perjalanan kami. Jalan yang terus menanjak sesekali berliku, kemudian beberapa kali melintasi perumahan pekerja perkebunan. Kami juga melewati perkebunan kopi, dan hutan dataran tinggi yang menawan.


Di sebuah rest area kami berhenti. Rest area itu dilengkapi sebuah warung sederhana berkonstruksi kayu. Kami duduk-duduk, minum minuman jahe dan ngemil keripik kentang sambil menatap cantiknya pemandangan alam. Di hadapan warung ini ada sebuah tebing  hijau yang indah, menjulang tinggi berpadu  langit yang biru. Aku suka memandangnya.







“Kalau mau naik ke Kawah Ijen, masih harus jalan lagi Mbak. Terus mendaki sekitar 2 jam untuk sampai ke kawahnya.” Ujar si mbak pemilik warung.

Aku kecewa. Ternyata untuk mencapai kawah dibutuhkan waktu yang lama, sedangkan waktu kami terbatas. Akhirnya setelah diskusi, kami memutuskan tak jadi menuju ke kawah.  Kami masih harus menuju Situbondo dan bermalam di sana.

Air Terjun Kali Pahit

Menyusuri jalan di kawasan Cagar Alam Hutan Wisata Kawah Ijen, terasa menyegarkan. Pohon-pohon tinggi, hijau dan rapat itu menjadi “paru-paru” dunia dan kini menyuplai oksigen segar untuk paru-paruku.



Di sisi kiri jalan di sebelah selatan Paltuding,  terlihat sebuah air terjun. Kami mampir ke tempat itu. Seorang pria duduk di sebuah batu di jalan masuk.

“Ini air terjun apa namanya, Mas?” Tanyaku.

“Ini namanya Kali Pahit, Mbak. “ Jawabnya.




Air yang mengalir di Kali Pahit tampak istimewa. Tak seperti air terjun biasa, air di sini berwarna hijau dan berbuih banyak. Hal ini disebabkan tingkat keasaman air yang tinggi. Air Kali pahit berasal dari rembesan air  belerang  kaldera danau Ijen. Rasanya tidak pahit, tapi asin.


Kami berfoto-foto sebentar dan mengamati air hijau bening yang berbuih itu. Baru kali ini aku menemukan air terjun dan  sungai yang berair hijau. Sangat menarik!

Kami istirahat lagi. Seorang penjual bakso menawarkan dagangannya. Aku, Akang, Pak Yugen dan istrinya kemudian memesan bakso.


Bapak penjual bakso itu mengaku berasal dari Medan. Orang Batak asli.

“ Wah, jarang lho orang Batak jualan bakso.” Selorohku.

Si Bapak terkekeh-kekeh.

“Saya ikut istri ke sini, Mbak.” Sahutnya.

“Lha, itu logat Bataknya hilang kemana, Pak? Ngomongnya kok logat Jawa kental.”

Si Bapak makin terkekeh.


“Bataknya sudah luntur, Mbak.” Ujarnya sambil menyodorkan semangkuk bakso.

“Silakan dinikmati. Ini bakso Kali Pahit. “

“Lho, ini bukan bakso sapi?” Tanyaku.

“Iya, bakso sapi dari Kali Pahit, Mbak.” Sang penjual bakso nyengir lebar.


Perut kenyang, perjalanan berlanjut.  Kami kembali melintasi hutan yang menebar hawa segar. Aku benar-benar menikmati suasana ini. Pepohonan yang rimbun dan suasana sejuk ini berbeda nuansanya dengan jalan yang kami lalui saat di kawasan Bromo.

“Enak banget ya lewat sini, Kang. “

“Iya. Tapi jangan lewat sini kalau malam. “Sahut Akang “Pasti menyeramkan kalau malam. Nggak ada lampu. Nggak ada orang. Jangan-jangan macan yang nongol. “

Aku bergidik ngeri.

Peternakan Lebah Madu

Setelah melewati  hutan, kami melihat area terbuka yang banyak terdapat kotak-kotak kayu berukuran seragam, panjang sekitar 70-80 cm,  lebar dan tebal masing-masing 40 cm . Ketika kuperhatikan, disekitar kotak-kotak itu banyak lebah beterbangan.


Seorang pria berdiri di pinggir jalan. Dihadapannya ada kotak, dan diatas kotak kayu itu terdapat botol-botol berwarna pekat.

“Neng, ini peternakan madu. Kita beli madu yuk!”

Akang menghentikan motornya, demikian juga Pak Yugen.

Madu yang dijual ada dua jenis. Yang berwarna gelap dan agak terang. Harganya sama, satu botol Rp. 100.000,-


“Apa bedanya madu yang gelap dengan yang satunya, Pak? “ Tanyaku pada penjual madu.

“Sama saja, Bu. Beda warna ini karena  beda jenis  bunga yang dihisap lebah.  Ada yang mengisap bunga kopi, ada yang mengisap sari bunga kapuk randu.“ Sahutnya.

“Itu namanya apa, Pak? “ Tanyaku sambil menunjuk kotak-kotak kayu.

“Itu tempat untuk lebah madu bersarang. Kami menyebutknya setup. Dibuat berbentuk kotak kayu itu agar mudah memindahkannya.” Pria itu menjelaskan.

“Kenapa dipindahkan, Pak?” Aku makin tergelitik ingin tahu tentang peternakan ini.

“Tak selamanya di sini banyak tersedia bunga. Ada saatnya kami harus mencari lokasi lain dimana banyak bunga yang menyediakan tepung sari-nya untuk lebah. Jadi ada musim-musim tertentu kami bawa setup ini pindah ke Pasuruan, misalnya. Supaya produksi madu terus berjalan.”

“Oo begitu. Sulit nggak beternak lebah seperti ini, Pak?”

“Harus telaten. Itu modalnya. Di setiap setup saya beri satu lebah ratu.  Lebah ratu ini mengundang lebah-lebah pekerja untuk membentuk sarang. Kami harus rutin memeriksa kondisinya, setidaknya dua hari sekali supaya terhindar dari penyakit dan sebagainya.

Kami membeli satu botol madu. Terpaksa tak bisa beli lebih banyak karena keterbatasan bagasi motor.

Kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari kawasan Cagar Alam Kawah Ijen, kami menuju Banyuwangi kemudian menyusuri jalan indah dimana di sisi kiri terdapat pemandangan gunung dan di sisi kanan kami terlihat laut biru. Indah sekali.




 Pantai Pasir Putih Situbondo

Hari telah beranjak sore ketika kami tiba di pantai Pasir Putih Situbondo. Malam ini kami memilih menginap di hotel Sidomuncul yang berada di tepi pantai.


Rasanya senang sekali hari ini bisa menyaksikan berbagai bentang alam indah yang menjadi aset wisata Jawa Timur. Dari Pegunungan, lembah, jurang, sungai, air terjun, tebing, hutan hijau kami beralih ke laut dengan pantainya yang berpasir lembut.



Pantai Pasir Putih Situbondo merupakan objek wisata perpaduan antara wisata bahari (laut) dengan wisata hutan. Letak pantai ini persis dibawah lereng Gunung Ringgit.  Topografi pantai melengkung membentuk teluk, sementara airnya tenang nyaris tak ada ombak. Kesannya seperti berada di danau yang tenang. 



Ketika kutebarkan  pandangan ke laut lepas, tampak hamparan laut biru Selat Madura.Sementara di belakangku tampak pepohonan kelapa, cemara udang serta rimbunnya pohon jati menambah kesan asri. 

Aku dan Akang menikmati sore yang indah di tepi pantai. Kami minum kelapa muda ditemani tape bakar yang enak. Memandang air laut tenang, orang-orang yang berenang di pantai, anak-anak bermain pasir, dan perahu dengan layar berwarna cerah.



Kemudian kami  berdiri di tepi pantai, menanti senja berganti malam . Kami tenggelam dalam diam, bergandengan tangan memandang matahari  orange kemerahan  perlahan  terbenam di ufuk  Barat. Kami tak bisa melihat matahari terbit di kawasan Bromo beberapa hari lalu. Kini rasanya cukup  senang menyaksikan matahari tenggelam di tepi pantai Pasir Putih Situbondo. Romantis.



Hari ini kami tutup dengan makan malam di tepi pantai dengan menu ikan kakap bakar, cumi bakar, lalapan dan sambal. Alhamdulillah, nikmatnya.



Roda motor kami telah menggilas 2483 kilometer jarak yang terbentang.  Touring dari Bogor ke Jawa Timur lalu kembali ke Bogor selama 6 hari meninggalkan kesan yang dalam. Mudah-mudahan masih banyak kesempatan kami berdua menelusuri keindahan alam ciptaan Tuhan, selama tubuh sehat dan ada kesempatan. Sampai jumpa di touring berikutnya!

5 komentar:

Evrinasp mengatakan...

Beuhhh ini pasukan touring, kuat bener ya nyetir moge jauh-jauh gitu, saya dibonceng aja udah cape mbak

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Evrinasp : kalo aku salut lihat Mbak Evrina manjat gunung... aku mah nyeraaah... :)

Khoirur Rohmah mengatakan...

Kyyaa mbak.a kok ga mampir sekalian ke karangduren hhhhee.
Kan lumajang juga lumayan dket dr krgduren :D

wiihhhh hebat juga mbk.a sehari langsung cus ketiga tempat. Amazinggg...
ketiganya emnng seru wissatanya mbak. Hhhhhhreeee
kece badaii dah (y)

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Rohma Azha : terimakasih sudah mampir ke sini ;-)

Unknown mengatakan...

Asik dan kompak. Kapan2 turingnya pakai yg lebih low budget mbak. Nginep di pom bensin atau pakai tenda dome. Lebih banyak trouble yg asik hahahahah