Rabu, 23 November 2016

Berubah Itu Mengubah





Ingin suami berubah menjadi lebih peduli dan terlibat dalam pengasuhan anak?

Ingin suami juga belajar ilmu parenting supaya bisa satu visi dalam menerapkan pola asuh anak?

Selama keinginan itu masih tergantung pada kendali di luar diri kita, keinginan itu berpotensi besar membuat frustasi karena tidak akan tercapai.

Jadi bagaimana? Apakah kita tak boleh berharap orang lain berubah?

Menentukan tujuan itu ada caranya. Buatlah tujuan itu spesifik dan terukur, dengan diri kita sendiri sebagai pemegang kendalinya, bukan pada orang lain.

Kalau tujuan yang kita dengung-dengungkan dalam kepala kita ganti bentuk kalimatnya menjadi seperti ini : " Menemukan cara yang tepat untuk mempengaruhi suami belajar parenting dan terlibat pengasuhan anak."

Maka alam bawah sadar akan lebih mudah menterjemahkan tujuan itu. Apalagi kalau detail dari tujuan itu lebih diperjelas. Misalnya ukuran keberhasilannya adalah bila suami mau ikut training parenting, kemudian menerapkan ilmunya dalam berinteraksi dengan istri dan anak-anak. (Spesifik dan terukur).

Kalimat " menemukan cara yang tepat untuk mempengaruhi.. " itu menunjukkan bahwa kendali ada pada diri kita sendiri. Bukankah kita yang harus mencari caranya, berhasil atau tidak tergantung usaha kita sendiri.

Lalu, dengan menggunakan prinsip 5 pillar komunikasi yaitu selesaikan emosi, fokus pada tujuan, bangun kedekatan, gunakan ketajaman indera dan flexible dalam bertindak, lakukan saja berbagai cara untuk mempengaruhi. Susun strategi persuasi. Kalo satu cara belum berhasil, ganti cara lain ( flexible dalam bertindak, tidak ada kata putus asa).

Jadi kalau ingin orang lain berubah, ubah dulu cara kita menetukan tujuan, ubah dulu cara kita berinterkasi atau berkomunikasi dengan orang yang dimaksud. 
Hasil tak akan mengkhianati upaya. Percayalah! Berubah itu mengubah.

Tahun 2014, terdorong oleh keinginan  menjadi ibu yang baik  bagi  anak-anakku, aku mulai belajar parenting. Semakin banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku butuh partner yang sejalan. 

Sayangnya, upayaku meyakinkan suami tercinta, si Akang, untuk ikut serta dalam proses pengasuhan yang didasari ilmu parenting tak bersambut.  

Ajakanku untuk ikut training parenting, atau minimal membaca buku yang aku tulis bersama trainer dan sahabat-sahabatku selalu ditepisnya. Aku masih bersyukur si Akang tetap mengizinkan aku ikut training, mengurusi pelaksanaan training, memperdalam ilmu parenting bahkan sampai ke luar negeri.  Tapi tetap saja dia merasa tak butuh belajar parenting.


Menurutnya sudah benar. Bahwa Ibu adalah pelaksana pengasuhan, sedangkan Ayah sebagai penegak peraturan, bagian yang melakukan ketegasan dan hukuman. Singkatnya menurut si Akang dulu, kalo anak-anak bandel, maka  Akanglah yang  akan maju untuk memarahi dan menghukum anak. Konsep yang seperti itu sangat tidak cocok dengan ilmu The Secret of Enlightening Parenting.

Berbagai upaya persuasif  aku lakukan. Mulai dari cara yang halus. Misalnya aku sering menceritakan sahabat-sahabatku yang telah mengalami transformasi dari ibu yang galak semacam singa betina, hingga Godzilla. Sahabat-sahabatku  mampu berubah menjadi ibu yang asyik, fun, dengan bermodal ilmu parenting. Mereka lalu menuai cinta anak-anaknya.

Aku juga menceritakan betapa positifnya lingkungan sahabat-sahabatku yang sudah mempraktekkan ilmu parenting. Bagaimana mereka menerapkan  ilmu dengan konsisten dan kongruen,  hasilnya  membahagiakan.

Aku  menceritakan betapa mengasyikkan berinteraksi dengan guru sekaligus trainerku, Mbak Okina Fitriani. Bagaimana dia sebagai role model yang sudah menerapkan ilmunya pada anak,  suaminya, dan juga para client-nya. Setiap kesempatan bertemu dengan Mbak Okina  kumanfaatkan untuk  menimba ilmu.  Aku kerap menemukan insight baru yang mencerahkan.

Belum mempan dengan segala cerita itu, aku sering men-tag si Akang di postingan status FB, foto-foto  dan  postingan website-ku tentang pencapaian yang kami lakukan. Baik dalam pelaksanaan training,  maupun kegiatan sosial  yang dibiayai royalti buku The Secret of Enlightening Parenting, yang Alhamdulillah dicetak ulang penerbit Gramedia dengan logo national best seller. Tujuanku tak lain untuk menggugah hatinya, supaya ikut serta dalam gerakan  membangun generasi gemilang. Hasilnya? Belum ada. Hehehe…

Lambat laun, prinsip yang dicanangkan bahwa ayah perannya adalah bagian marah-marah mulai menampakkan hasil.

Anak-anak menjaga jarak dengan Akang.  Image Akang di mata anak-anak adalah “tukang marah-marah”. Meski pun Akang suka membelikan barang-barang sesuai keinginan anak-anaknya, tapi image yang terlanjur melekat dalam alam bawah sadar  tetap  tak membuat anak-anak nyaman bersama Bapaknya. Tak jarang anak-anak menolak dengan tegas, ketika Bapaknya ingin memeluk atau mencium mereka. Sebaliknya, dengan Mama, anak-anak merasa lebih nyaman. Mama bisa bebas memeluk, mencium, membelai anak-anak. Lalu Akang mulai cemburu. 😎😏

Upayaku terus berlanjut.  Bukankah Allah menilai upaya manusia, bukan hasilnya. Selama bisa diusahakan, aku terus mencari cara. Hingga suatu hari. Ada training yang dilaksanakan di Jogjakarta. 

Aku memanfaatkan kesempatan ini dengan mengiming-imingi Akang bahwa akan asyik jadinya kalau ikut training sambil menjalankan hobinya  touring naik motor besar.  Aku juga mengatakan bahwa Mbak Okina Fitriani bisa meluangkan waktu memberikan terapi untuk Akang, yang mengalami phobia ruang sempit. Hal ini  membuat Akang tertarik.

Kali ini upayaku mulai menampakkan titik terang. Singkatnya, aku berhasil mengajak Akang ikut training di bulan Juli 2016,  dilanjutkan dengan training berikutnya di bulan September 2016. Butuh dua tahun berusaha. Alhamdulillah…

Pencerahan dari ilmu yang dipelajari mengubah pandangan Akang tentang konsep pengasuhan anak. Dia sadar bahwa dia harus berubah. Berubah dari tukang marah-marah jadi Bapak yang asyik, yang fun, yang penuh cinta dan kasih sayang.  Aku bersyukur tiada henti. Ternyata janjiNya bahwa tidak ada hasil yang mengkianati upaya, terbukti.

Upaya dimulai dari belajar menyelesaikan emosi. Cara paling simple adalah dengan merendahkan intonasi atau nada bicara. Lalu memandang anak sebagai tamu istimewa yang diundang dalam kehidupan atas persetujuan Allah. Jadi, orangtua harus  konsisten memperlakukan anak dengan etika memperlakukan tamu istimewa.

Orangtua yang berubah, membuat anak  berubah.  Aku menikmati setiap proses bagaimana anak-anak mulai merasa nyaman dengan Bapaknya. Dan tentu saja aku pun menikmati perasaan yang membahagiakan. Rasanya ingin berteriak. Horeee…. Aku dan si Akang sekarang satu team!!






Semakin banyak hal yang kusyukuri dalam hidup. Bukan saja dalam hal pengasuhan anak, tapi kini Akang pun sudah ikut aktif dalam gerakan mewujudkan generasi gemilang, bersama aku, dan sahabat-sahabatku. Dia rela menyediakan waktu di weekend yang biasanya dipakai untuk  mengurusi motor-motornya. Dia ikut  menjadi pembicara dalam training parenting tanggal 19-20 November 2016 di hotel Harris Kelapa Gading. Hal ini dilakukan sebagai upaya menginspirasi para ayah untuk berperan aktif dalam pengasuhan anak.




Mohon doa agar kami konsisten ya teman-teman..  Kami, bersama-sama dengan para  sahabat dan orangtua lainnya bergandengan tangan, membenahi pola asuh anak, mulai dari rumah sendiri. Semuanya demi mewujudkan mimpi membangun generasi gemilang. Generasi tangguh  yang kelak memimpin  dan membawa Indonesia menjadi negara bermartabat.  Negara yang terdepan karena akhlak mulia rakyat dan pemimpinnya. Insya Allah…


4 komentar:

pulau_ila mengatakan...

Wah hebat, suamiku jg gitu mba, tapi kadang2 mau jg datang sih kl acara seminar parenting. Untungnya dia dekat banget dgn anak2

TS mengatakan...

Karena keluarga adalah satu tim ya mba.. semangat membangun peradaban

Wadiyo mengatakan...

Bagaimana kalau bapaknya Mbak,
apa perlu belajar parenting juga ya?
terima kasih

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@ Nur Islah : Syukurlah kalau suaminya mau ikut belajar dan dekat dengan anak-anak, sudah bagus itu.

@TS : betul... :-)

@Wadiyo : Bapaknya Mbak, maksudnya Bapak saya kah? Beliau sudah kembali kepelukan Allah SWT