Jumat, 27 Juli 2018

CARA MEMBERDAYAKAN DIRI DENGAN SELF TALK


Saat pertama kali diperkenalkan tentang Neuro Lingusitic Programming (NLP) oleh CikGu Okina Fitriani, beliau menjelaskan tentang NLP Presupositions.  Buat Emak-emak dasteran yang pikirannya simple, aku cukup pusing dengan belasan macam NLP Presuposition itu. Kalimat-kalimatnya singkat, tapi punya makna yang dalam. Untuk mudahnya, aku menganggap bahwa NLP Presuppositions itu adalah prinsip berpikir, sikap dalam memandang dunia dan prinsip berperilaku dalam ilmu NLP.

Salah satu NLP Presupposition yang kemudian dalam perjalanan hidupku terbukti bermanfaat adalah  yang satu ini :



Atau




Ketika mendapat sebuah pemahaman, sebagai muslim aku merasa perlu  mencari landasan dalam agama Islam yang aku anut. Karena sejatinya, jika ilmu  berasal dari Allah, pasti dalam Al Quran juga ada landasannya. Di dalam Al Quran ada ayat yang membuat aku yakin bahwa pemahaman ini cocok dengan value yang aku yakini. Ayat-ayat Al Quran itu menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagai berikut :

Al Quran Surat Al-'Isra' [17] : 70


Al Quran Surat At-Tin [95] : 4



Perkara sudah punya sumber daya dari dalam diri sendiri  sebagai makhluk yang diciptakan dengan bentuk sebaik-baiknya,  seperti puzzle yang dulu cukup membuat aku pusing, baper dan galau. Lalu masalahnya menjadi lebih jelas ketika CikGu Okina bicara tentang self talk.

Self talk itu adalah percakapan yang berlangsung di dalam diri kita sendiri yang dampaknya sangat besar mempengaruhi kondisi emosi diri sendiri dan respon kita terhadap berbagai peristiwa yang dihadapi.

Aku baru mengerti kenapa aku bisa sedih, lalu menangis. Atau marah yang menyebabkan aku teriak, tapi bisa juga membuat aku duduk, menarik napas panjang, kemudian berpikir.

Aku baru sadar kenapa kadang-kadang kepala rasanya penuh. Ternyata  self talk didalam kepalaku penyebabnya. Hingga akhirnya, aku menamai self talk-ku menjadi tiga karakter yang berbeda.

Yang pertama namanya Iwed. Perasaannya halus, mudah tersinggung, pemalu, mudah tersentuh, mudah kasihan, penyayang, suka baper-baper nggak berdaya.

Kemudian si Dewi, pemberani, curigaan, emosional, suka ngamuk, protes, marah-marah, ambisius, tidak gampang menyerah.

Dan Neng, si bijak, logis, sabar,berdaya.

Bagaimana peran mereka bertiga? Akan lebih mudah dimengerti  kalau aku jelaskan dengan contoh, sebagai berikut :

Jadi ceritanya di tahun 2015, ketika itu aku dan sahabat-sahabat  team inti Enlightening Parenting sudah beberapa kali “ngintilin” Mbak Okina Fitriani mengadakan training-training EP. Suatu hari CikGu bicara.

“Mbak Iwed, aku nggak mau Mbak Iwed cuma ngurusin training begini-begini saja. Sekarang saatnya meningkat. Mbak Iwed harus bisa menyampaikan materi ke peserta training EP. Harus bisa ya!”

Waduh...Lututku mendadak lemas, perut mules. Aku terlihat tegang terus, sampai Mbak Okina membantuku dengan terapi supaya bisa lebih santai. Terapi itu  mengurangi kecemasanku tapi tidak cukup membuat aku  bisa melakukan sharing ilmu dengan baik di depan peserta training. Penampilan pertamaku saat menyampaikan materi training, hiks... banyak sekali kekurangannya. Gugup, suara gemetaran, napas ngos-ngosan menahan tegang, banyak lupanya sehingga materi yang disampaikan kurang lengkap.

Sampai di rumah bayangan tentang penampilan pertama itu makin membuat aku terpuruk. Aku merasa tidak pantas berada di depan para peserta training. Aku cuma ibu rumah tangga. Nggak keren.

Setelah kurenungi, dan bertanya-tanya mengapa aku merasa seperti ini, ingatan membawaku ke beberapa tahun lalu ketika aku sudah berhenti bekerja. Saat itu salah seorang teman lama mampir ke Bogor dan kami bertemu. Setelah ngobrol beberapa lama, dia berkata,

“Halaah Iwed. Aku kira dirimu sudah jadi wanita karier yang hebat. Dulu waktu sekolah kan kamu aktif banget. Ternyata sekarang cuma jadi ibu rumah tangga doang. Yang bener aja?!Apa kerjamu sekarang? Ngabis-ngabisin duit suami?” Kalimat itu ditutupnya dengan tawa berderai. Sementara aku cuma bisa manyun.

Rupanya peristiwa itu melukai konsep diriku. Aku benci dia mengatakan kalimat itu tapi kok aku malah kemudian menerima anggapannya. Bahwa ibu rumah tangga itu ya nggak keren.

Kepalaku terasa penuh dan rasanya sungguh tak nyaman. Aku lalu masuk kamarku, membawa dua buah kursi. Pintu kamar kukunci supaya tidak ada yang mengangguku.


Kursi  A dan kursi B kuletakan  agak berdampingan tapi membentuk sudut. Aku bertekad menyelesaikan masalah ini, dengan cara sungguh-sungguh berdialog dengan diri sendiri.

IWED

NENG

Rencananya, aku akan menjadi si Iwed yang duduk di kursi  A. Lalu menjadi si Neng, yang bertindak sebagai coach, saat duduk di kursi B. Mula-mula aku duduk di kursi A, kemudian pindah ke kursi B, demikian terus menerus berganti-ganti posisi sambil berdialog. Percakapannya sebagai berikut  :

Iwed : “Aduuh... gimana ini. Masak aku disuruh ngomong di depan peserta training EP. Aku kan cuma ibu rumah tangga. Peserta training  itu kan keren-keren. Mereka psikolog, Doktor, pemimpin perusahaan, orang-orang yang jabatannya sudah tinggi di perusahaannya. Nggak panteslah aku yang nyampein materinya..Aku ini nggak emak-emak dasteran. Nggak keren."

Neng :“Ooh begitu ya. Sebagai ibu rumah tangga kamu kerjaannya ngapain aja?”

Iwed : “Ya biasalah. Kerjaan emak-emak dasteran itu ya ngurusin rumah, masak, ngurus suami, ngurus anak.”

Neng : "Kalo kamu ngomong di depan kelas training itu, kamu nyampein materi apa?”

Iwed : “Ya bicara tentang Enlightening Parenting. Ilmu Parenting yang didapat dari Mbak Okina.”

Neng : “Gunanya ilmu parenting itu apa?”

Iwed : “Gunanya supaya bisa jadi orangtua yang baik, yang tercerahkan, supaya bisa ngurus anak dengan baik.”

Neng : “Lha itu.. Supaya bisa ngurus anak dengan baik kan ya? Ngurus anak itu kerjaanmu apa bukan?”

Iwed : “Ya iyalah.. Aku ya ngurus anak tiap hari.”

Neng : “Orang yang kerjanya ngurusin anak, terus disuruh ngomong di depan kelas tentang bagaimana cara ngurusin anak.  Menurutmu itu wajar apa nggak?”

Iwed : “Eh.. iya ya. Wajar ya. Aku sudah ngerti ilmunya.  Sudah melakukan sendiri. Sudah nulis artikel menceritakan pengalamanku di buku dan blog. Sudah ada hasilnya juga.”

Neng : “Lha terus masalahnya apa kalau disuruh ngomong di depan kelas? Kan ngomongnya bukan tentang ilmu-ilmu canggih teknologi terbaru atau hitung-hitungan calculus rumit yang kamu gak paham. Masalahnya apa?”

Iwed :” Iya ya.. Nggak ada masalah ya.”



Di titik ini aku merasakan sangat  lega. Beban emosi yang mengganjal mendadak hilang, lepas. Sehingga aku merasa yakin bisa tampil lebih baik ketika menyampaikan materi di kelas-kelas training EP selanjutnya.

Teknik ini dalam NLP yang namanya Perceptual Position. Kenapa harus pakai dua kursi? Sebenarnya tidak harus pakai kursi, tapi saat aku melakukan dialog, aku ingin benar-benar berpindah kondisi emosinya, dari kondisi emosi tak berdaya, ke kondisi emosi yang netral sehingga mampu berpikir menemukan pencerahan. Kalau sudah sering melakukan, tak perlu kursi lagi. Bisa dilakukan dengan melakukan  percakapan di dalam kepala saja.

Pemberdayaan diri dengan Self talk sering aku lakukan,  terutama di saat kondisi emosi negatif melanda.

Suatu hari Anin, anak sulungku menelepon. Dia baru beberapa bulan kuliah di jurusan yang sesuai dengan minatnya. Tapi percakapan di telepon membuat aku galau. Anin mengatakan bahwa dia tidak bisa melanjutkan kuliah. Dia tidak mengerti materi kuliahnya, dan ingin pindah saja kuliah di tempat lain. Emosiku terpicu, kemudian setelah menutup telepon aku lakukan dialog dengan self talk sebagai berikut :

Iwed : “Ini anak nggak konsisten. Dia sendiri yang ingin kuliah di Hubungan Internasional. Sudah lolos seleksi perguruan tinggi negeri, sudah didukung sepenuhnya, lha sekarang mau pindah ?” (kecewa).

Dewi :“Menghadapi satu masalah saja langsung menyerah? Mau jadi apa anak ini??!” (marah).

Iwed :“Waduuh... ini dia anak hasil didikanku selama ini. Gagal dong aku jadi ibu yang baik..” (sedih).

Neng : “Kalau memang sekarang dia nggak konsisten, bisa nggak membuat supaya dia kembali fokus pada tujuannya?Nah, bagaimana caranya supaya dia nggak menyerah? Oke, ini memang hasil didikanku. Aku akui , 14 Tahun aku menerapkan pola asuh yang salah, baru hampir 4  tahun belakangan ini menerapkan Enlightening Parenting. Jadi wajarlah kalau masih ada sisa-sisa kesalahan pengasuhan yang harus aku tuai. Nah, sekarang mau diapakan anak ini? Dimarah-marahi atau diperbaiki?Inilah kesempatan praktek parental coaching! “

Kata-kata si Neng itu membuat emosi negatifku hilang seketika. Aku jadi semangat membantu Anin. Silakan baca cerita lengkapnya di website  atau di IG. Judulnya“MENGHALAU GALAU DENGAN PARENTAL COACHING”

Pemberdayaan diri dengan self talk ini juga bisa dibaca di tulisanku ketika aku berhadapan dengan si Akang, suami tercinta. Bisa dibaca kembali ditulisan-tulisanku di link ini :



Tiga Self talk sangat menentukan responku dalam menghadapi berbagai peristiwa. Meskipun Neng tampaknya paling positif tapi tidak selamanya dia unggul dalam  mengambil keputusan. Kadang-kadang perubahan dalam hidup terjadi karena ambisi Dewi.  Aku tidak akan memutuskan terus berupaya membangun kemesraan dengan si Akang kalau tidak menuruti kemauan Dewi yang pantang menyerah.

“Sudahlah. Suamimu baik kok. Terima saja. Bersyukur saja. Kan dia juga nggak aneh-aneh. Nggak mesra ya nggak apa-apa. Yang penting dia bertanggung jawab.” Begitu pendapat si Neng.

“Nggak bisa. Aku nggak mau. Rumah tangga ini akan berlangsung selamanya, seumur hidupku.  Dan aku tidak mau menjalani hari-hari yang biasa-biasa saja bersamanya. Aku ingin dipandang dengan mesra, dibelai lebih sering, dicium lebih banyak, aku membutuhkan perhatian yang konsisten. Aku rindu pada romantisme seperti yang  pernah dirasakan saat jatuh cinta dulu. Aku ingin dipuji, dimanja, sedikit dicemburui, dan  diperhatikan bahkan untuk hal-hal kecil.Aku mau keadaan berubah!” Sahut Dewi sengit.

Pendapat  si Dewi inilah akhirnya yang menggerakkan aku untuk mencari cara mempengaruhi si Akang hingga dia akhirnya jadi mesra lagi.

Bagaimana si Iwed? Apakah dia ada gunanya? Tentu saja. Si Iwed kan gampang baper. Kalau melihat orang susah, dia yang menggerakkan aku untuk sedekah, atau membantu orang. Si Iwed pula yang membuatku bersabar melakukan upaya bermesra-mesra ke Akang, berlembut-lembut ke anak-anak, demi membangun kembali kedekatan dengan orang-orang tercinta.

Manfaat berdialog dengan self talk adalah :

1. Dengan Self talk kita bisa mengenal diri sendiri. Bahwa di dalam diri ini kita punya banyak potensi,  misalnya semangat, kasih sayang, ambisi,  pikiran logis dan lain-lain. Tinggal pintar-pintar kita memilih  self talk yang mana yang tepat untuk diberdayakan, sesuai dengan masalah yang tengah dihadapi. Self talk juga membuat kita tidak mudah dipengaruhi pikiran negatif atau ide yang tidak sesuai dengan value yang kita yakini.

2. Sarana untuk mengambil keputusan terbaik.
Kalau sedang bingung memutuskan mana yang terbaik diantara beberapa pilihan, berdialog dengan self talk bisa mendorong kita menemukan pilihan terbaik.

3. Self talk membuat kita mampu memilih respon terbaik, mampu mengendalikan diri dengan baik dalam menghadapi peristiwa apa pun. Self talk bisa membantu kita me-reframe sebuah kejadian.

Misalnya, salah seorang teman di FB men-share sebuah artikel bernada “menghakimi”. Judulnya misalnya : 

PAMER KEMESRAAN DI FACEBOOK TANDA HUBUNGAN YANG TIDAK BAHAGIA.

Komentar-komentar yang tertulis di postingan itu isinya “cakar-cakaran” debat kusir antara emak-emak yang sering posting foto mesra dengan pasangan melawan emak-emak yang setuju dengan isi artikel.

Frame dari  si Dewi : “Wah.. kurang ajar. Artikel ini ngejekin aku, secara aku sering posting foto mesra. Kayaknya perlu nih nulis komentar, klarifikasi kalo artikel ini gak benar.”

Re-Frame  dari Neng : “Lha, sudah baca artikelnya, ini penulisnya nggak jelas siapa. Ada  dasar penelitiannya nggak? Ada surveynya nggak? Datanya mana? Nggak ada kan ya? Ngapain amat buang-buang waktu cakar-cakaran mengomentari tulisan hoax  model begini. Hahaha... Nggak usah dipikirin. Selesai!”

Coba renungkan.  Setiap perbuatan yang kita lakukan, sebenarnya didorong oleh self talk kita sendiri. 

Kalau melihat dua macam frame di atas, mau pilih self talk yang mana? Pilih terjun ke kancah cakar-cakaran, berdebat menumpahkan ego dan amarah, atau mau  meninggalkan perilaku memperturutkan emosi?


Maka kembali lagi ke topik di awal tulisan ini, sebagai manusia sebenarnya kita sudah dikaruniai Allah potensi di dalam diri untuk menjadi makhluk yang berdaya. Allah sudah menciptakan kita dengan sebaik-baiknya penciptaan. Maka, mau berubah menjadi lebih baik, lebih percaya diri, lebih meningkat dan mampu mempengaruhi orang-orang menjadi lebih baik, bisa dilakukan asal kita bisa memanfaatkan potensi diri, salah satunya dengan rajin berdialog dengan self talk.

Yuk, mari  berdayakan diri dengan  self talk kita !
  

Tidak ada komentar: