Rabu, 16 Februari 2022

REMAJA TANTRUM? YUK DAMPINGI DENGAN ILMU

Sekian lama suasana rumah kerasa adem ayem damai sentosa sejahtera. Di suatu pagi awal 2021 yang cerah ceria ditemani secangkir kopi, tiba –tiba terjadilah sebuah drama keluarga. Jederrrr…. !!!💥💥 Rafif, si bungsu usia 16 tahun yang biasanya baik-baik saja, turun dari tangga lantai dua sambil marah-marah. 😡 

 Bukan cuma marah-marah, anak bujang bertubuh besar lebih tinggi dari Bapaknya itu beralih-alih, antara marah, menangis terisak, dan berkali-kali teriak,” Stress Rafif ini, Ma! Stress Rafif ini!” Tangannya menjambak-jambak rambut keritingnya yang tumbuh lebat mumbul ke atas, akibat terlalu lama tak mampir ke tukang cukur. 

 Hah? Pemandangan apa ini ?? Hampir saja aku tersedak kopi. Aku terhijack emosi oleh self talk yang bilang, “Apa-apaan ini, sudah segede gini kok tantrum? Stress apaan, seberat apa sih hidup anak ini?”
Jelas ini self talk yang tidak memberdayakan. Untung saja, sebelum bertindak, aku ingat untuk melakukan pilar pertama dalam 5 pilar komunikasi, yaitu selesaikan emosi diri sendiri. 

Aku melakukan teknik self distance, dengan disosiasi. Aku geser kursi tempat dudukku sedikit ke belakang dengan niat meninggalkan emosi ditempat semula. Langsung lega rasanya, logika naik. 

 Lalu sambil tenang ngirup kopi, aku bicara dalam hati. 

 “Oke, anak ini lagi sedang terhijack emosi yang kuat. Kalau aku balas dengan kata-kata dengan nada tinggi, bisa jadi dia makin emosi. Dengan badan sebesar itu, dan tenaga sekuat itu, ngeri juga kalau dia melampiaskan emosinya dengan merusak barang. Jadi sekarang yang dibutuhkan adalah membantu dia meregulasi emosinya. Dan gak di sini tempatnya. Dia bisa jadi tontonan para asisten rumah tangga, bahkan ngamuknya bisa kedengaran tetangga. Kasihan nanti dia malu. Oke, aku ajak ke kamar.” 

 Dengan berfikir seperti itu, aku bisa bicara dengan nada rendah, intonasi lembut, ekspresi wajah yang tenang ke Rafif. Kata-kata yang keluar dari mulutku tujuannya untuk meng-acknowledge emosinya. 

 “Rafif merasa stress ya, Nak. Mama ngerti. Yuk kita ke kamar Mama, biar enak ngobrolnya.”

Alhamdulillah, Rafif tidak menolak. Sambil terus terisak dengan dada sesak, dia bergegas mengikuti langkahku masuk kamar. 

 Selanjutnya, aku fokus pada tujuan, membantu Rafif meregulasi emosinya, lalu memdampinginya mencari solusi dengan parental coaching. 

Kenapa perlu meregulasi emosi? Orang yang terhijack emosi seperti Rafif saat itu, logikanya tidak jalan. Emosi dan logika itu hubungannya kayak timbangan. Emosi naik, logika turun. Dan sebaliknya. Jadi supaya Rafif cerdas, bisa ditanya-tanya untuk cari solusi, emosinya harus selesai dulu. 

Kami duduk berhadapan di tempat tidur. Rafif masih menjambak-jambak rambutnya, nafasnya memburu, terisak-isak berlinang air mata. 

“Stress Ma Rafif.. Stress Ma..” Ucapnya berulang-ulang. 

 “Mama ngerti Rafif merasa gak nyaman. Sekarang ungkapkan semua ke Mama, apa yang dirasa gak nyaman selama ini. Keluarkan semua, sayang.. supaya dada Rafif lega. Mama di sini mendengarkan Rafif. Rafif aman sama mama di sini.” Ucapku sepenuh hati. 


 “Rafif stress, Ma.. Sudah lama gak sekolah. Setiap hari cuma belajar lewat zoom. Rafif gak ngerti, gak nyaman belajar lewat zoom. Rasanya empty. Gak bisa kumpul sama teman-teman. Cuma begini-begini aja hidup ini sudah setahun lebih gara-gara corona!” Ucapnya dengan nada tinggi. 

Gerak tubuhnya gelisah, terus menarik-narik rambut, dan terisak. “Oke, mama ngerti. Sekarang Rafif mau melakukan apa supaya perasaan lebih tenang?” Rafif menggeleng. 

 “Mau nangis?” Rafif mengangguk. 

 “Boleh. Menangislah Nak.. Kalau menangis bisa membuat Rafif lega, lakukanlah. Mama temani sampai Rafif tenang ya…” Ucapku. 

Beberapa saat aku diam dengan wajah tenang, menatap Rafif yang terus menangis, beberapa menit kemudian intensitas isaknya kian menurun. Tangannya pun tak lagi menarik-narik rambut. Supaya emosinya lebih tenang, logikanya naik dan bisa masuk ke proses parental coaching, aku ajak Rafif relaksasi dengan menarik dan menghembuskan nafas panjang. 

 “Sekarang tarik nafas yuk. Mama temani. Tarik nafas yang panjaaang… hembuskan. Semakin narik nafas, perasaan Rafif semakin tenang. Nyaman.. tenang…”Dengan nada suara rendah mengalun, aku pandu Rafif melakukan relaksasi. 

 Kami berdua beberapa saat menarik nafas panjang, dan pelan-pelan menghembuskan. Kulihat wajah Rafif sudah semakin tenang, isaknya berkurang, hingga akhirnya berhenti. 

Disinilah pentingnya orangtua paham tahap perkembangan anak. Anak seusia Rafif yang sudah baligh, sudah menghasilkan hormone testoteron, yang salah satunya berfungsi untuk berjuang, untuk menghadapi tantangan. Tapi tantangan apa yang bisa dia dilakukan selama masa pandemi kalau kegiatan sehari-hari di rumah saja, cuma menatap layar HP, ikut kelas zoom, lalu ngerjain tugas? 

 Pandemi membuat Rafif tidak bisa berkumpul dengan teman-temannya di sekolah. Dia juga tidak les, tidak punya kegiatan yang membuat dia merasa bersemangat. Salahnya aku tidak peka terhadap apa yang dialami Rafif, karena selama ini Rafif tampak baik-baik saja. Rupanya kegiatan yang monoton, rasa bosan yang berlangsung lama, menjadi emosi yang bertumpuk-tumpuk dan ditahan Rafif selama ini. Lalu hari ini jebol deh pertahanannya.. Ya Allah… 

Alhamdulillah meski lewat drama begini, aku akhirnya tahu apa yang dialami si bungsu. 

 Proses coaching kemudian berjalan lancar. 

 “Baiklah, sayang. Mama ngerti Rafif merasa “empty”. Sekarang ini memang dimana-mana gak ada yang masuk sekolah offline. Jadi mau tidak mau, Rafif harus belajar lewat zoom. Kalau Rafif merasa kurang efektif, apa ya yang bisa Rafif lakukan supaya Rafif bisa mengerti materi pelajarannya?” 

 “Rafif mau les, ma.. Les offline. Rafif tau tempat les tutup semua, jadi Rafif mau les privat saja. Guru les datang ke rumah.” Sahut Rafif. 

 Kami kemudian diskusi masalah protocol kesehatan kalau Rafif memilih les privat. Artinya saat les dia menjaga jarak dengan guru lesnya dan memakai masker. 

 “Oke ya.. Kita sepakat. Lalu apa lagi yang mau Rafif lakukan supaya lebih semangat setiap harinya?” 


Kami diskusi. Rafif ingin ada kegiatan olahraga setiap hari yang jadi semacam moment penyemangat, untuk melepaskan kebosanan setelah kelas zoom. Aku setuju untuk memfasilitasinya. Rafif kemudian membuat jadwal kegiatan sehari-hari dengan menambah kegiatan baru, les privat dan olahraga. Alhamdulillah dapat solusi. 

 “Mama minta maaf ya, Nak. Mama gak peka, gak tahu kalau Rafif selama ini gak nyaman dengan kondisi pandemi. Next time, setiap ada rasa yang tidak nyaman, cepat diselesaikan. Rafif boleh curhat sama mama ya sayang. Kalau ada emosi yang mengganggu, kita selesaikan sama-sama ya Nak..” 

 Rafif menghembuskan nafas lega, lalu mengangguk dan tersenyum. Hati ini rasanya nyesss.. 

 Menghadapi anak remaja yang terhijack emosi, prinsipnya sederhana saja. Selesaikan emosi diri sendiri, selesaikan emosi anak, lalu bantu dengan parental coaching. 

 Cerita ini sengaja tidak aku posting sesaat setelah kejadian, karena aku ingin melihat bagaimana perkembangan Rafif. Dia sudah menjalankan kegiatan ini beberapa bulan. 

 Alhamdulillah Rafif sekarang happy. Dia sendiri mengatur jadwal les privat, minimal seminggu 3 kali. Kadang lebih sering sesuai kebutuhan belajarnya. Dia rajin ke gym. Ketika gym ditutup karena PPKM, dia mencari alternatif lain untuk tetap olahraga. Dia melakukan jogging, angkat beban dengan barbel di rumah, dan silat. Karena rajin olahraga, dia mulai memperhatikan makanannya. Setiap hari dia berkarya, masak makanan sehat, dada ayam panggang, steak, aneka salad sayuran dan buah dan lain lain. Setiap hari ada tantangan, setiap hari ada kegiatan untuk membuatnya merasa produktif. Perubahan yang jelas terlihat adalah kadar lemak Rafif turun jauh. Perutnya yang tempo hari buncit sekarang nggak buncit lagi. Dia juga dengan bangga menunjukkan padaku otot2 kakinya yg sudah mulai nongol🤣🤣 

 Sekarang kalau ditanya,” Rafif, are you happy now?” “Yes, I am.” Jawabnya dengan senyum lebar😁😁

 Alhamdulillah. Tidak ada kejadian yang sia-sia. Tantrum pun berakhir dengan solusi.💖