Laman

Selasa, 31 Januari 2017

CARA MEMBANGUN KEMESRAAN SUAMI ISTRI DENGAN 5 PILAR KOMUNIKASI



Setelah menikah dan memiliki anak, apakah kisah hidup kemudian  berjalan seindah dongeng Cinderella atau Putri Salju, “live happily everafter”?  Nyatanya tidaklah sama.  Setidaknya itu yang aku rasakan. Aku membayangkan rumah tangga yang romantis sepanjang pernikahan. Peluk, cium, belaian sayang, kata-kata manis, dan tatapan mata mesra penuh cinta menggelora. Ah sungguh indah!  

Pernikahan semacam itu hanya akan menjadi impian bila tak ada upaya mewujudkannya.  Butuh kemauan kuat, dan konsistensi, termasuk juga harus tabah menghadapi drama-drama yang menyertai upaya itu.

Mari simak perjuanganku menerapkan 5 pilar komunikasi yang kupelajari dari training Transforming Behaviour Skill  berdasarkan ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP), untuk mencapai tujuan, membangun kemesraan dalam rumah tangga.

Jumat, 20 Januari 2017

Kemewahan Rasa Tradisional di Rempah Iting

Makan bukan hanya sekedar kegiatan memasukkan makanan ke dalam mulut kemudian mengunyah dan menelannya. Makan juga bukan hanya untuk menghilangkan lapar dan memperoleh nutrisi bagi tubuh. Lebih dari itu.  Kegiatan makan ternyata  bisa menjadi pengalaman yang mengesankan. Seperti menikmati sebuah karya seni.  Bahkan makan juga bisa menumbuhkan rasa nasionalisme, cinta tanah air. Lho, kok bisa? Bagaimana ceritanya? Hehe..



Aku mendengar cerita dari salah seorang sahabat, katanya ada sebuah rumah makan di sebelah Sarinah Thamrin. Tempatnya agak tersembunyi,   di Jalan Sunda no.7 Menteng. Menurutnya masakan di situ enak. Harga makanannya pun untuk ukuran Jakarta Pusat termasuk murah.

“Makanan dan minumannya ditambahi rempah. Jadi bukan cuma rasa, tapi juga aroma. Nikmatnya cetarr ! ”Ujarnya melafalkan huruf r yang bergetar-getar. Ekspresi wajahnya saat mengucapkan kalimat itu kok “makjleb”. Aku jadi penasaran.

Jumat, 13 Januari 2017

Ketika Anak Mendadak Menyerah


Pagi itu, aku, si emak dasteran, sedang bersenandung riang di dapur, membolak-balik tempe mendoan di kuali berminyak panas mendesis-desis.

Tiba-tiba aku teringat Anin. Seharusnya dia sudah turun dari kamarnya di lantai dua untuk sarapan. Jam delapan pagi ini dia akan ikut try out di tempat bimbingan belajarnya. Khawatir Anin lupa, aku berlari meninggalkan kuali tempe mendoan, menuju kamarnya di lantai atas.

Kukuakkan pintu kamar hingga terlihat  anak gadis sulungku  sedang duduk di lantai. Di hadapannya berserakan kertas-kertas, buku, dan alat tulis. Sejak tadi malam kulihat dia menekuri tumpukan kertas dan buku-buku. Tapi pagi ini ada yang aneh.

Minggu, 08 Januari 2017

Workshop Menulis dengan Rasa dan Logika ala A. Fuadi



Siang itu, di sebuah caffe  di kawasan Cilandak, aku dan Mbak Gita bertemu untuk membicarakan sebuah proyek buku. Gelas-gelas kopi, kue-kue, dan laptop tertata di meja kami, menjadi saksi  obrolan seru yang mengalir.

Mbak Gita dan aku punya banyak kesamaan. Kami sama-sama suka menulis, sama-sama blogger, mantan tukang ngomel yang  sudah insyaf dan terus berupaya menjadi emak  terbaik buat anak-anak, aktifis parenting, senang berbagi ilmu, gemar belajar, rajin menabung, baik hati dan tidak sombong. Eh.  Hehehe…
 
Aku dan Mbak Gita

Kedekatan kami terjalin kian erat di komunitas alumni training Enlightening Parenting-nya Mbak Okina Fitriani. Banyak respon positif berupa sharing keberhasilan dalam menerapkan teknik-teknik Enlightening Parenting pada pengasuhan anak yang dilakukan anggota komunitas.  Kami berdua merasa sayang sekali kalau berbagai pengalaman tersebut hanya dinikmati  komunitas ini saja. Timbul ide untuk mengumpulkan pengalaman-pengalaman para orang tua menerapkan pengasuhan  dalam sebuah buku. Nah, rencana membuat buku itulah yang kami rundingkan.

Ketika pembicaraan beralih ke topik mencari penerbit, Mbak Gita berkata,

“Coba aku tanya sama kakak sepupuku ya. Namanya  Bang Fuadi. Dia penulis novel Negeri 5 Menara.”

Berasa tak percaya, aku terpelongok.

“Apa? Maksudnya A. Fuadi? Penulis novel trilogi Negeri 5 Menara? Itu sepupumu?”

Selasa, 03 Januari 2017

Anak Trauma pada Guru? Ini Solusinya



Aku sedang  duduk di ruang makan, baru saja menghabiskan semangkuk sop ayam  ketika si sulung Anin masuk.

“Sudah pulang, sayang?” Sapaku.

Anin tak menjawab. Dihempaskan tubuhnya di kursi makan. Tas kecilnya diletakkan sembarangan  di atas meja. Pandangan mataku menangkap raut wajah Anin  kusut. Rahangnya mengeras. Sudut-sudut bibir tertarik ke bawah. Ketajaman inderaku menangkap kemarahan dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh Anin.

“Lha, ada apa ini?” Batinku.

“Anin sebal banget! Ingat Guru Anin  marah tempo hari. Dia bilang percuma saja Anin pintar kalau akhlaknya buruk!” Kalimat itu terlontar dari mulut Anin disertai tatapan mata  dingin menusuk.