Selasa, 30 Agustus 2022

APA BEDANYA "MENCINTAI SUAMI" DENGAN " MENCINTAI SUAMI KARENA ALLAH"

MENGANALISA HAMBATAN DENGAN NEURO LOGICAL LEVEL

 

Banyak pertanyaan para emak yang rajin japri dengan pertanyaan serupa

“Mbak Iwed, bagaimana sih kok bisa tahan dan sabar menghadapi Akang yang dulu Rahwana? Pernah nggak terpikir untuk bercerai saja?”

 

OOO.. ya pernaah, Gaess 😂.  


Duluuu.. meskipun aku konsisten berupaya membangun kemesraan, beban emosinya terasa berat menghadapi  perilaku Akang.   Akang dulu khatam melakukan 4 pelanggaran alias kesalahan dalam komunikasi suami istri semacam critism ( mengkritik/ mencela), contempt  (merendahkan/ menghina), defensiveness ( ngeles) dan stonewalling (menolak berkomunikasi/ mengabaikan), +marah-marah+ memukul anak+sombong + gak mesra lagi. Lengkap ya Gaess.. wkwkwkwkwkwk😂😂😂😂…

 


Dulu aku nggak ngerti, kenapa kok berat sekali rasanya, meski saat itu aku sudah punya skill mengelola emosi.

 

Lalu  di 2014, Mbak Okina Fitriani ngajarin aku tentang Neuro Logical Level,sebuah model yang dikembangkan oleh Robert Dilts berdasarkan tingkatan neurologis yang digagas oleh antroplog bernama Gregory Bateson.

 

Neuro Logical Level (NLL) ini sebenarnya adalah stuktur cara berpikir manusia. NLL ini banyak gunanya, salah satunya untuk menganalisa hambatan ketika menuju sebuah tujuan.

 

Model NLL itu aslinya berbentuk hirarki, tapi  aku lebih nyaman menggunakan gambar yang seperti ini.


 


Goal atau tujuanku  bunyinya begini : 


Melakukan kemesraan (memeluk, membelai, mencium, memandang dengan sayang,  menyentuh, berkata dengan nada rendah dan sejenisnya) pada suami  setiap hari setiap ada kesempatan selama menjadi istrinya.

 

Goal inilah yang aku analisa dengan menggunakan NLL, sehingga ketahuan apa yang menghambat , sekaligus menemukan jawaban pertanyaan,”Kenapa terasa berat?”

Lalu setelah hambatannya diluruskan, aku bisa sangat nyaman melaksanakan goal itu. 

 

Analisa Goal di Level Environment

 

Di level lingkungan. Aku  melihat lingkungan tempat aku  melakukan goal itu adalah lingkungan yang sungguh mendukung. Di rumah, di kamar,bahkan juga di luar rumah. Tidak ada larangan melakukan kemesraan semacam bergandengan tangan dan merangkul pasangan halal meski di tempat umum kan ya? Di level ini  aman, tidak ada hambatan.


Analisa Goal di Level Behavior


Goal ini berada di level Behavior karena kemesraan itu memang berbentuk perilaku. Ye kan?

Melakukan kemesraan ini ya gampang .Tinggal melakukan gerakan menyentuh, memeluk, mencium dan sebagainya. Gampil sekutil laah..aku sehat dan tidak ada hambatan melakukan berbagai gerakan. Tapiii… meski gampil, Kok beraaat rasanya ya?

 

Nah… Kalau terasa ada hambatan, aku harus nge check level-level di atas level Behavior ini. Karena, level diatas atasnya itu mempengaruhi level yang di bawahnya.

 

Analisa Goal di Level  Capability/Skill:

 

Untuk terlaksananya goal ini, apa sih  capability atau skill yang aku butuhkan? Menghadapi suami  dengan perilaku “challenging” model si Akang  jelas  aku membutuhkan keterampilan mengelola emosi.  Kalau dihitung-hitung, sudah lengkap sih. Aku sudah bisa senyum 20 detik, self distance, anchor, perceptual position, reframing, self coaching ( berdialog dengan self talk lengkap dengan  metamodel  untuk mengugurkan belief ), editting sub modalities, dan forgiveness. Mestinya aman ya? 

 

Tapi kenyataannya menggunakan skill mengelola emosi untuk menghadapi perilaku Akang ibarat berhadapan dengan rasa pusing kepala, terus aku minum obat pereda nyeri. Hilang rasa pusingnya, lalu muncul pusing lagi, minum obat lagi hingga reda, pusing lagi, minum obat lagi. Begitu saja terus. Wakakakak😂😂😂… 


Kalau dibiarkan bisa keracunan obat kan ya?Oke..  berarti aku harus terus menganalisa di level-level yang lebih tinggi untuk tahu ada hambatan apa sebenarnya.

 

Analisa Goal di  Level Value/ Belief


Aku punya keyakinan apa sih yang mendukung melaksanakan goal ini? Ada gak keyakinan yang menghalangi aku melakukan kemesraan? Itu dua pertanyaan yang aku ajukan ke diri sendiri. Ternyata di level ini aku hanya menemukan keyakinan-keyakinan yang mendukung. Keyakinan semacam,” Istri itu ya memang harus mesra ke suaminya.” “ Mesra ke suami itu perbuatan halal dan di ridhoi Allah” dan sejenisnya.  Cucok meyong 😍

 

Analisa Goal di  Level Identity

 

Bagaimana aku menggambarkan diriku  dalam rangka melaksanakan goal itu? Jawabnnya seperti ini : Aku ini istri yang setia. Aku adalah orang  yang konsisten. Aku adalah orang yang suka romantisme dalam percintaan. Identitas-identas ini jelas mendukung terlaksananya goal. Ye kan?

 

Lalu salahnya dimana? Kok belui ketemu hambatannya, Gaess??

 

Analisa Goal di  Level Spiritual.

 

Di level ini aku tanyakan pada diri sendiri . Untuk apa aku lakukan goal itu? Untuk siapa? Kalau aku sudah tidak ada di dunia ini aku ingin dikenang sebagai apa?

Nah.. di level ini baru deh terjadi kehebohan luar biasa di dalam kepalaku. Ketika aku jawab bahwa aku melakukan semua ini untuk si Akang. Terjadilah dialog seperti ini :


 




Jlebbb….Ya Allah…. Akibat self talk yang demikian, berhari-hari aku melamun. Kacau rasanya. Ditambah lagi terus menghadapi Akang yang (dulu) mirip Rahwana, makin galau aku.

 

Di puncak rasa lelah secara psikis. Aku sampai bertanya-tanya sama diri sendiri.

 

“Aku itu sebenarnya cinta apa nggak sih dengan si Akang ini. Kok ya gini balasannya 

atas segala upaya aku mesra-mesra? Kayaknya  benar aku gak cinta lagi. Apa aku pisah aja ya. Ya Allah bagaimana ini?.”

 

Dalam lamunan, aku membayangkan Tuhan berkata,”

 

“Hai Iwed, kamu dulu minta-minta jodoh padaKu. Kamu shalat istikharah minta dipilihkan yang terbaik menurutKu. Sudah  Aku kabulkan doamu,lho. Sudah aku kasih jodoh untukmu. Terus sekarang bilang gak cinta?  "


"Walau hatimu sakit, kecewa, sedih, capek, merasa gak cinta atau apalah, tetap saja  selama kamu masih berstatus istrinya, kalau kau ingin disentuh, ingin memeluk, ingin mesra-mesra, Aku hanya ridho kalau kamu lakukan kepada manusia yang namanya  Sutedja Eddy Saputra ini. Bahkan kalau rasanya gak cinta, tapi kamu tetap bilang “I love You” padanya, kamu dapat pahala dan ridhoKu. Karena perbuatan itu sesuai dengan syariah, dan  apa yang Kuperintahkan. Sekarang Aku  uji dirimu dengan  perilaku suamimu yang demikian. Kamu mau tetap taat apa nggak??”

 

Sudah dapat jawaban dari kegalauan selama ini.

 

Dulu, istilah “Mencintai karena Allah hanyalah sebuah jargon, yang aku tak paham maknanya, tak pula paham  cara menjalaninya . 

 

Ketika di level spiritual sudah diganti dengan “berharap ridhoNya”, aku jadi paham, apa bedanya “mencintai suami” dengan “ mencintai suami karena Allah”

 

Bedanya bisa didengar dari self talk.

 

Ketika dulu aku memeluk Akang penuh antusias  berharap Akang membalas, self talkku bunyinya begini,” Aku cinta padamu.. Aku cintaa Akang..” Akang  berdiri diam saja  tak membalas pelukanku, ekspresinya dingin lempeng macam patung es. Terus dia melenggang pergi masuk mobil meninggalkan sekeping hati  seorang istri yang pediiiih,Esmeralda. Self-talk ribut berkeluh kesah,”Aku ini dianggap apa? Kok tega sih nggak membalas pelukanku? Sakitnya aduuuh sakitnyaa. ” Lalu aku sibuk menyelesaikan emosi pakai macam-macam teknik. Berat, sodara-sodara.. Besoknya begitu lagi berulang-ulang.

 

Setelah diganti di  di level spiritual  dengan “berharap ridhoNya” kejadiannya begini :

 

Aku peluk Akang. Dia bilang, “ Duuh.. cepetan. Nanti Akang telat ke kantor.”

 

Eh.. nggak ngefek ke emosiku 😀. Self talk-self talk yang biasanya protes dengan sikap Akang, pada mingkem semua😷.  

 

Aku terus memeluk dengan nyaman sambil bilang.”Hati-hati ya sayang, Semoga kerjaan Akang lancar dan dimudahkan Allah. Aamiin” Terus cium pipi kiri kanan. Akang melenggang masuk mobil. Aku senyuuum sampai mobilnya menghilang di tikungan. Hatiku tetap nyamaan senyaman pagi yang cerah. 


Kenapa? 

 

Karena self talkku  yang dominan bilang begini,” Tuhan..Tuhanku..lihatlah! Aku melakukan perbuatan yang Engkau ridhoi. Ini perbuatan yang Engkau ridhoi kan?. “ Efek berkata seperti itu membuat hatiku  terasa melonjak-lonjak penuh semangat. Rasanya ringaan sekali, karena aku tahu semua tindakan dan ucapan baikku,  dicatat Malaikat yang tak pernah lalai mencatat amal manusia.  Tidak masalah, apakah Akang menanggapi dengan dingin atau apa pun, karena balasan Akang bukan  menjadi tujuanku. 

 

Rasa ringan, nyaman dan tenang ini jauh berbeda dibanding sebelumnya. Mungkin begini rasanya menjadi jiwa yang tenang karena self talk yang memberdayakan. 

 

Kembali ke NLL tadi. Ketika semua level telah menjadi selaras, maka upaya menjalankan goal itu menjadi  wuss..wuss…wusss…ringaaan, kawan.

 

Mungkin karena aku konsisten berlaku mesra bertahun-tahun lamanya,  atau mungkin juga karena Tuhan kasihan padaKu.  Dia kemudian  menggerakkan hati  Akang untuk membalas kemesraan-kemesraan itu. Ciee…ciee💖… wkwkwkwkwk😂..

 

Ibarat membangun Menara, kalau dulu menaranya roboh  melulu karena niat atau pondasinya salah, kini Menara itu tak lagi hancur. Ia tumbuh makin kuat makin tinggi, makin menjulang membawa harapanku, Insya Allah kelak  akan mencapai surgaNya. Aamiin.. 

 

 

Rabu, 16 Februari 2022

REMAJA TANTRUM? YUK DAMPINGI DENGAN ILMU

Sekian lama suasana rumah kerasa adem ayem damai sentosa sejahtera. Di suatu pagi awal 2021 yang cerah ceria ditemani secangkir kopi, tiba –tiba terjadilah sebuah drama keluarga. Jederrrr…. !!!💥💥 Rafif, si bungsu usia 16 tahun yang biasanya baik-baik saja, turun dari tangga lantai dua sambil marah-marah. 😡 

 Bukan cuma marah-marah, anak bujang bertubuh besar lebih tinggi dari Bapaknya itu beralih-alih, antara marah, menangis terisak, dan berkali-kali teriak,” Stress Rafif ini, Ma! Stress Rafif ini!” Tangannya menjambak-jambak rambut keritingnya yang tumbuh lebat mumbul ke atas, akibat terlalu lama tak mampir ke tukang cukur. 

 Hah? Pemandangan apa ini ?? Hampir saja aku tersedak kopi. Aku terhijack emosi oleh self talk yang bilang, “Apa-apaan ini, sudah segede gini kok tantrum? Stress apaan, seberat apa sih hidup anak ini?”
Jelas ini self talk yang tidak memberdayakan. Untung saja, sebelum bertindak, aku ingat untuk melakukan pilar pertama dalam 5 pilar komunikasi, yaitu selesaikan emosi diri sendiri. 

Aku melakukan teknik self distance, dengan disosiasi. Aku geser kursi tempat dudukku sedikit ke belakang dengan niat meninggalkan emosi ditempat semula. Langsung lega rasanya, logika naik. 

 Lalu sambil tenang ngirup kopi, aku bicara dalam hati. 

 “Oke, anak ini lagi sedang terhijack emosi yang kuat. Kalau aku balas dengan kata-kata dengan nada tinggi, bisa jadi dia makin emosi. Dengan badan sebesar itu, dan tenaga sekuat itu, ngeri juga kalau dia melampiaskan emosinya dengan merusak barang. Jadi sekarang yang dibutuhkan adalah membantu dia meregulasi emosinya. Dan gak di sini tempatnya. Dia bisa jadi tontonan para asisten rumah tangga, bahkan ngamuknya bisa kedengaran tetangga. Kasihan nanti dia malu. Oke, aku ajak ke kamar.” 

 Dengan berfikir seperti itu, aku bisa bicara dengan nada rendah, intonasi lembut, ekspresi wajah yang tenang ke Rafif. Kata-kata yang keluar dari mulutku tujuannya untuk meng-acknowledge emosinya. 

 “Rafif merasa stress ya, Nak. Mama ngerti. Yuk kita ke kamar Mama, biar enak ngobrolnya.”

Alhamdulillah, Rafif tidak menolak. Sambil terus terisak dengan dada sesak, dia bergegas mengikuti langkahku masuk kamar. 

 Selanjutnya, aku fokus pada tujuan, membantu Rafif meregulasi emosinya, lalu memdampinginya mencari solusi dengan parental coaching. 

Kenapa perlu meregulasi emosi? Orang yang terhijack emosi seperti Rafif saat itu, logikanya tidak jalan. Emosi dan logika itu hubungannya kayak timbangan. Emosi naik, logika turun. Dan sebaliknya. Jadi supaya Rafif cerdas, bisa ditanya-tanya untuk cari solusi, emosinya harus selesai dulu. 

Kami duduk berhadapan di tempat tidur. Rafif masih menjambak-jambak rambutnya, nafasnya memburu, terisak-isak berlinang air mata. 

“Stress Ma Rafif.. Stress Ma..” Ucapnya berulang-ulang. 

 “Mama ngerti Rafif merasa gak nyaman. Sekarang ungkapkan semua ke Mama, apa yang dirasa gak nyaman selama ini. Keluarkan semua, sayang.. supaya dada Rafif lega. Mama di sini mendengarkan Rafif. Rafif aman sama mama di sini.” Ucapku sepenuh hati. 


 “Rafif stress, Ma.. Sudah lama gak sekolah. Setiap hari cuma belajar lewat zoom. Rafif gak ngerti, gak nyaman belajar lewat zoom. Rasanya empty. Gak bisa kumpul sama teman-teman. Cuma begini-begini aja hidup ini sudah setahun lebih gara-gara corona!” Ucapnya dengan nada tinggi. 

Gerak tubuhnya gelisah, terus menarik-narik rambut, dan terisak. “Oke, mama ngerti. Sekarang Rafif mau melakukan apa supaya perasaan lebih tenang?” Rafif menggeleng. 

 “Mau nangis?” Rafif mengangguk. 

 “Boleh. Menangislah Nak.. Kalau menangis bisa membuat Rafif lega, lakukanlah. Mama temani sampai Rafif tenang ya…” Ucapku. 

Beberapa saat aku diam dengan wajah tenang, menatap Rafif yang terus menangis, beberapa menit kemudian intensitas isaknya kian menurun. Tangannya pun tak lagi menarik-narik rambut. Supaya emosinya lebih tenang, logikanya naik dan bisa masuk ke proses parental coaching, aku ajak Rafif relaksasi dengan menarik dan menghembuskan nafas panjang. 

 “Sekarang tarik nafas yuk. Mama temani. Tarik nafas yang panjaaang… hembuskan. Semakin narik nafas, perasaan Rafif semakin tenang. Nyaman.. tenang…”Dengan nada suara rendah mengalun, aku pandu Rafif melakukan relaksasi. 

 Kami berdua beberapa saat menarik nafas panjang, dan pelan-pelan menghembuskan. Kulihat wajah Rafif sudah semakin tenang, isaknya berkurang, hingga akhirnya berhenti. 

Disinilah pentingnya orangtua paham tahap perkembangan anak. Anak seusia Rafif yang sudah baligh, sudah menghasilkan hormone testoteron, yang salah satunya berfungsi untuk berjuang, untuk menghadapi tantangan. Tapi tantangan apa yang bisa dia dilakukan selama masa pandemi kalau kegiatan sehari-hari di rumah saja, cuma menatap layar HP, ikut kelas zoom, lalu ngerjain tugas? 

 Pandemi membuat Rafif tidak bisa berkumpul dengan teman-temannya di sekolah. Dia juga tidak les, tidak punya kegiatan yang membuat dia merasa bersemangat. Salahnya aku tidak peka terhadap apa yang dialami Rafif, karena selama ini Rafif tampak baik-baik saja. Rupanya kegiatan yang monoton, rasa bosan yang berlangsung lama, menjadi emosi yang bertumpuk-tumpuk dan ditahan Rafif selama ini. Lalu hari ini jebol deh pertahanannya.. Ya Allah… 

Alhamdulillah meski lewat drama begini, aku akhirnya tahu apa yang dialami si bungsu. 

 Proses coaching kemudian berjalan lancar. 

 “Baiklah, sayang. Mama ngerti Rafif merasa “empty”. Sekarang ini memang dimana-mana gak ada yang masuk sekolah offline. Jadi mau tidak mau, Rafif harus belajar lewat zoom. Kalau Rafif merasa kurang efektif, apa ya yang bisa Rafif lakukan supaya Rafif bisa mengerti materi pelajarannya?” 

 “Rafif mau les, ma.. Les offline. Rafif tau tempat les tutup semua, jadi Rafif mau les privat saja. Guru les datang ke rumah.” Sahut Rafif. 

 Kami kemudian diskusi masalah protocol kesehatan kalau Rafif memilih les privat. Artinya saat les dia menjaga jarak dengan guru lesnya dan memakai masker. 

 “Oke ya.. Kita sepakat. Lalu apa lagi yang mau Rafif lakukan supaya lebih semangat setiap harinya?” 


Kami diskusi. Rafif ingin ada kegiatan olahraga setiap hari yang jadi semacam moment penyemangat, untuk melepaskan kebosanan setelah kelas zoom. Aku setuju untuk memfasilitasinya. Rafif kemudian membuat jadwal kegiatan sehari-hari dengan menambah kegiatan baru, les privat dan olahraga. Alhamdulillah dapat solusi. 

 “Mama minta maaf ya, Nak. Mama gak peka, gak tahu kalau Rafif selama ini gak nyaman dengan kondisi pandemi. Next time, setiap ada rasa yang tidak nyaman, cepat diselesaikan. Rafif boleh curhat sama mama ya sayang. Kalau ada emosi yang mengganggu, kita selesaikan sama-sama ya Nak..” 

 Rafif menghembuskan nafas lega, lalu mengangguk dan tersenyum. Hati ini rasanya nyesss.. 

 Menghadapi anak remaja yang terhijack emosi, prinsipnya sederhana saja. Selesaikan emosi diri sendiri, selesaikan emosi anak, lalu bantu dengan parental coaching. 

 Cerita ini sengaja tidak aku posting sesaat setelah kejadian, karena aku ingin melihat bagaimana perkembangan Rafif. Dia sudah menjalankan kegiatan ini beberapa bulan. 

 Alhamdulillah Rafif sekarang happy. Dia sendiri mengatur jadwal les privat, minimal seminggu 3 kali. Kadang lebih sering sesuai kebutuhan belajarnya. Dia rajin ke gym. Ketika gym ditutup karena PPKM, dia mencari alternatif lain untuk tetap olahraga. Dia melakukan jogging, angkat beban dengan barbel di rumah, dan silat. Karena rajin olahraga, dia mulai memperhatikan makanannya. Setiap hari dia berkarya, masak makanan sehat, dada ayam panggang, steak, aneka salad sayuran dan buah dan lain lain. Setiap hari ada tantangan, setiap hari ada kegiatan untuk membuatnya merasa produktif. Perubahan yang jelas terlihat adalah kadar lemak Rafif turun jauh. Perutnya yang tempo hari buncit sekarang nggak buncit lagi. Dia juga dengan bangga menunjukkan padaku otot2 kakinya yg sudah mulai nongol🤣🤣 

 Sekarang kalau ditanya,” Rafif, are you happy now?” “Yes, I am.” Jawabnya dengan senyum lebar😁😁

 Alhamdulillah. Tidak ada kejadian yang sia-sia. Tantrum pun berakhir dengan solusi.💖