Senin, 22 Desember 2014

Ibu Mertua dan Matematika Allah

“Waktu kecil, si Tedja itu paling  banyak maunya.  Berbeda dengan anak Ibu yang lain. “ Suara ibu mertuaku sedikit serak. Dia berdeham sebentar lalu melanjutkan bicaranya.

 “Kalau makan maunya yang enak-enak. Paling suka protes dengan menu yang biasa Ibu masak. Maunya dibuatkan masakan “bule”. Sandwich, atau apalah itu namanya. Ya mana bisalah. Ibu kan dulu harus cermat mengatur keuangan. Kalau menuruti semua keinginannya, bisa jeblok pengeluaran.” Tubuh Ibu terangguk-angguk seirama kursi goyang jati kesayangannya. Kursi itu dari Jepara, hadiah dari suamiku, Sutedja Eddy Saputra, yang dipanggil Ibu dengan sebutan kesayangan “ si Tedja”.

Duduk  dan mengobrol berdua Ibu di ruang tengah rumahnya seringkali aku lakukan kala mudik ke Palembang. Ibu paling senang menceritakan kisah-kisah masa lalunya. Masa kecil Akang, begitulah aku memanggil suamiku, adalah yang paling banyak diceritakannya.

“Dulu waktu dia masih di taman kanak-kanak, hampir setiap hari Ibu buatkan terigu goreng untuk bekal sekolahnya. Pilihan rasanya hanya dua, pake gula pasir atau pakai garam.” Ibu terkekeh, mengenang terigu goreng buatannya dengan dua rasa, versi manis dan versi gurih.



“Seringkali bekalnya tidak dimakan. Ya, tahu sendiri kan bagaimana rasa terigu goreng? Tedja protes keras. Minta dibuatkan bolu, dadar gulung, kroket atau kue lapis seperti bekal teman-temannya. Bukannya Ibu tidak bisa membuat makanan itu, selain dana yang terbatas, Ibu tidak punya waktu. Jam 5 subuh Ibu harus berangkat mengajar. Ibu bangun jam 4 dini hari, lalu masak untuk sarapan dan makan siang, mencuci piring dan bersih-bersih rumah. Mengurus rumah, suami dan 4 orang anak semua Ibu lakukan sendiri. Ibu dan Ayah tak punya cukup uang untuk menggaji pembantu. Gaji Ayah sebagai pekerja biasa hanya cukup untuk makan. Jadi Ibu harus bekerja supaya anak-anak bisa sekolah. Kalau si Tedja mulai protes lagi masalah terigu goreng itu, Ibu bilang padanya kalau Ibu  mendoakannya. Mudah-mudahan  di masa depannya dia bisa makan makanan enak apa saja yang dia mau.” Ibu mertuaku terdiam sejenak. Matanya menerawang.

Dalam hati aku mengagumi perempuan tangguh dihadapanku. Di masa lalu, sekitar tahun 1975,  hidup tidaklah mudah baginya. Jam 5 dini hari Ibu sudah berangkat menempuh jarak 60 Km. Jarak itu ditempuh selama 2 jam dengan 3 kali berganti kendaraan umum. Menjelang jam 7 barulah dia sampai di sekolah dasar tempatnya mengajar Matematika. Selesai mengajar, Ibu belanja sayuran ke pasar.  Dia  tiba kembali di rumah jam 4 sore. Hanya istirahat selama setengah jam saja, lalu pekerjaannya berlanjut. Ibu memasak untuk makan malam, mencuci pakaian, menyeterika dan kemudian menyiapkan bahan-bahan untuk mengajar besok. Begitulah kegiatannya setiap hari selama bertahun-tahun.

“Ibu terpaksa sangat ketat mengatur pengeluaran. Dewi tahu kan, gaji guru SD itu kecil?” Ibu melontarkan pertanyaan retoris seperti meminta persetujuanku.

“Iya, Bu.”Jawabku singkat, lalu aku diam  menanti Ibu melanjutkan kisahnya.

“Rupiah demi Rupiah harus diperhitungkan hanya untuk hal-hal yang sangat penting, seperti  biaya sekolah. Itu prioritas utama. Ibu ingin anak-anak memperoleh pendidikan terbaik, sehingga kehidupannya jauh lebih baik dari Ibu dan Ayah . Cukuplah Ibu dan Ayah saja yang hidup susah. Harapan Ibu, anak-anak kelak bisa memberi kehidupan yang layak buat keluarganya.” Ibu merebahkan kepalanya di sandaran kursi goyang. Tangannya memilin-milin ujung daster yang dikenakannya.

 “Bukan Tedja namanya kalo tidak banyak keinginan. Tidak bosan-bosannya dia merayu Ibu kalau ingin dibelikan sesuatu. Tapi kebanyakan permintaanya Ibu tolak dengan tegas. Pokoknya kalau bukan untuk kepentingan sekolah, jangan harap bisa terlaksana.” 

Sudah bisa kubayangkan bagaimana tampang Akang bila permintaanya ditolak Ibu. Hihihi... pasti lucu sekali.

 “Hayoo... lagi ngegosip ya? Pasti Neng lagi tanya-tanya tentang Akang kan? Memang Akang ini menggemaskan, Neng. Suka bikin penasaran. Mengaku sajalah kalo Neng itu penggemar berat Akang!” Tiba-tiba Akang muncul di pintu samping, menggodaku dengan seringai lebar   di bibirnya.

“Ih apaan sih! Siapa yang ngegosip? Ini kisah nyata! Ibu cerita tentang kelakuan Akang yang antik waktu kecil. Lagian Akang tuh yang penggemar setia Neng. Neng sih biasa saja..” Balasku sambil meleletkan lidah. 

Pandanganku kembali beralih ke Ibu yang tersenyum-senyum dibuai kursi goyang.


Sebuah mobil sedan berwarna krem metalik memasuki halaman rumah, lalu diparkir masuk garasi. Ayah mertuaku turun, menutup pintu garasi dan melangkah ke dalam rumah.

“Wah, lagi ngobrol apa ini? “ Tanyanya ketika melihat kami. Babe, begitulah aku memanggil Ayah mertuaku, menyodorkan sebuah bungkusan padaku.

“Apa ini, Be? “ Aku mengambil bungkusan itu. Terasa hangat ketika kupegang.

“Pisang goreng.”Jawab Babe singkat.

Aku bergegas ke dapur, membuka bungkusan  dan meletakkan potongan-potongan pisang goreng hangat itu di sebuah piring lebar. Piring itu kubawa ke ruang tengah..

“Ini Bu, pisang gorengnya.” Kusodorkan piring lebar itu ke hadapan Ibu. Tangan Ibu  terjulur menelusuri piring, sedikit meraba, lalu Ibu meraih sebuah pisang goreng  dan mengigitnya pelan-pelan.

Hatiku getir memandang wajah Ibu. Tubuh Ibu memang sehat. Gula darah, asam urat, dan tekanan darahnya normal, tapi matanya... 

Sudah beberapa tahun belakangan ini Ibu tidak mampu melihat dengan baik. Tepatnya, hampir buta. Kalau diperhitungkan dengan presentasi, penglihatan Ibu hanya tinggal 5 persen saja. Dunia bagi Ibu bagaikan siluet gelap tak ubahnya gambar klisi foto zaman dulu. Syaraf-syaraf matanya mengalami gangguan. Terasa sakit bila berhadapan dengan cahaya. Makin terang cahaya makin sakit matanya. Bukannya tak pernah diobati. Sudah tak terhitung usaha menyembuhkan penyakitnya. Tapi dokter-dokter itu angkat tangan. Menyerah.

“Tedja itu paling keras kepala.” Babe menggelengkan kepalanya mengenang masa lalu.“ Dalam banyak hal dia teguh menjalankan pendiriannya, tak perduli pendapat orang. Tapi Alhamdulillah, dia masih mau menuruti kehendak Babe, meskipun dengan setengah hati. Coba bayangkan, tamat SMA dengan yakinnya si Tedja mau mendaftar kerja  jadi satpam, Wi!” Babe menatapku lekat-lekat, lalu melanjutkan bicaranya.

“Entah  di mana pikirannya waktu itu. Susah payah Ibu dan Babe berjuang kerja keras membangun masa depan yang lebih cerah untuknya. Lalu dengan entengnya dia bilang mau kerja jadi satpam. Apa jadinya kalau Babe biarkan keinginannya itu. Bukan bermaksud merendahkan profesi satpam, tapi kenyataannya penghasilan satpam itu jauh lebih kecil dibandingkan penghasilan Ibu dan Babe. Bukan seperti itu masa depan yang kami harapkan buat Tedja. Babe marah besar waktu itu.” Babe sedikit terlarut dalam kenangannya. Dia menghelas nafas sebelum melanjutkan kisahnya.

 “Lalu Babe  mengurus sendiri pendaftaran Tedja untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi negri. Babe yang mengantri ambil formulir,  mengisi data-data, memilihkan jurusan teknik mesin  serta melengkapi segala persyaratannya. Si Tedja hanya tinggal menandatangani formulir itu dan mengikuti ujian masuk. Hati Babe dan Ibu baru lega waktu Tedja dinyatakan lulus di Universitas Sriwijaya, jurusan teknik mesin sesuai harapan Babe. Untunglah dia mau membatalkan niatnya jadi satpam.”

Akang yang selonjoran di sofa tak jauh dariku cengengesan mendengar kisah hidupnya “di putar ulang”.

“Wi, coba lihat di kamar itu.” Telunjuk Ibu terarah ke sebuah kamar di sisi kanan. Ibu yang hampir tak dapat melihat sudah hafal letak-letak kamar dan barang-barang di rumahnya. Semua akan berjalan lancar bila tak ada barang yang diubah letaknya. Hanya di rumah ini Ibu merasa nyaman. Bila dia berada ditempat lain, dia akan mengalami kesulitan. Berjalan harus dituntun, kalau tidak dia bisa terjatuh atau  menabrak barang-barang.

“Itu dulu kamar Tedja. Dinding kamar itu  penuh ditempelinya gambar macam-macam motor. Motor yang besar-besar , berbagai warna dan ukuran, entah apa merknya Ibu tidak mengerti. Ibu pernah marah karena dinding jadi kotor. Tapi Tedja berkeras, katanya dia ingin punya motor seperti yang di gambar itu. Memang dia tidak minta  dibelikan, karna dia juga pasti tahu kemampuan Ibu dan Ayah. Mengharapkan kami bisa membelikannya motor seperti itu ibarat pepatah jauh panggang dari api. Siapa sangka ternyata keinginannya memiliki motor-motor besar sekarang terwujud.” Senyum Ibu mengembang . Lalu dia  mengunyah perlahan. Pisang goreng di tangannya hampir habis.

“Tedja itu perayu paling gigih. Dia menghasut Ibu untuk membeli motor bebek. Ya, motor bebek adalah yang paling masuk akal bisa dibeli seorang guru SD seperti Ibu. Alasannya untuk dipakai kuliah. Hah, pintar sekali dia berargumentasi!” Ibu memasukkan potongan  pisang goreng terakhir ke mulutnya. Kursi goyangnya masih terangguk-angguk.

“Tuh, Neng. Ibu saja mengakui kalau Akang ini pintar. “ Serobot Akang. Tangan isengnya menarik-narik ujung jilbabku.

“Diam kenapa,sih. bawel!” Balasku sebal. Ku hadiahkan cubitan kecil di punggung tangannya hingga dia terpekik lirih, meski masih sambil cengengesan.

 Ibu kembali berkata “Menurutnya motor bebek bisa menunjang kegiatan kuliah, begitulah teori si Tedja. Lama-lama Ibu luluh juga kena rayuannya. Akhirnya Ibu beli motor bebek tahun 1990, dengan cara kredit, menyisihkan uang gaji Ibu.” .

“Hahaha... Kreditnya 5 tahun, Neng.  Karena Akang yang minta belikan motor, jadi  Akanglah yang harus melakukan tugas rutin menyetor cicilan  ke Bank BNI di Jl. Jendral Soedirman sana.  Setiap bulan selama 5 tahun Akang menyambangi bank itu, sampai kenal sama petugas teller yang menerima pembayarannya. Seorang perempuan muda, namanya Akiko.” Sambil bicara Akang mengerling nakal ke arahku.

“Aiih, jadi maksudnya apa? Mau bikin Neng cemburu? Sorry lah yaauu...” Balasku tergelak.

“Lho, jadi Neng tidak mau tahu, siapa cewek beruntung yang pertama kali dibonceng naik motor itu?” Goda Akang.

Pluk! Ku lemparkan bantal kursi dengan gemas ke arahnya.

Tawa Akang makin membahana diiringi gelak tawa Ibu dan Babe.

“Si Wati, Wi. Cewek yang beruntung itu.” Timpal Babe. Wati adalah adik iparku, adik kandung Akang.



Ibu Mertuaku
Bibirku mengerucut melihat tampang Akang yang  puas menggodaku. Diam-diam aku merasa lega. Hehe..

Kisah pun berlanjut.

“Ibu adalah manager keuangan yang hebat. Uang gajinya yang sedikit itu bisa diaturnya untuk membiayai sekolah 4 anak. Sementara uang gaji Ayah untuk makan dan biaya sehari-hari. Dia punya kiat menabung uang yang sedikit-sedikit itu  sehingga bisa membiayai sekolah sampai sarjana, bahkan untuk membangun rumah.” Ujar Babe. Mendengar pujian Babe, Ibu mertuaku tersenyum.

“Wah, uang yang sedikit bisa untuk membangun rumah sebesar ini ? Bagaimana caranya, Bu?” Rasa ingin tahu menggelitikku.

Ibu terkekeh mendengar pertanyaanku. Rumah tua milik mertuaku lumayan besar, terdiri dari 2 lantai, 5 kamar tidur, 2 kamar mandi, 2 ruang tamu, ruang komputer, ruang kerja di lantai 2, satu ruang keluarga dan dapur.

 “Uang yang sedikit itu, bila hanya disimpan tak akan bisa menghasilkan apa-apa.  Sambil berdoa memohon rezeki dari Allah SWT, Ibu upayakan setiap bulannya selalu menyisihkan uang buat tabungan. Uang tabungan itu dikumpulkan, lalu  Ibu belikan emas. Waktu itu harga emas masih relatif murah. Di Palembang, emas lebih dikenal dalam satuan suku. Biasanya bentuknya berupa emas perhiasan. Satu suku emas  beratnya setara dengan  6,7 gram. Kalau tidak salah  waktu itu satu suku emas harganya Rp. 750,-” Ibu menarik nafas. Wajahnya tampak bersemangat membagikan rahasia pengelolaan keuangan yang brilian pada aku, sang menantu.

“Harga emas merambat naik, lalu naik sangat drastis. Bayangkan saja, dari harga awalnya  Rp. 750,-per suku emas, lalu  merambat  naik hingga suatu hari mencapai Rp. 3.000,-. ! Kenaikan harga yang hebat sekali. Empat kali lipat!” Ibu berseru sambil menggelengkan kepalanya, takjub oleh peristiwa di masa lalunya .

Aku memandang wajah Ibu tak berkedip akibat tersengat rasa kagum. Hebat sekali Ibu sudah mengerti investasi emas sejak dulu. Dari mana datangnya ide menabung emas kalau bukan dari petunjuk Allah. Kerja keras, kesabaran,keteguhan dan doa tampaknya menjadi senjata Ibu menghadapi kesulitan. Dan semua telah terbayar lunas.

“Alhamdulillah. Rumah besar bisa dibangun, dan sekolah anak-anak bisa Ibu biayai sampai sarjana. Empat anak sekarang sudah memberi cucu-cucu yang sehat. Hidup mereka sudah mapan, sejahtera dan berbahagia dengan keluarga masing-masing.  Ibu tak keberatan Allah mengambil penglihatan Ibu karena penyakit syaraf mata ini. Tak apa-apa. Toh sebagian besar doa Ibu sudah dikabulkanNya. Nikmat Allah sungguh berlimpah. “ Ucap Ibu penuh rasa syukur.

Ingin rasanya aku memeluk Ibu, berterimakasih untuk semua tetes keringat, jerih payah dan perjuangan demi masa depan anak-anaknya. Kehidupan nyaman yang sekarang aku nikmati bersama Akang dan anak-anakku tentu saja merupakan buah dari ikhtiar Ibu dan Ayah mertuaku. Merekalah yang  membekali Akang dengan pendidikan sebagai modal utama memperoleh penghidupan.

Aku memandangi Ibu sambil tersenyum. Ibu adalah seorang yang sangat teguh memegang komitmen untuk menjaga skala prioritas nomor 1 untuk pendidikan anak-anaknya. Di balik sosok yang sederhana, Ibu mertuaku punya pemikiran yang sama sekali tidak sederhana. Tanpa dia sadari, dia adalah seorang perencana yang hebat. Dia mampu membuat estimasi biaya sekolah dan kuliah untuk beberapa tahun kedepan.  Dia mampu menabung dengan strategi jitu hingga nilai tabungannya tidak merosot tergerus inflasi. Siapa sangka uang yang sedikit bisa menjadi bukit? Matematika Allah sungguh berbeda dengan perhitungan manusia, bahkan perhitungan seorang guru Matematika  seperti Ibu. Allah Maha Besar!



4 komentar:

Titi Alfa Khairia mengatakan...

Masha Allah, luar biasa ya ketebahan dan keteguhan ibu-ibu jaman dulu mba Dewi.

Ristin mengatakan...

salut ya dengan perjuangan orang tua zaman dulu, perjuangan yg tidak mudah, tapi mampu dilalui dengan ketabahan, kesabaran, dan ketekunan Hebat.. Luar biasa.. Karena perjuangan yg tak kenal lelah, pasti Allah akan selalu bantu (kagum). Salam kenal ya mbak.. :-)

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Titi Alfa Khairia : iya Mbak ...semoga semangat ketabahan dan keteguhannya bisa kita contoh ya

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Ristin :terimakasih Mbak Ristin. Insya Allah salamnya disampaikan .