Senin, 09 Mei 2016

Touring ke Lampung : Terpikat Kemilau Teluk Kiluan dan Lumba-Lumba Mulut Botol



"Kita touring ke Lampung saja. Kabarnya ada tempat wisata yang sedang happening. Teluk Kiluan namanya. “ Ujar suamiku, si Akang.

Wah, menarik!. Aku belum pernah mendengar tentang Teluk Kiluan sebelumnya. Padahal dulu aku pernah menjadi warga Lampung. 





Lampung dengan ibukotanya Bandar Lampung punya tempat tersendiri di hatiku.  Aku menghabiskan masa  kecil hingga kelas 5 sekolah dasar di kota itu. Pengalaman tinggal di rumah besar milik kakek dan nenekku bersama mami, papi, tante-tante, om-om, saudara dan kerabat yang seluruhnya berjumlah 25 orang sungguh mengesankan. Seru dan heboh. 

Sudah 11 tahun aku tak menginjakkan kaki di kota Bandar Lampung sejak terakhir berkunjung tahun 2005. Maka kesempatan touring kali ini akan kumanfaatkan untuk merasakan kembali kenangan indah masa kecil, sekaligus menikmati pesona alam Teluk Kiluan.

Perjalanan Menuju Bandar Lampung


Menuju Pelabuhan Merak

Kamis, 5 Mei 2016. Pukul 5.30  aku duduk di boncengan Akang. Kami meluncur membelah jalanan Bogor di atas si Kuning, motor enduro adventure, Kawasaki Versys 650 cc.  

Perjalanan lancar melewati Dramaga, Leuwiliang, Jasinga, dan Lebak.  Kami istirahat sejenak sambil mengunyah roti gandum di Rangkasbitung. Bukan cuma kami yang sarapan,  si Kuning pun diisi tangki bahan bakarnya hingga penuh. 

Di Pandeglang langit mulai gelap. Makin lama makin gelap.  Awan tebal kelabu terlihat dramatis membumbung di langit Serang. Kami terus menyusuri jalan, sambil berharap hujan tidak turun sebelum tiba di kapal. 

Awan tebal di Serang

Tapi sang hujan tak sabar lagi. Turunlah ia, deras melimbak-limbak menghantam bumi. Akang segera menghentikan motor. Kami melapis jaket dengan jas hujan di bawah rinai air, lalu kembali meluncur. 

Tiba di Merak, pukul 9.30. Jalan buruk dengan batu besar  mencuat di aspal dekat gerbang pelabuhan Merak menghantam knalpot si Kuning. Bunyi mesin motor mendadak nyaring. 

“Wah, kayaknya kita harus mampir ke bengkel saat sampai di Bakauheni ya. Si Kuning harus didandani knalpotnya supaya suara mesinnya tak meraung lagi. “ Ujarku.

“Ya, lihat saja nanti.” Sahut Akang.

Akang memilih tetap di geladak kapal. Sementara aku duduk di ruang lesehan yang dekil dan sempit, tapi ber-AC. Meski kebagian kapal feri tua dan buruk, aku tetap menikmati perjalanan ini.

Di geladak kapal feri

Kapal merapat ke dermaga Bakauheni pukul 12.40. Menjejak aspal Sumatera, kami melesat menuju kota Bandar Lampung.

“Heran, kok suara si Kuning merdu lagi. Nggak perlu dibawa ke bengkel ternyata bisa benar sendiri ya.”  Ungkapku  sambil mengunyah makan siang di RM Siang Malam Kalianda.

Sambil menatapku, Akang menarik bibirnya membentuk garis datar. 

“Benar sendiri bagaimana? Kan Akang yang tadi mendandani knalpot si Kuning di geladak. “ Sahutnya sebal.

Aku terbahak.

“Oalah, maaf ya sayang. Neng tadi nggak  bantuin.” 

Terbayang di mataku  Akang tertungging-tungging memperbaiki knalpot di geladak kapal yang panas, sementara istrinya duduk santai di ruang ber-AC, menghirup es teh. Sungguh tak tahu diri.

Sambil istirahat aku menimbang-nimbang akan menginap di mana malam ini. Tante-tante dan Om-omku hampir semuanya tinggal di Bandar Lampung. Seandainya kami memilih menginap di hotel, bisa-bisa aku dicap sebagai keponakan tak tahu adat. Jadi aku tak berani coba-coba. Setelah menghubungi salah seorang tanteku, aku dan Akang melanjutkan perjalanan.

Gerbang kota Bandar Lampung

Pukul 15.30 kami sampai di rumah tante Ana, adik mamiku. Kami disambut Tante Ana dan Om Edi dengan antusias. Om Edi berkali-kali menyatakan keheranannya, kok bisa kami senang naik motor. Dalam bayangannya, naik motor itu susah. Kepanasan, kehujanan, sakit pinggang, pegal-pegal, belum lagi resiko jatuh dan sebagainya. Aku menanggapi dengan cengengesan. Hehe.. Setiap orang punya cara masing-masing menikmati hobinya.

Kumpul keluarga di rumah Tante Ana

Sisa waktu sore dan malam hari kumanfaatkan untuk menemui Tante-tante dan Om-omku. Aku juga mengunjungi rumah tua kakek yang kini sudah jauh berubah kondisinya. Tampilan rumah itu  sudah kekinian, namun susunan ruang dan beberapa barang peninggalan kakek dan nenek mampu menghanyutkanku dalam kenangan indah saat tinggal bersama mereka.

Menuju Teluk Kiluan

Teluk Kiluan berada di wilayah Desa Kiluan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Lampung. 

Kecantikan teluk ini tengah demikian populer di kalangan traveler. Bukan cuma cantik, Teluk Kiluan mempunyai pesona memikat karena merupakan jalur migrasi lumba-lumba jenis mulut botol. Kabarnya, gerombolan lumba-lumba  kerap berenang di perairan teluk, dan wisatawan bisa melihat aksi mereka dari jarak cukup dekat.

Untuk mencapai pantai Teluk Kiluan, pengunjung harus melalui jalan yang kondisinya rusak. Kalau naik mobil, jarak tempuh dari Bandar Lampung ke pantai Teluk Kiluan sekitar 3 jam. Aku dan Akang yakin bisa menempuh jarak dengan waktu yang lebih cepat. 

Tante Ana membantu kami mencari informasi lebih detail. Dia menelpon seorang kenalan, tour guide yang biasa membawa rombongan wisatawan ke Teluk Kiluan.

Menurut sang tour guide, lumba-lumba biasa beraksi di laut Teluk Kiluan sekitar pukul 6-10 pagi.  Dia menyarankan menginap di sekitar Teluk Kiluan supaya tak habis waktu di jalan. Di sana tak ada cottage, villa, apalagi hotel yang mewah. Yang ada hanya homestay, atau penginapan sederhana seadanya. Dan sayang sekali, semua penginapan di tempat itu sudah penuh, sudah dipesan wisatawan sejak dua minggu sebelumnya.







Aku dan Akang berangkat dari rumah Tante Ana di Way Halim pukul 5.20. Melewati pusat kota Bandar Lampung, aku berseru-seru senang menunjukkan pada Akang beberapa lokasi yang menyimpan kenangan masa kecilku. 

Dari pusat kota kami memasuki jalan yang lebih kecil ke arah Lempasing.  Kemudian jalan makin menyempit diwarnai lubang-lubang dan aspal yang rusak.





Jalanan sepi. Kami terus melaju mencapai kawasan wisata Pesawaran. Pemandangan sepanjang jalan sangat menarik. Berbagai vegetasi alamiah pepohonan, perdu,  dan tumbuhan hijau berjejalan merambati bukit. Kadangkala di sisi kiriku terbentang jurang, sungai berair jernih dan persawahan. Kami  melewati desa-desa dengan rumah-rumah panggung tradisional, lalu berturut-turut melintasi  pantai Queen Artha, Sari Ringgung, Mutun, pantai Klara, pantai Mandi Batu dan lain-lain. 





Teluk Ratai

Selanjutnya kami memasuki gerbang kawasan TNI Angkatan Laut Teluk Ratai., Padang Cermin. Tak jauh dari tempat itu terdapat pantai Marine Eco Park yang dikelola oleh TNI AL. Di tempat ini terdapat perahu yang disewakan untuk menuju ke pulau Pahawang, sebuah pulau indah yang menjadi lokasi ideal untuk kegiatan snorkling dan diving.

Melewati kawasan Marines Eco Park



Pantai di Marine Eco Park



Jalan yang kami lalui makin indah. Sisi jalan sesekali terhampar sejajar garis pantai, bahkan air laut sudah makin merapat ke badan jalan.

Jalan yang sejajar garis pantai, foto dambil dalam perjalanan pulang dari Teluk Kiluan

Jarak yang kami tempuh menuju pantai Teluk Kiluan sekitar 90 Km, dan sungguh aku bersyukur karena memilih menggunakan si Kuning 650 cc ini. Motor enduro adventure itu seolah bertemu jodohnya. Kami menjumpai banyak segmen jalan serupa track off road. Berbatu pecah, kerikil, aspal  terkelupas dengan bongkah batu mencuat, lubang-lubang besar tergenang air, hingga jalan tanah basah.  


Salah satu segmen jalan rusak


Bukan hanya itu, jalan kecil menuju Teluk Kiluan juga diwarnai banyak kelokan, tanjakan  curam dan turunan tajam.  Sudah terbayang  betapa repot dan menyiksanya bila kami memilih menggunakan motor yang lebih besar.  Harley Davidson 1800 cc akan banyak menemui kesulitan melewati berbagai hambatan di jalan ini. Bahkan ada segmen jalan yang tak bisa dilalui motor itu. 


Tanjakan tanah licin


Tengok saja sebuah jalan menanjak  yang aspalnya sudah rusak, tergenang tanah merah lengket dan licin. Sebuah mobil kijang Innova  berusaha mendaki jalan, terseok-seok di depan si Kuning.   Ban belakangnya terjebak tanah benyek dan ricin. 

Sang pengemudi menginjak gas kuat-kuat berusaha membebaskan ban belakang dari jebakan. Ban berputar kencang  tak bergeming. Tanah merah licin meluruhkan koefisien gesek permukaan ban hingga  berputar statis terpusat pada as roda. Putaran statis itu tak mampu membawa tubuh mobil melaju. Aku tak tahu bagaimana nasib mobil itu selanjutnya. Si Kuning mampu melewati track mendebarkan itu dengan mulus.


Gerbang Teluk Kiluan


Alhamdulillah… Tak sampai dua jam kami tiba di pantai Teluk Kiluan. Setelah gerbang berbentuk siger (mahkota khas Lampung)  kami lewati,  terlihat bangunan-bangunan sederhana yang  merupakan penginapan. Kalau di Palembang, bangunan-bangunan itu disebut bedeng. 



Bedeng-bedeng penuh orang. Mereka duduk-duduk dan mengobrol di teras, dan di  gubuk kecil yang sangat dekat dengan bibir pantai. Ada juga wisatawan yang memasang tenda dekat bibir pantai. 

Aku terpesona melihat air di pantai Teluk Kiluan. Warnanya dramatis. Hijau pekat kebiruan, mengingatkan aku akan  warna batu akik nephrite yang kemilau. Riaknya tenang tak berombak. Sepintas tempat ini mirip lokasi di pinggir danau, bukan pinggir laut.

Pantai yang tampak seperti danau

Kemah di tepi pantai

Akang segera mencari informasi penyewaan perahu menuju laut Teluk Kiluan. Kami bertemu Pak Sarmin. Lelaki separuh baya yang murah senyum. Pak Sarmin sudah beberapa tahun mengelola penginapan di Teluk Kiluan. 


“Saya dulu tinggal di Bandar Lampung, tapi  tak pernah mendengar tentang Teluk Kiluan.  Kalau  rekreasi, hanya ke pantai Pasir Putih saja. Tidak tahu kalau di sini ada tempat yang jauh lebih indah.” Ucapku pada Pak Sarmin.

Akang bersama Pak Sarmin

Lelaki itu terkekeh riang. Matanya menyipit terdorong pipi yang mengembang.

“Memang tempat ini baru dikenal masyarakat luas belum terlalu lama. Kira-kira tahun 2008, sedikit demi sedikit kabar keindahan tempat ini mulai meluas. Apalagi saat dipromosikan di internet. Penginapan saya tiap week end selalu penuh. Itu pun dipesan jauh-jauh hari, dua atau tiga minggu sebelumnya. Minggu ini, bahkan ada yang memesan sampai hari Selasa.” Pak Sarmin berujar sambil mengusap jidatnya yang licin.

Penginapan Pak Sarmin satu petaknya bisa memuat 5-6 orang. Tarif Rp. 400.000- Rp.500.000,-  per malam, tergantung besar ruangan.  Ada kamar mandi di dalam, kasur  busa yang diletakan di lantai tanpa ranjang, kipas angin dan dispenser. 

Berhubung tak ada warung di dekat penginapan, para tamu  memesan makanan yang dimasak oleh istri Pak Sarmin. Menu sederhana masakan rumahan  berikut air minum, teh dan kopi bisa dinikmati dengan tarif Rp. 20.000,- per orang.  Makanan dihidangkan di meja yang terdapat di pondok pinggir pantai, dan para tamu boleh makan sepuasnya.

Istri Pak Sarmin juga bisa menyediakan menu sesuai keinginan para tamu. Pak Sarmin bertutur bahwa serombongan wisatawan pernah memesan menu lobster, yang harga perkilogram-nya berkisar Rp. 500.000,-. Ukuran lobster juga beragam, ada yang satu kilo berisi 3 lobster, sampai lobster yang beratnya 2 kg per ekor. 

Bila ingin menginap di penginapan pinggir pantai Teluk Kiluan, ingin menyewa perahu atau bertanya tentang seluk beluk Teluk Kiluan silakan menghubungi ponsel Pak Sarmin di  081272283879

“Perahunya sudah siap. Mari ikut saya.” Pak Sarmin mengajak kami mendekat ke sebuah perahu langsing bercat kuning dilengkapi mesin bermotor pada bagian haluannya. Harga sewa perahu ini Rp. 300.000,- untuk mengantar wisatawan melihat aksi lumba-lumba dan mampir ke Pulau Kelapa atau Pulau Kiluan.


Pak Sarmin dan Adin menyiapkan jukung


Perahu tradisional yang disebut  jukung itu lebarnya  sekitar 45 cm saja, dan panjang kira-kira 4-5 meter. Di sisi kiri dan kanannya, terdapat batang bambu  yang disebut cadik. Badan perahu terbuat dari sebatang pohon yang dikeruk untuk mendapatkan ruang pada bagian tengahnya.  Pada  buritan dan haluan perahu ditambahkan linggi dari papan. Bentuk linggi menyerupai linggi perahu tembon.

Jukung

Aku dan Akang mengganti sepatu touring  dengan sendal jepit yang disiapkan Pak Sarmin. Setelah mengenakan pelampung berwarna orange, mengalungkan camera,  mencangking  kantung plastik berisi minuman, kami naik ke jukung. 

Adin sang nakhoda jukung

Adin, pemuda yang menjadi nakhoda perahu segera menghidupkan mesin dan membawa kami melaju di atas  riak tenang ombak Teluk Kiluan. Aku terpesona melihat permukaan air hijau pekat kebiruan seperti terbelah oleh buritan jukung, membentuk garis  buih putih sejajar sisi perahu.


Alam demikian hening, meskipun aku melihat banyak jukung berseliweran di peraian teluk. Deru mesin jukung  tak  mengganggu keheningan yang kurasakan. Makin ke tengah warna air menjadi biru tua pekat kehijauan.  Mungkinkah  warna ini ditimbulkan oleh ganggang dalam air laut  yang masih terjaga kelestariannya? Sungguh indah.


Tak bosan kutebar pandangan ke segenap penjuru, merekam visualisasi kecantikan alam yang memukau dalam sel-sel otak.  Kutajamkan indra pendengaran, menangkap kecipak ombak, desir angin dan kepak sayap camar. 


Jukung kuning membawa kami melewati pulau-pulau kecil dan karang berpenghuni burung camar.

Di sisi kiri terdapat daratan hijau  menjorok ke laut. Bibir pantai dipenuhi bebatuan yang diterpa buih putih membumbung hingga menelan sebagian batu karang. Lalu buih putih itu terhempas luruh bercampur air  biru muda. Begitu dramatis gradasi warna yang terlihat, biru tua pekat kehijauan, dan buih putih bercampur air biru muda.




Pulau kecil, karang, bukit  sambung menyambung, Gunung Tanggang dengan puncak mirip punuk unta seolah melayang di atas laut biru pekat kehijauan.  Bernaung di atasnya, langit biru  dengan awan menyerupai gumpalan kapas putih. 





Matahari pagi keemasan menebar kilaunya di atas riak ombak. Aku terperangah menatap cahaya yang jatuh membentuk noktah-noktah berkilap, mirip intan permata berserakan. 

Lalu aku mulai lebay. Penyakitku bila melihat keindahan alam menakjubkan akan kumat tak tertahan.  Air mata mulai menetes, tak berhenti meski kumaki-maki diri sendiri. Untungnya aku duduk membelakangi Akang. Kalau tidak, pasti habis aku diledeknya.

“Apa-apaan sih, Neng. Lihat pemandangan indah, malah mewek! Aneh. Hahaha..” Begitulah kira-kira reaksi Akang.

Sekitar 20 menit mengarungi laut, Adin sang nakhoda perahu menghentikan mesin motornya.

“Kenapa berhenti? Jangan-jangan habis bensinnya ya? “ Tanya Akang.

“Di sekitar sini biasanya tempat lumba-lumba muncul.” jawab Adin.

Hening. Beberapa jukung di sekitar kami masih melaju.  Tiba-tiba Adin berteriak sambil menunjuk ke  sebuah arah di depan jukung kami.

“Itu dia!” 





Tampak dari jauh  lumba-lumba berwarna gelap berbaur dengan warna air laut yang pekat

Lumba-lumba mulut botol di Teluk Kiluan
www.cbnex.com

Aku berusaha menajamkan mata menatap ke arah yang ditunjuk. Diantara riak ombak  biru pekat, bermunculan puluhan tubuh lumba-lumba timbul tenggelam berenang dalam barisan harmonis.

“Itu ada yang loncat! “ Teriak Akang.  Seekor lumba-lumba mulut botol muncul dari air membentuk garis melengkung di udara lalu terjun dan menghilang  dalam pekatnya lautan. 

Maka aku berteriak-teriak norak mirip  ABG menyaksikan artis idolanya beraksi. Ini bukan lumba-lumba sirkus! Ini tingkah lumba-lumba liar di habitat aslinya. Masya Allah! Alangkah heboh kegembiraan yang meluap oleh ulah makhluk cantik ciptaan Allah itu.  Aku sampai lupa memotret. Untung saja Akang sempat mengambil foto meskipun tak begitu jelas . Warna tubuh lumba-lumba yang gelap agak sulit dibedakan dari  warna air laut yang pekat.

“Kalau mau lihat lebih banyak, ratusan, bahkan ribuan lumba-lumba, datangnya harus lebih pagi, Pak. Usahakan jam 6.00 sudah berada di sini.” Ucap Adin.

Wah, kalau jam 6. 00 harus sudah ada di tengah laut, idealnya wisatawan menginap di penginapan Teluk Kiluan atau di Pulau Kelapa. 

“Bapak dan Ibu termasuk yang beruntung lho. Ada wisatawan yang datang sudah berkali-kali, tapi tak sekalipun dia  menjumpai kawanan lumba-lumba.” Ucap Adin sambil tersenyum. Pemuda itu kemudian membawa kami mampir  ke Pulau Kiluan.



Di Pulau Kiluan



Alhamdulillah. Tak kusangka Teluk Kiluan begitu indah. Hati tak berhenti memuja-muja Penciptanya.

 Sebelum pulang, kami sempat berbincang-bincang lagi  dengan Pak Sarmin.

“Belum ada bantuan dari pemerintah daerah.  Kami sebenarnya berharap. Kalau belum ada dana ya yang kecil-kecilan dulu tak apa-apa. Misalnya bantuan tempat sampah. Karena belum ada, ya saya upayakan sebisanya. Itu tempat sampah saya buat sendiri.” Pak Sarmin menunjuk sebuah tempat sampah kayu yang bentuknya tak rapi.


Darah  Lampung mengalir dalam sebagian diriku,  dari Mamiku yang asli orang Lampung. Maka tak berlebihan bila aku merasa ikut memiliki tempat indah ini. Kepada Pak Sarmin, aku berpesan untuk menjaga kelestarian alam dan kebersihan Teluk Kiluan. Semoga dia bisa mengajak masyarakat dan wisatawan agar menjaga  kemilau indah Teluk Kiluan dari  sampah atau polutan lainnya.  Alangkah sayangnya bila kecantikan alam karuniaNya rusak oleh tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab.




Aku merekomendasikan Teluk Kiluan untuk dikunjungi. Tak perlu jauh-jauh ke Port Stephens, Australia untuk menyaksikan kawanan lumba-lumba berenang. Ke Lampung saja yuk!

12 komentar:

eskaningrum mengatakan...

wah keren mba, perjalanan dan foto-fotonya, yang paling aku suka foto lumba-lumbanya.,, hehehe.. semoga suatu saat aku berkesempatan kesana.

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@eskaningrum : Aamiin.. Insya Allah bisa berkunjung ke Teluk Kiluan juga

April Hamsa mengatakan...

Membaca artikelnya seolah dibawa ikutan jalan2.
Waah seru liat lumba2 di habitat aslinya.
Sayang ada jalan rusak ya? Moga segera diperbiki sama pemerintah supaya makin banyak wisatawan mudah menuju ke sana :)

selvy erline mengatakan...

duuh, kereeen banget foto2nya mbak ... ceritanya juga komplit dan salut banget bisa touring berduaan naik motor ... sumpah, salut banget
salam kenal ya

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@April Hamsa : iya, pemerintah belum membangun infra structure yg memadai untuk menunjang poteensi pariwisata yg keren ini. Sayang sekali...

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@selvy erline : terimakasih apresiasinya. Salam kenal juga ya :-)

Murtiyarini mengatakan...

Subhanallah..biruuuunyaaa

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Murtiyarini : I love the blue of Indonesia :-)

Anonim mengatakan...

Lihat foto-fotonya jadi ingin ke sana juga!
Lumba-lumbanya keren!

Novi Herdalena Psikolog mengatakan...

Kereenn Mb Iwed liburannya...aku jg org Lampung yg blm beruntung bs ke teluk Kiluan lihat lumba-lumba & pemandangan indah di sana...smg pas bs mudik th depan bs mampir kesn..ijin simpen photonya ya mb...buat pengobat rasa kangeennnnn :)

AbahAbyL mengatakan...

Gak touring lagi mbak??? Kayaknya touring ke lampung ini yg terakhir ditulis, blm Ada yg baru lagi... ditunggu sekali Catatan Perjalanan touring yg lainnnya...
(Smoga mbak Dewi sekeluarga sehat sllu)

Unknown mengatakan...

Ga di infokan Budget nya mbak? Sy ada rencana Touring kesana hehe