Minggu, 28 Maret 2021

INGIN DIKENANG SEBAGAI ISTRI YANG BAGAIMANAKAH KITA ?

Di kelas-kelas training mapun sharing Enlightening Parenting, setelah  si Akang menyampaikan materi Peran Ayah,biasanya ramai yang bertanya, 

“Mbak Iwed bagaimana kok bisa tahan dan terus konsisten menghadapi suami yang Rahwana? Kok nggak minta cerai saja? “

 


Suami Rahwana? Hehehe.. Si Akang sendiri yang menjuluki dirinya yang dulu  sebagai Rahwana.  Rahwana adalah tokoh antagonis dalam kisah Ramayana.Silakan di browsing sendiri ya bagaimana profil Rahwana.

 


Perjalanan rumah tangga kami di masa lalu memang ibarat drama. Berinteraksi dengan suami yang sebenarnya baik hati, hanya saja belum punya kemampuan mengelola emosi, belum belajar komunikasi suami istri, belum paham perannya sebagai ayah, sibuk dengan ego sendiri, agak sombong jugalah (sedikiit J), tentu rasanya nano-nano.   Tegang, nyelekit, emosi naik turun, miriplah rasanya seperti  naik roller coaster.

 

“Bagaimana Mbak Iwed bisa konsisten? Bagaimana bisa bertahan?”

 

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat aku melihat ke dalam diri. Apa sebenarnya yang terjadi?

 

Kata konsisten   dalam kamus Bahasa Indonesia artinya tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek, membuat aku berpikir, perilaku apa yang aku lakukan dengan konsisten terhadap suami? Apa latar belakangnya?

 

Ada banyak hal, tapi salah satu yang pertama terlintas di kepalaku adalah berperilaku mesra. Mesra seperti apa tepatnya? Salah satunya adalah selama bertahun-tahun  ini aku tak pernah absen mengantar si Akang ketika akan keluar rumah.  Baik untuk bekerja, berangkat touring, atau bahkan cuma mau pergi latihan silat. Aku konsisten memeluknya, menciumi Akang, mengantar Akang sampai dia naik kendaraan, lalu sekali lagi mencium kening atau pipinya lewat jendela mobil, berkata,” Hati-hati ya sayang.. Senyum dong… “ dan sejenisnya.

Ketika Akang beranjak pergi,  sambil memandangi mobil atau motornya, Aku menengadahkan tangan, mendoakan Akang dengan doa-doa kebaikan , meminta Allah menjaganya di jalan taat, memudahkan urusannya dan melindungi dia dari segala bahaya.

 

Sekarang sih mudah melakukan hal itu. Tapi kalau diingat ingat lagi, kenapa ya aku bisa terus melakukan hal ini, meskipun dulu ada saatnya  terasa sangaat  sangaat berat . Yaah namanya juga Rahwana ya, dulu kan dahsyat dan aneh-aneh kelakuan si Akang.

 

Bagaimana dulu aku  tetap bisa konsisten memeluk, menciumi, dan mendoakannya meskipun air mataku berderai-derai tak terbendung. Meski dada sesak oleh sakit, amarah  dan emosi yang belum terselesaikan. Kenapa aku bisa terus mendoakan kebaikan dia sambil memandang Akang yang beranjak pergi dan menghilang di kejauhan?

 

Menelaah lagi perilaku ini, aku teringat sebuah nasehat dari seorang Ustadzah bertahun-tahun yang lalu. Dia bilang,” Setiap pertemuan kita dengan orang-orang tercinta,misalnya dengan suami,  bisa jadi itu adalah pertemuan terakhir. Bisa jadi dia atau kita sendiri tiba-tiba dipanggil Allah.  Maka, berbuatlah yang terbaik di pertemuan terakhir itu. Kalau waktu kita tiba-tiba habis, kita ingin dikenang sebagai istri yang bagaimana? Bayangkan kalau di pertemuan terakhir kita mencaci maki suami, menyakiti hatinya, menumpahkan amarah dengan kata-kata kasar, mengabaikan suami, lalu kita mati. Apa yang akan terjadi? Apakah kita ingin dikenang sebagai istri yang  durhaka? Atau ingin dikenang sebagai istri penyejuk hati yang mendapat ridho suami, yang boleh masuk ke dalam surgaNya lewat pintu manapun juga?”

Jlebb…. 

Nasehat itu tampaknya telah merasuk menjadi belief dan  menjadi program  alam bawah sadar. Hal ini  menggerakkan aku tetap bisa memeluk, mencium, dan mendoakan si Akang, walau emosi tengah menggelegak dalam hati. 

 

Emosi, konflik atau masalah  apapun bisa diselesaikan, tapi kalau   ini adalah saat terakhir kita bersama dengan orang-orang tercinta, perilaku terbaik apa yang bisa kita ukirkan dalam sejarah hidup kita? Ingin dikenang sebagai apa kah kita? Istri yang durhaka, atau istri shalehah perhiasan surga?


-- 

Tidak ada komentar: