Jumat, 02 Juli 2021

BABE MERTUA DALAM KENANGAN

Babe, begitu aku memanggilnya. Dia ayah mertuaku. Sejak pertama kali berbincang dengannya, saat itu di tahun 1997 via telepon, aku sudah terkesan dengan keramahannya. Bicaranya lembut, khas orang Sunda. Kalau cerita, runut dari awal sampai akhir, sehingga asyik sekali mendengar dia bicara. Sikapnya yang luwes, tidak berjarak, membuat aku sejak awal sudah menetapkan hati untuk mencintai Babe dan Ibu sebagaimana aku mencintai Mami dan Papiku.




Bukan cuma ramah, dia bijak, perhatian dan baik hati. Dulu, ketika aku belum resmi jadi menantunya, dia sudah rela meminjamkan mobil untuk kupakai dari pagi sampai malam mengurusi keperluanku ke sana kemari. Padahal urusanku itu apalaah...nggak penting banget🀣🀣. Aku heran, kok beliau baik banget, ngadepin calon menantu yang ngelunjak😜

Saat dia berkenalan dengan Papi dan Mamiku, seolah ada chemistry yang terbangun diantara mereka. Komunikasi lancar, santai, nyambung, terbuka dan nyaman. Sekejap mata, Papi-Mami dan Babe-Ibu sudah jadi satu team kompak, harmonis, seiring sejalan. Seluruh semesta mendukung langkah aku dan Akang memasuki gerbang pernikahan di 28 Juni 1998. Alhamdulillah..Allah memudahkan.

Sepanjang sejarah hampir 23 tahun jadi menantunya, tak pernah dia mencampuri urusan rumah tanggaku. Dia perlakukan aku seperti anak kandungnya.

Dia yang wara wiri mengantar aku ke rumah sakit, dari zaman aku belum hamil, sampai kontrol kehamilan ke rumah sakit. Dia pula yang di tengah malam buta, membawaku ke rumah sakit, menguatkan aku saat merintih-rintih menahan sakitnya kontraksi saat akan melahirkan Dea, sementara si Akang jauh di lapangan sana. 

Aku teringat ketika anak-anakku masih kecil , kami masih tinggal di Palembang. Anin usia 6 tahun, Dea, 4 tahun, dan Rafif 1 tahun. Hari itu, tiba-tiba assisten rumah tanggaku pulang kampung, tanpa ancang-ancang, mendadak berhenti kerja. 

Ibu menelponku. 
"Ya Allah Dewii.. gimanaaa ngurus anak 3 nggak ada yang bantu?!" Suara Ibu terdengar panik. 

Aku jawab dengan santai.
"Gak apa-apa Bu.. Bisa kok." Padahal aku sebenarnya panik juga😁😁

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu rumahku diketuk. Saat kubuka, tampaklah Ibu dan Babe, berdiri di depan pintu, menenteng tas besar. 

"Ibu dan Babe mau nginep di sini. " Ujarnya.

Sesaat kemudian, aku melongo takjub. Kulihat Babe mencuci segunung cucian piring di dapur, sementara Ibu menyapu dan mengepel lantai. 

"Babe, Ibu.. gak usah nyuci, gak usah nyapu.. Biar Dewi aja.." Aku berseru panik.

Sungguh hatiku tak tega membiarkan Ibu dan Babe mengerjakan pekerjaan rumah. Aku tak mau menyusahkan mereka.

Tapi Ibu dan Babe tak bergeming. 

"Sudah biar saja! Kami gak tega melihat Dewi ngurus 3 anak kecil , gak ada yang bantuin. Sana urus anak-anak saja!" 

Duuuh... menantu mana yang hatinya tak meleleh πŸ’–❤ . Terharuuuu😭melihat kelakuan mertua yang modelnya begini.

Dia satu-satunya ayahku sejak Papi meninggal dunia tahun 2011.

Tak betah berdiam diri. Begitulah dia. Rela dia datang mengunjungi kami di Bogor, jauh-jauh datang dari Palembang untuk membereskan semua masalah di rumahku. 

Dia berkali kali menjadi project director yang mengatur pekerjaan renovasi rumahku. Di lain waktu dia turun tangan sendiri, membetulkan handle pintu yang rusak, saluran cuci piring dan toilet yang mampet, shower yang rusak, kawat daun pintu yang koyak karena ulah Rafif, setrikaan yang tak panas, bahkan panci rusak yang sudah akan kubuang disulapnya jadi bagus kembali dengan keahliannya😍😍😍😍. Rumahku beres dari segala masalah kalau ada Babe.

Kalau beliau mengunjungiku di Bogor, tiap pagi kami menikmati quality time berdua. Setiap jam 5.30 pagi, setelah aku melepas Akang berangkat kerja, aku dan Babe berkendara ke "Saung Abah", kedai yang menjual bubur ayam kesukaan Babe.


Sambil menikmati bubur ayam, Babe bercerita tentang berbagai hal. Seputar masa lalu, hingga harapannya di masa depan.Seringkali dia mengungkapkan kebahagiaannya.

"Alhamdulillah Wiik.. Senaang hati Babe melihat anak-anak akur, menantu rukun, cucu-cucu saling sayang.Hidup mapan, bahagia. Babe ini tinggal memetik hasil, dari segala jerih payah masa lalu."Ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Babe penuh perhatian. Dia paham betul kalau aku sangat suka makan kemplang panggang. Setiap kali aku mengunjunginya di Palembang, dia selalu menyediakan satu toples besar kemplang panggang untuk cemilan sambil ngobrol santai di meja makan, dan satu bungkus besar untuk kubawa pulang ke Bogor.

Pernah suatu hari, datanglah satu paket besar, bingkisan dari Babe. 
Akang bilang,
"Neng, coba dibuka bingkisannya. Pilusnya jangan dimakan ya. Itu jatah Akang." 

Segeralah aku bongkar bingkisan itu. Lalu aku ketawa ngakak-ngakak, sementara Akang cemberut, gigit jari. Ternyata Isi bingkisan itu kemplang panggang semua. Gak ada sebutirpun pilus kesenangan Akang.

Tak tahan aku meledek si Akang

"Maaf ya sayaaang.. Babe lupa ngirimin makanan kesenangan anaknya🀣🀣🀣🀣."

Aku pernah sebel setengah mati sama si Akang, gara gara kopi cap kepala kucing.

Ceritanya, suatu pagi saat di Palembang, Babe melihat aku mengaduk2 cangkir berisi kopi mengepul panas.
    

                                                 
"Dewi sekarang ngopi, ya? Biasanya minum teh." Kata Babe.

"Iya Be. Sekarang Dewi setiap pagi minum kopi. Katanya bagus buat diet, membantu metabolisme." Sahutku.

"Mau gak nyicip Kopi Semendo Cap Kepala Kucing? Itu kopinya orang Palembang."

"Wah, boleh juga, Be.." 

Lalu Babe membelikan aku satu dus besar kopi Semendo Cap Kepala Kucing yang ngetop itu. Kuterima dengan hati berbunga-bunga.😍😍😍


Sampai di Bogor, kucari-cari kopi itu. Gak ketemu. Ketika aku tanya Akang, dengan cengengesan dia bilang,

"Kopinya sudah habis😎, Akang bagi-bagikan ke kawan-kawan Akang. 

"What?? πŸ˜‘Kenapa Akang bagiin? Itu punya Neng!😀😑" Kutatap Akang dengan sengit.

"Jangan marah, Neng. Cuma sekedar kopi begitu aja. Gampang nanti beli lagi."

Ucapan Akang membuatku makin meradang. 
"Itu bukan sekedar kopi! Itu kopi dari Babe, tanda perhatian dan sayang Babe buat Neng. Itu punya Neng😨😨. Kenapa dibagi-bagiin?!!πŸ‘ΏπŸ‘ΏHuaaaa😭😭😭😭😭😭

Akang melongo melihat kelakuan bininya, ngamuk macam anak balita tantrum tak kebagian permen😜. Cepat-cepat dia menelepon Babe. Dimintanya Babe segera mengirimi aku kopi lagiπŸ˜….

Kalau aku kesal dengan kelakuan Akang, Babe dan Ibulah tempat aku mengadu. Mereka berdua pula yang memarahi Akang, hingga Akang tertunduk-tunduk menyesal πŸ˜“.

Begitu banyak hal yang mengingatkan aku tentang Babe. Ketika belanja di tukang sayur tadi pagi, mataku tertumbuk pada tumpukan pisang ambon kuning montok merona. Segera saja air mata berderai. Si mbak tukang sayur bengong menatapku lekat-lekat. Pastilah dia heran, kenapa ada perempuan mewek sesegukan di depan tumpukan pisang ambon?🍌🍌

Tentu si mbak tukang sayur tak mengerti, kalau pisang ambon kuning ini kesukaan Babe. Ingatanku melayang ke saat terakhir kubelikan Babe pisang.



"Babee.. sini Beee.. Ada pisang ambon kuning!" Seruku.

Babe segera menyongsong kedatanganku. Sungguh Babe adalah pribadi sederhana yang sangat mudah dibahagiakan. Dibelikan sesisir pisang ambon kuning montok ginuk-ginuk saja matanya berbinar-binar.

"Masha Allah.. alangkah besar-besarnya pisang ini, Wiik.." Serunya riang.

Kami duduk di meja makan. Babe langsung menyantap pisang itu, sampai pipinya menggelembung lucu. Aku menatapnya sambil cengengesan. Sungguh kenangan yang indah😭.

Ditinggal Babe, membuatku menangis berjilid-jilid. Melihat jaket biru kesayangannya, aku terisak. Melihat biskuit kesukaannya, berlinang air mata. 

Pagi tadi kuseduh kopi cap kepala kucing dari Babe. Kuhirup pelan-pelan, kunikmati aroma dan rasanya,lalu hujan air mataπŸ˜₯.




23 Juni 2021, pukul 00.10 WIB, Babe wafat. Bukan cuma aku dan seluruh keluarga yang menangisi kepergiannya. Tetangga, dan teman-temannya pun menitikkan air mata. Babe yang dermawan, sangat suka membantu orang-orang yang kesusahan. Belum lagi perannya yang besar di lingkungannya. Bukan hanya merancang masjid, gapura, hingga jalan. Babe pun terlibat dalam pengawasan saat pembangunannya dilaksanakan di lingkungan Margoyoso, tempatnya tinggal. 


Bukan aku tak rela Babe pergi. Aku menangis karena beratnya beban rindu. Inilah yang namanya rindu tak bertepi. Rindu yang mengalir tanpa menemukan muara. Rindu yang tak ada obat penawarnya, yaitu bertemu dengan dia yang dirindukan, tak akan terjadi lagi,di dunia ini.

Semoga kubur Babe terasa bagai taman Surga. Tenanglah di sana, Ayah mertua terbaik.. Semoga kelak Allah mempertemukan kita semua di dalam surgaNya. Aamiin ya RabbπŸ’

1 komentar:

sLisa mengatakan...

Amin y Allah