Rabu, 24 Januari 2018

MENGHALAU GALAU DENGAN PARENTAL COACHING


Banyak orang berpendapat ilmu parenting  hanya cocok untuk anak-anak usia balita hingga mencapai baligh saja. Kalau anak sudah lebih dewasa, sudah telat menerapkan ilmu parenting. Pendapat ini sungguh tak berdasar.

Kenyataannya, ilmu parenting tetap sangat dibutuhkan di semua tahap perkembangan anak. Masalah yang dihadapi anak pun terus berkembang. Maka tugas orang tua  menerapkan pengasuhan tetap berlanjut hingga nyawa terpisah dari raga. Tak terkecuali saat sang anak yang sudah menjadi mahasiswi tiba-tiba galau.

Pesan   Whatsapps masuk ke telepon selular-ku, dari si sulung.


  • Anin : Mama, Anin mau kuliah di Taiwan aja, kayak kawan Anin.
  • Mama :  Lho? Maksudnya bagaimana?
  • Anin : Anin pindah kuliah aja.
  • Mama : Nanti kita bicarakan ya, Nak..
  • Anin : Ok


Percakapan Whatsapps itu sempat tak terlalu aku hiraukan. Kupikir Anin sedang iseng. Tapi keesokan harinya..
  • Anin : Ma, Anin mau belajar sambil magang aja. Pindah kuliah.
  • Mama : Sebenarnya ada masalah apa, Nak?
  • Anin : Anin gak ngerti apa-apa sama sekali.
  • Mama : Apanya yang Anin gak ngerti? Materi kuliah?
  • Anin: Iya. Materi gak jelas. Anin gak ngerti.  Sudah baca ,materinya benar-benar nggak ada yang masuk otak. Sudah nggak ngerti lagi Anin. Emang bukan bakatnya di sini.
  • Mama : Mata kuliah yang mana, Nak?
  • Anin : Semua mata kuliah Ma. Kan Anin pernah kirim ke Mama apa saja mata kuliahnya. Nah, semuanya Anin gak bisa. Sampai sekarang,  masuk kuliah nggak dapat ilmu apa-apa. Sejarah Hubungan Internasional saja Anin belum mengerti. Definisinya saja nggak tahu. Jadi tahun depan mau kuliah jurusan yang lain aja.
  • Mama :  Anin, tenang  dulu ya Nak. Nanti Mama telpon.


Aku segera menghubungi suamiku, si Akang. Dia sedang di kantornya di Jakarta. Kujelaskan isi percakapan dengan Anin.

“Kita cari hotel dekat tempat kos-nya Anin. Kita menginap bertiga dengan Anin malam ini, Neng.” Ujar si Akang. Aku setuju dengan keputusan Akang untuk menunjukkan keseriusan kami menanggapi kegundahan Anin. 

Maka setelah berkoordinasi dengan Anin,  Emak dasteran pun cepat-cepat berganti kostum, lalu nyetir dari Bogor ke Jakarta.

Akang dan Anin lebih dulu sampai di hotel. Sementara menunggu aku yang terjebak macet parah, Akang mengajak Anin berbincang-bincang. Kesempatan itu digunakan Akang untuk membangun kedekatan, agar Anin merasa nyaman menyampaikan uneg-unegnya. Dia juga berusaha menanamkan belief lewat kisah-kisah pengalaman hidupnya supaya Anin tergugah.

Anin dan Bapak

Ketika aku akhirnya sampai di hotel, kami ngobrol bertiga dalam suasana santai sambil makan sate. Wajah Anin  terlihat cerah. Tampaknya sesi berduaan dengan Bapaknya sangat  membantu dia merasa lebih nyaman meski pun sedang menghadapi masalah.

Pagi hari, ketika si Akang sudah berangkat ke kantor, aku mulai membuka percakapan tentang permasalahan Anin. Rencanyanya aku ingin menerapkan metode  parental coaching untuk membantu Anin menemukan solusi masalahnya.

“Anin nggak bisa, Ma. Anin sudah belajar, sudah baca berkali-kali tapi tetap nggak bisa. Makanya Anin mau pindah saja. Tahun depan Anin mau ikut seleksi masuk perguruan tinggi negeri lagi ya.” Ujar Anin dengan tampang kusut.

Ketika aku membantu orang lain, meski ia membawa berbagai masalah yang jauh lebih pelik, rumit bin ribet, meski pun dia mengadukan masalahnya sambil menangis, marah-marah, bahkan histeris, aku bisa  dengan mudah mengelola emosiku. Aku bisa menjaga emosi dalam kondisi netral, tidak terhanyut atau terpengaruh.

Namun melakukan parental coaching terhadap anak sendiri, ternyata ada  tantangan  yang lebih.  Mau tak mau, ada ikatan rasa yang sangat kuat dengan anak. Dia adalah bagian dari diriku. Masalahnya adalah masalahku juga.  Lalu ada  ekspektasi yang tinggi terhadap anak. Semua itu menambah beban emosiku.

Jangan tanya bagaimana perasaanku. Yang jelas ada rasa kecewa, keinginan untuk marah, sekaligus sedih. Ini jelas emosi yang tidak memberdayakan.  Bagaimana bisa timbul perasaan itu? Seperti ini self talk yang ribut di kepalaku.

Ini anak nggak konsisten. Dia sendiri yang ingin kuliah di Hubungan Internasional. Sudah lolos seleksi perguruan tinggi negeri, sudah didukung sepenuhnya, lha sekarang mau pindah ?” (kecewa).
Menghadapi satu masalah saja langsung menyerah? Mau jadi apa anak ini??!” (marah).
“Waduuh... ini dia anak hasil didikanku selama ini. Gagal dong aku jadi ibu yang baik..” (sedih).

Menyadari timbulnya emosi negatif itu, aku mengerahkan self talk yang memberdayakan, dengan me-metamodeli diri sendiri. Hal ini kulakukan sesuai dengan prinsip 5 pillar komunikasi, dimana langkah menyelesaikan emosi sangat krusial sebagai syarat untuk bisa berfikir jernih menemukan solusi.

Kalau memang sekarang dia nggak konsisten, bisa nggak aku buat supaya dia kembali fokus pada tujuannya?”
“Nah, bagaimana caranya supaya dia nggak menyerah?”
“Oke, ini memang hasil didikanku. Aku akui , 14 Tahun aku menerapkan pola asuh yang salah, baru hampir 4  tahun belakangan ini menerapkan Enlightening Parenting. Jadi wajarlah kalau masih ada sisa-sisa kesalahan pengasuhan yang harus aku tuai. Nah, sekarang mau diapakan anak ini? Dimarah-marahi atau diperbaiki?”

Self talk yang demikian itu dengan cepat menyelesaikan emosiku. Rasa tak nyaman akibat kecewa, marah dan sedih segera surut, berganti semangat untuk melakukan parental coaching. Lalu aku  mulai dengan building rapport (membangun kedekatan) dengan teknik pacing-leading yang di dalam materi Enlightening Parenting disebut dengan "pahami dulu, lalu arahkan".

Pacing adalah upaya untuk menyamakan berbagai aspek terhadap seseorang (dalam hal ini, Anin) dengan tujuan untuk membangun kedekatan.  Hal ini aku butuhkan agar Anin merasa dipahami, dimengerti dan merasa nyaman curhat pada Mamanya. Setelah Anin merasa nyaman, proses leading  yaitu mengarahkan Anin pada tujuan akan  lebih mudah.

“Anin, Mama mengerti Anin menemui kesulitan.  Bukan cuma Anin lho yang mengalami  hal seperti ini. Mama juga. Dulu, waktu awal-awal kuliah, nilai Mama sempat hancur-hancuran.  Anin kenal Bunda Okina Fitriani kan? Nah,  orang secerdas dia juga ternyata pernah kewalahan saat semester awal kuliahnya. Sahabat Mama, Tante Gita Djambek juga begitu. Ini masalah umum, Nak. Masa penyesuaian dari cara belajar anak SMA lalu berubah jadi mahasiswa. Jadi jangan khawatir, Anin nggak sendiri,lho .  Sekarang coba ceritakan bagaimana cara Anin belajar.”

“ Ya Anin baca.  Tapi nggak ngerti. Berkali-kali baca juga nggak ngerti.”

“Oke. Anin baca sendiri materinya? “

“Ya iyalah.”

“Menurut Anin, ada nggak cara lain, supaya Anin bisa mengerti?”

Anin diam. Wajahnya rusuh, seolah pikirannya buntu.

“Oke. Tadi Anin bilang kalau Anin belajar sendiri, terus nggak mengerti materinya. Nah kalau belajar sendiri nggak bisa, lalu apa yang mungkin bisa dilakukan supaya Anin mengerti materinya?” Aku menatap wajah Anin, menunggu reaksinya.

“Belajar sama teman yang pintar. “

“Siapa itu teman yang pintar?”

Anin menyebutkan nama salah satu sahabatnya.

“Nah.. berarti kita dapat satu cara ya. Belajar sama sahabat Anin. Selain itu siapa lagi?”

“Ada kakak tingkat Anin, Ma. Tapi dia kayaknya perlu uang transport kalo harus ngajarin Anin.  “

“O ya, nggak apa-apa. Wajar saja, kita menghargai dia kalau dia mau jadi mentor Anin. Jadi apa yang bisa Mama bantu?”

“Paling nanti Mama tambahin ya, uang untuk ganti transport dan fee kalau Anin jadi minta tolong Kakak tingkat.” Anin menopangkan tangan didagunya, bibirnya tertarik ke atas membentuk seulas senyum.

“Siaaap.. Jadi sudah ada dua alternatif ya. Belajar sama sahabat, atau belajar sama Kakak tingkat. Bisa  dilakukan? “

Anin mengangguk. Wajahnya sudah berubah cerah. Artinya sekarang aku sudah bisa mulai menanamkan keyakinan yang positif (installing belief dengan Milton Model).

“Anin,  Mama ingin mengingatkan kembali tentang tujuan Anin. Mama masih ingat ketika Anin bilang ingin kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Lalu selain itu,  Anin juga memilih 2 jurusan lain. Mama dan Bapak mendukung sepenuhnya apa yang menjadi keinginan Anin. Ingat nggak Mama bilang bahwa Mama mendoakan Anin? “ Tanyaku.

Anin mengangguk.

“Mama berdoa bukan minta pada Tuhan supaya Anin diterima di jurusan Hubungan Internasional (HI), lho Nak. Ya Allah, pilihkanlah mana yang terbaik untuk anakku. Begitu doa Mama. Lalu ketika ternyata Anin diterima di HI,  bukan di dua  pilihan yang lain, apakah mungkin   Allah SWT asal-asalan saja memilihkan jurusan kuliah untuk Anin? “

Anin tersenyum. Wajahnya jauh lebih cerah. Ada ekspresi kelegaan di wajahnya.

“Artinya apa, Nak? Insya Allah ini adalah jalan yang dipilihkanNya. Jalan yang terbaik untuk Anin. Jadi kalau diperjalanan ini Anin menemukan masalah, apa yang akan Anin lakukan? Masalahnya di hindari, didiamkan saja, atau dihadapi?"

Anin menatapku.

“Dihadapi, Ma. “ Jawabnya mantap.

“ Hehehehe... Toss dulu dong kita.” Ujarku,menyodorkan lima jari. Anin menyambut dengan senyum. Telapak tangan kami bertemu.

Ah... Leganya. Proses coaching selesai.

Kegalauan Anin itu terjadi di bulan Oktober 2017 ketika dia baru 2 bulan kuliah. Di akhir semester pertama, ketika Index Prestasi Kumulatif (IPK)  dibagikan, Anin mendapatkan IPK 3.5. Cukup baik untuk mahasiswi yang dulunya galau.

“Anin, bagaimana cara Anin belajar sehingga hasilnya sebaik ini? “ Tanyaku.

“ Anin belajar sendiri.”

“Wah, sudah bisa ya Nak? Tidak jadi dimentori Kakak tingkat?”

“Anin bisa belajar sendiri. Hanya saja tempo hari sedang galau. Belajar sambil galau ya bedalah hasilnya dengan belajar tanpa beban. “ Sahut Anin riang.

Oh, begitu. Ternyata masalahnya sederhana saja. Selesaikan kegalauan anak, sehingga dia bisa menemukan sendiri solusi permasalahannya.  Alhamdulillah...


21 komentar:

Abby Onety mengatakan...

Anak yang hebat lahir dari ibu yang hebat. Inspiratif sharenya mba. Tq

aweaweunch.com mengatakan...

Mama yg hebat jd contoh aq nih bt anak2 bujangku thanks juli...

Dunialingga mengatakan...

Mamah yang hebat..harus seperti jadi teman ya bunda

Mayuf mengatakan...

Mama yang hebat (3) :D

catatanemak mengatakan...

Aku setuju dg pola asuh yg menempatkan org tua sbg teman bagi anaknya dan semua masalah dibicarakan dg baik dan demokratis. Aku suka gemes klo liat org tua yg malah memojokkan si anak bkn membantunya keluar dr masalahnya.

imelda mengatakan...

mbak salam kenal ya. Ijin share ke suami ya...walopun anakku masih kecil2 banget semua, insya Allah ilmu ini bermanfaat.

Asran mengatakan...

Thx informasi yang bermanfaat sekali.

https://bacakomik.web.id

nurul rahma mengatakan...

Bagussss bangettt mbaaa

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

Sama-sama Mbak@Abby Onety

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

Sama-sama Anty @snaptralala channel

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Dunialingga : jadi teman, jadi coach juga😁

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

Hehe twrimakasih @Mayuf

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

Siiip... toss dulu ✋@Dewi Nuryanti

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

Boleh Mbak @imelda silakan di share

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

Sama2 @asran redfield

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

Terimakasih Mbak @Nurul Rahmawati

Heni Puspita mengatakan...

Perlu ada waktu buat self talk juga ya Mbak. Jadi ibu bisa ngambil tindakan yang tepat dibanding langsung ngomel terbawa emosi. Saya masih seringnya gitu. Karena nggak meluangkan waktu buat self talk. Semacam tau yang bener tapi tetep nurutin emosi karena tekanan dari orang2 sekitar. Kalau anak rewel jadi ada yang ikut rewel juga dan saya sering kepancing emosinya apalagi kalau capek. Makasi ya sharingnya.

Viedyana mengatakan...

Kereeeeen mbak pendekatannya...two thumbs up buat anin..

Akhmad Muhaimin Azzet mengatakan...

Anin hebat. Ibunya juga hebat. Semoga ke depan semakin sukses ya, Mbak...

Sofhan Irham mengatakan...

Mama yang benar-benar hebat. Sangat menginspirasi salut buat mama nya . Sukses terus mb.

Dilan Arya mengatakan...

Ibu anaknya cantiik