Kamis, 05 Desember 2019

Honeymoon atau Durenmoon?


BOGOR- BATURRADEN - KEMRAJEN - MUNTILAN

Sejak beberapa bulan lalu si Akang Sutedja E Saputra merencanakan jalan-jalan berduaan saja. Katanya biar makin lengket cintanya, padahal sebenarnya sih ada duren dibalik ayam🤪🤣🤣🤣

Maksudnya ini jalan-jalan spesial untuk memuaskan kesukaannya akan durian dan ayam bekisar. 


Jadi daripada disebut honeymoon, ini lebih cocok disebut durenmoon atau ayammoon🤣🤣🤣


Asyik juga berduaan saja naik mobil menyusuri pulau Jawa. Hujan deras turun ditengah perjalanan yang dihiasi pemandangan sawah dan bukit hijau. Sambil mendengar lagu-lagu jadul tahun 1990-an, kami menikmati romantisme hujan. Berasa jadi ABG yang lagi mabuk cinta🤪🤣🤣💖💖💖💖💖💖💖💖

Route pertama perjalanan kami dari Bogor menuju Baturraden, Purwokerto. Aku sengaja minta menginap di Baturraden untuk memuaskan keinginan yang tak tercapai di tahun 2015. 

Kami pernah touring naik moge ke Baturraden, sudah pegal naik motor berjam-jam, sampai Baturraden langsung terkapar di hotel. Lalu hujan derasss sekali, memupuskan niatku jalan-jalan di tempat wisata. 

Besok paginya, Akang berkeras ngajak langsung pulang ke Bogor. Kejamnya...Hiks.. aku cuma sempat berfoto dari luar area Lokawisata Baturraden karena gak dibolehkan jalan-jalan dulu. 

Maka sekarang, harus sempat jalan-jalan meski sebentar di Baturraden. Alhamdulillah kesampaian. Bisa foto2 di Lokawisata Baturraden.



Setelah itu kami menuju Kemrajen.  Kami menuju rumah Pak Siamin. Ada duren Bawor di sana.


Duren Bawor penampilannya bagus, besar, daging buah tebal, creamy, tapi kalau rasa dan aroma masih lebih enak duren Musangking. 

Di kios Pak Solid, kami juga mencicipi duren Chanee. Ini lebih enak rasanya dari duren Bawor.

Lanjut menuju Muntilan, di daerah Tambak Banyumas, ada kuliner sate bebek. Kami pun mencicipi menu ini untuk makan siang. Sate bebek enak, dagingnya kenyal, bumbunya manis dan lezat. Ada juga gulai bebek, eh.. tepatnya gulai tulang bebek🤣🤣. Kok tulang? Lha iya.. jadi setelah daging bebek diolah jadi sate, tulangnya dibuat gulai. 



Perjalanan berlanjut. Di Gombong, aku lihat ada tulisan tempat wisata Benteng Van Der Wijk. Penasaran pengen lihat, akhirnya aku minta Akang berbelok menuju tempat itu.

Benteng Van Der Wijk berdiri sejak 1818. Kondisinya agak menyedihkan karena kurang terawat. Pak sopir kereta wisata menunjukkan pada kami beberapa spot yang kabarnya angker. Tapi tempat ini cukup bagus untuk lokasi foto-foto.





Namanya juga jalan suka-suka. Pesan hotel dadakan, itinerary bisa berubah ubah sesuka hati. Kami memesan hotel pun sesaat sebelum tiba di Muntilan. Alhamdulillah dapat hotel yang etnik. Aku suka. Namanya The Omah Borobudur. Lokasinya dekat candi Borobudur. 



Sore setelah berfoto-foto di penginapan, kami mandi dan bersih bersih. Setelah shalat maghrib, Akang mengajak cari makan. Ketika keluar kamar, Mas Kris, petugas The Omah menawari kami naik sepeda.

“Bu, kalau mau jalan-jalan bisa naik sepeda. Ini kami sediakan sepedanya.” Dia menunjuk ke sudut halaman. Di bawah rindang pohon, teronggok dengan manis sepasang sepeda hitam.

“Besok, kalau Bapak Ibu mau lihat sunrise di Borobudur, juga bisa pakai sepeda ini. Gratis Pak..” Ujarnya ramah.

Akang  nyengir. “Kami pilih jalan kaki sajalah. Terimakasih.” Sahutnya.

Kami mampir di sebuah warung bakso di depan Borobudur. Lalu menikmati semangkuk bakso jumbo. Rasanya, biasa saja. Hehehe…


Pulang ke penginapan lagi, Akang minta tolong petugas hotel mencari tukang pijat. Tak lama datang seorang bapak setengah baya. Wajahnya sumringah, rambut abu-abu memutih memenuhi setengah bagian kepalanya. Dengan gaya dia menawarkan,

“Bapak dipijatnya mau yang kuat, atau yang biasa saja?”

“Yang kuat Pak.” Sahut Akang yakin.

Si Bapak kemudian mengerahkan kemampuannya. Tenaga dalam, tenaga luar, tenaga simpanan, tenaga cadangan, tenaga potensial, mungkin juga ditambah tenaga supranatural. Semua dikerahkannya untuk memijit tubuh Akang. 

Tapi ternyataa… segenap kekuatan adidaya si Bapak tak ada rasanya bagi Akang. Hampir pecah tawaku melihat ekspresi wajah Akang yang plirak plirik dengan garis bibir datar😑. Meski sudah beberapa kali dibilangnya,

”Tambah lagi kuatnya, Pak.. tambah lagi.. lebih kuat lagi.” 

Si Bapak tak kuat😔😓, dan Akang hanya bisa pasrah. Hahahaha…🤣🤣🤣Agaknya Akang harus memilih tukang pijat serupa Gatotkaca💪💪, yang ototnya kawat tulangnya besi.

Malam itu aku kedatangan tamu istimewa. Bu Doktor Riana Mashar, sahabat di team Sharing Enlightening Parenting. 

Kami berdua ngobrol seru di teras kamar. Tentang persiapan Enlightening Parenting Lite, tentang kiat menulis, dan tentang duren Candy dari Candimulyo yang belum berbuah. 

Seandainya saat ini sudah ada duren Candy, Mbak Riana ingin mengajak kami menikmatinya. Ini artinya, Aku dan Akang bakal datang lagi ke Muntilan, untuk menikmati duren Candy. Insya Allah.. Terimakasih Mbak Riana, sudah menemui kami, dan terimakasih juga untuk oleh-oleh getuknya.

BOROBUDUR, PASAR BURUNG MUNTILAN DAN DUREN BERONGKOL

Rencana melihat sunrise dari Borobudur hanya tinggal rencana. 

“Ngantuk banget, Neng. Mata Akang kayak gak bisa dibuka.”Gumam Akang ketika aku bangunkan menjelang jam 4 dini hari.

Akupun kembali menyurukkan wajah dalam pelukan Akang, terlelap lagi😴hingga terbangun mendengar azan subuh.

Pukul 5.30, 4 Desember 2019. Aku dan Akang mengayun langkah menuju Candi Borobudur.

Masya Allah, terakhir kami mengunjungi tempat ini adalah 19 tahun yang lalu. Saat itu anak sulungku, Anin, belum setahun usianya. Masih kuingat bagaimana lelahnya, berjalan jauh menggendong balita lalu menaiki tangga-tangga candi yang tinggi. Sekarang Anin sudah kuliah, usianya hampir 20 tahun. 

Pintu masuk candi belum buka, suasana sepi, kami harus menunggu sekitar 10 menit. Kehadiran kami menarik perhatian penjual minuman dan souvenir. Mereka menyerbu kami. Akang memesan segelas kopi panas, sementara aku memilih teh panas. 

Penjual topi dan souvenir merayu-rayu kami dengan gigihnya. Berbagai cara dipakai, mulai dari pasang harga murah, 10 ribu rupiah saja, padahal ternyata harga topinya 65 ribu. Hahahaha… Si ibu, terus merayu meski kami tak berminat. Lalu dia anti strategi. Topinya turun harga, dari 65 turun jadi 50, turun lagi jadi 40, turun lagi jadi 35 ribu. 

Akhirnya strategi si Ibu berhasil juga membuat kami tak tega. Jadilah topi itu bertengger di kepalaku, dan si Ibu tersenyum mngibas-ngibaskan uang 35 ribu ke topi-topinya sambil berbisik.

“Alhamdulillah.. penglaris.. penglaris..”

Candi Borobudur seolah jadi milik kami berdua pagi itu. Begitu pintu dibuka, Aku dan Akanglah pengunjung pertama yang memasuki area candi. 

Cihuuuy… Bebas sekali kami berkeliaran ke sana sini dan berfoto-foto tanpa “diganggu” pengunjung lain. Tapi itu tak berlangsung lama, beberapa menit kemudian, para pengunjung lain mulai berdatangan.









Berjalan kaki dari The Omah, hingga berkeliaran di area candi, naik tangga yang terjal membuat aku dan Akang keringatan. Saat memintaku berpose di sebuah sudut candi, aku mencium bau tak sedap. Semacam bau badan orang yang tak mandi berhari-hari. Waduh… kok si Akang jadi bau banget?? 

“Kang, sini dong… Kok Akang bau banget?” Tuduhan beratku itu kontan membuat Akang salah tingkah. 

Dia mendekat menghampiriku dengan ekspresi wajah tak terima, sementara aku sudah mirip anjing, mengendus-endus bau tubuh Akang. Kalau saja ada yang melihat tingkah kami berdua, mungkin sudah terpingkal-pingkal. Apa-apaanlah ini suami istri saling mengendus di tengah candi.

Tapi tubuh Akang nggak bau. Lalu yang bau ini siapa? Masak aku siih??😒

Tiba-tiba aku melihat ekspresi wajah Akang mengerling, ada seseorang di belakangku. Ketika menoleh, sadarlah aku dari mana datangnya bau tak sedap itu. Seorang wanita bule dengan pakaian terbuka bercucuran keringat, rupanya sedari tadi dia berdiri di belakang stupa candi. Dan bau badannya yang menusuk terbawa angin ke indra penciumanku. 

Aku dan Akang menahan tawa, cepat-cepat kami menyingkir agak menjauh. Si Akang lega banget, terbebaslah dia dari tuduhan keji istrinya.

Kembali ke hotel, perjalanan berlanjut ke pasar burung Muntilan. Pasar ini lebih rapi daripada pasar burung di Palembang. Juga lebih lengkap. 

Percayakah kawan, justru di tempat inilah Akang terlihat bahagia.Dia mondar-mandir menyusuri lorong-lorong pasar melihat-lihat burung dan aneka unggas di sana. Dia ngobrol dengan pedagang merpati, memegang aneka rupa merpati pos, dan lama duduk di kios sangkar ayam. Akang puas setelah berhasil membeli 6 sangkar ayam bekisar, untuk dikirim ke Bogor.


Akang dapat kabar bahwa ada meeting penting di kantornya besok. Padahal rencana jalan-jalan kami masih akan berlanjut hingga hari Jumat. Akang meminta pengertianku, dan aku juga paham, bahwa sebaiknya jalan-jalan ini dipersingkat. Ya namanya juga jalan suka-suka. Itinerary sesuka hati, bisa berubah dengan fleksibel sesuai dengan kebutuhan. Maka kami memutuskan untuk pulang ke Bogor supaya hari Kamis Akang bisa ikut meeting penting di kantornya.

Di jalan pulang, kami menemukan kios duren lagi. Durennya dari desa Berongkol Ambarawa. Waah… justru ini namanya rezeki. Rencananya awalnya kami akan mengunjungi Ambarawa untuk mencicip duren dari desa Berongkol. Tapi kan gak jadi karena harus kembali ke Bogor. Nah kalau dijalan sudah menemukan duren ini namanya rezeki.. Alhamdulillah..


Jalan-jalan dengan pasangan harus dilakukan dengan saling memperhatikan kebutuhan masing-masing . 

Aku suka jalan-jalan ke tempat wisata, maka Akang dengan senang hati menemani dan membawa aku ke beberapa objek wisata. 

Akang suka duren dan urusan ayam, maka aku pun dengan senang hati menemani ke kampung-kampung dan kios pinggir jalan mencari duren, dan juga blusukan di pasar burung. 


Maka lengkaplah semua, sama-sama senang, sama-sama puas, sama-sama merasa saling memahami dan saling membahagiakan. Yuk ajak pasangan halal kita jalan-jalan mesra berduaan!

1 komentar:

Adoria mengatakan...

wow, komplit infonya. makasih kak
.
.
.
Yuk Banyuwangi