Selasa, 28 Juli 2015

Wisata Kuliner di Resto Pempek Wawa


Palembang dan pempek. Dua kata itu sudah demikian akrab, seolah saling memberi makna meneguhkan eksistensi sebuah kota dengan ciri khas kuliner lezat  yang tak terpisahkan.

Aku tinggal di Palembang sejak 1985 hingga 2009. Dalam rentang waktu 24 tahun  hingga sekarang tak pernah  bosan aku  menikmati pempek, seperti juga warga Palembang yang sangat menggemari makanan ini.

Seingatku, meski resto dan warung pempek “bertaburan” banyaknya di kota Palembang, jarang ada yang bangkrut. Masing-masing sudah memiliki penggemar dan pangsa pasar tersendiri.  Bahkan akhir-akhir ini makin banyak resto pempek  bermunculan.

Aku dan suamiku, si Akang, gemar mencicipi pempek dari berbagai merk yang ada di Palembang. Kami sering membandingkan rasa dan kualitas pempek dengan cara safari kuliner dari resto ke resto, dari warung ke warung. Meskipun dibuat dari bahan yang sama, komposisi dan racikan tiap merk pempek tentu menghasilkan cita rasa dan kualitas berbeda.

Dari hasil membanding-bandingkan rasa berbagai merk pempek, kami membuat klasifikasi sendiri. Ada pempek  premium, pempek super, pempek standar dan pempek dibawah standar.

Pempek premium harganya mahal, di atas rata-rata harga pempek di Palembang, tapi kualitasnya memang juara. Pempek ini tampaknya dibuat dengan komposisi daging ikan yang banyak, dengan campuran sagu yang  jumlahnya sedikit. Pempek jenis ini penggemarnya terbatas pada konsumen yang mengutamakan kualitas, dan tak bermasalah dengan harga.

Pempek super lebih ideal karena harga lebih bersahabat sementara rasanya enak . Jenis pempek inilah yang paling kugemari. Hehe..

Kemudian  pempek kualitas standar. Standard yang kumaksud di sini adalah standar cita rasa Palembang ya. Jadi meski kualitasnya standar, rasa masih lebih enak daripada pempek yang dijual di luar Palembang. Meski rasanya dibawah kualitas super, masalah harga kadangkala sama dengan yang super.
 
Yang terakhir adalah pempek yang dibawah standar.  Pempek ini menurut kami cita rasanya kalah dalam percaturan dunia pempek Palembang. Bisa karena berbau amis,  terlalu kenyal, atau tak terasa gurih ikan akibat terlalu banyak kandungan sagu dibandingkan daging ikannya. Harganya pun murah. Bahkan ada yang sangat murah.

Berbagai varian Pempek Wawa

Senin, 27 Juli 2015

Kuliner Soto Babat dan Teh Susu Depan Pasar Cinde Palembang


Delapan tahun lalu saat masih tinggal di Palembang, tepatnya tahun 2007, aku dan  si Akang, pernah diajak   tetangga kami, Pak Yusfik dan istrinya, menikmati kuliner soto babat di sebuah warung makan sederhana. 

Mulanya aku heran mengapa  mereka menganggap tempat makan sederhana itu sebagai sesuatu yang istimewa  hingga  mengajak kami ke sana. Warung itu menempati sebuah ruko di jalan Jendral Sudirman, berseberangan dengan pasar Cinde.  Suasana bergaya seadanya,cenderung suram dan “jadul”, bahkan tidak ada papan namanya.

Meja-meja kayu dengan kursi plastik berbeda-beda warna. Ada yang putih dekil, merah pudar dan hijau lusuh seakan membawaku pada suasana warung makan masa lalu.

“Kami ingin mengajak kalian bernostalgia. Dulu kami sering makan di sini. Sotonya enak. Dan rasanya tetap tak berubah seiring waktu. “ Ujar Pak Yusfik disambut senyum manis istrinya. Pasangan setengah baya itu ramah dan baik hati.

Kami memesan soto  babat campur daging dan nasi putih.

“Saya pesankan minuman istimewa ya. Es teh susu di sini  enak lho. “ Pak Yusfik berkata setengah promosi.

Aku dan Akang  mengangguk.


Sabtu, 25 Juli 2015

Martabak HAR, Kuliner Khas Palembang

Mudik ke Palembang tak pernah kulewati tanpa wisata kuliner menikmati makanan khasnya. Kuliner  Palembang  sangat banyak jenisnya, bukan hanya pempek, lenggang, model, tekwan, celimpungan, mie celor, burgo, laksan, pindang dan jenis makanan dengan bahan dasar ikan, tapi ada juga martabak telur yang sangat tersohor di kota ini. Namanya martabak HAR.


HAR adalah singkatan dari Haji Abdul Rozak, seorang saudagar keturunan India yang menikah dengan wanita Palembang. Haji Abdul Rozak adalah  sang pencipta kuliner unik ini.

Rabu, 22 Juli 2015

Nyaris “Married by Accident” Sebuah Pelajaran tentang Tanggung Jawab


Istilah "Married by Accident" atau menikah karena kecelakaan seringkali berkonotasi negatif. Pergaulan bebas di kalangan anak muda  mengakibatkan   kehamilan  tak direncanakan kerap membuat para pelakunya memasuki gerbang  pernikahan dengan terpaksa.  Tapi bukan itu yang akan aku ceritakan di sini. Kisah ini adalah pengalaman inspiratif tentang Married by Accident dalam arti sesungguhnya. Kisah ini tentang sebuah pelajaran bertanggung jawab yang ditunjukkan oleh dua lelaki bijaksana.

Ketika itu  aku masih menjadi mahasiswi jurusan Teknik Sipil Universitas Sriwijaya. Masa indah penuh semangat merancang masa depan aku lalui bersama teman-teman satu angkatan yang sebagian besar laki-laki.

Mahasiswi termasuk makhluk langka di jurusan teknik kecuali di Teknik Kimia. Di jurusan Teknik Sipil angkatan 1991, hanya ada 17 mahasiswi di tengah  53 mahasiswa. Berada di lingkungan yang didominasi kaum lelaki justru membuat  aku dan 16 teman mahasiswi merasa nyaman. Para mahasiswa seangkatan rata-rata baik dan mau membantu kesulitan rekan mahasiswi. Bahkan kadang-kadang kami merasa dimanja. Bila  mengalami kesulitan dalam memahami mata kuliah atau pengerjaan tugas, teman-teman pria baik seangkatan maupun kakak-kakak tingkat rela membantu.

Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Sriwijaya angkatan 1991.

Selasa, 14 Juli 2015

Ngabuburit Bareng Ibu Wali Kota Bogor

Salah satu rangkaian acara Bogor Urban Hijab Expo (BUHE) 2015 yang diselenggarakan oleh Bulandua dan Hijaber Mom Community Bogor adalah acara ngabuburit bareng Ibu Wali Kota Bogor, Ibu Yane Ardian,SE.

Aku menerima undangan menghadiri acara itu dari Teh Vina Lucky Karim, founder komunitas Pelangi. Sebelumnya beberapa kali aku diajak mengenal lebih dekat Ibu Yane lewat komunitas  pengajian, sayangnya  belum sempat menghadiri karena bersamaan waktunya dengan acara lain.

Kebetulan ada waktu, siang itu 11 Juli 2015, aku memacu  mobil menembus kemacetan lalu lintas Bogor menuju Hotel Salak, tempat  diselenggarakan acara tersebut.

Aku bersama Teh Vina dan Mbak Lisa Sumber Foto koleksi :  Mbak Lisa Yuwanti

Senin, 13 Juli 2015

Berbagi Kebaikan ala Motor Besar Club Bogor



Bulan Ramadhan di mana Allah menjanjikan balasan kebaikan yang berlimpah kepada umatNya telah menjadi dasar  kaum muslim untuk menggiatkan aktivitas amal lebih “ekstra” dari bulan-bulan lainnya.


Demikian juga dengan komunitas motor besar yang tergabung dalam Motor Besar Club (MBC)  Bogor. Setiap tahun di bulan Ramadhan ada agenda bakti sosial yang rutin dilaksanakan. 

Minggu, 12 Juli 2015

Tirta Nirwana Berbagi Kasih

Ibarat sebuah miniatur nusantara, Tirta Nirwana, salah satu cluster yang berada di kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence terdiri dari warga dengan  kewarganegaraan, etnis , agama serta kepercayaan yang beragam.

Suasana Cluster Tirta Nirwana

Sabtu, 11 Juli 2015

Menjelajah Cita Rasa Masakan Jepang di Resto Midori Bogor



Masakan Jepang menjadi pilihan yang tak pernah membosankan bagi ketiga anakku. Mereka sangat menggemari sushi, sashimi dan masakan sejenisnya.  Selasa 7 Juli 2015 lalu, selepas berbuka puasa dan shalat maghrib, aku dan keluarga mencoba resto Jepang “ Midori” di kawasan Jl. Padjajaran no 53  Bogor.  Letak resto ini bersebelahan dengan resto masakan Sunda Bumi Aki.