Selasa, 22 November 2016

Nilai Ulangan Anak Mengecewakan? Saatnya Terapkan Parental Coaching!



Apa yang  sebaiknya dilakukan orangtua bila  anak kecewa dengan nilai ulangannya?

Mau pilih marah, menghakiminya,   atau  mencekoki dengan solusi misalnya langsung disuruh les ?
 
Sumber foto ilustrasi dari hijabilifedotcom


Mencekoki anak dengan solusi tampaknya seperti perilaku orangtua yang sayang anak. Padahal, orangtua yang sedikit-sedikit memberi solusi pada permasalahan anaknya tanpa sadar membunuh kreativitas anak, menjadikan anak tidak tangguh,  dan mudah menyerah.


Maka apa yang sebaiknya dilakukan? Jadilah orang tua yang keren buat anak-anak. Mari bimbing anak untuk menemukan sendiri solusinya.  

Lakukan parental coaching yang berpegang pada 5 pilar komunikasi. 5  pilar komunikasi adalah :

1.    Selesaikan emosi
2.    Tentukan tujuan dan fokus pada tujuan itu.
3.    Bangun kedekatan.
4.    Gunakan ketajaman indera.
5.    Kreatif atau fleksibel dalam bertindak.

Supaya lebih jelas, simak aplikasinya berikut ini.

Kalau anak datang pada Mamanya dengan wajah kusut, lalu dia berkata
“Mama, aku kesal! Nilai ulangan matematikaku jeblok. Dapat 4, Maaa!”
Apa yang dilakukan Mama?
Kalau ada Mama yang bilang,
“Tuh kaaan! Mama bilang juga apa?? Makanya belajaaar!!” Sambil mukanya ikutan kusut juga.

Kira-kira apa yang terjadi?

Saat anak datang dengan rasa kesal, marah, dan kecewa, sebenarnya apa yang dibutuhkannya? Dia butuh dimengerti, butuh dihibur, dan dibimbing menemukan  solusi.

Apa sebenarnya yang terjadi pada sang Mama  yang berkata demikian tadi? Emosi itu menular. Tanpa sadar sang Mama sudah ketularan emosi negatif anak. Akibat emosi,  responnya menjadi  negatif. Respon negatif biasanya  membuahkan hal yang negatif juga.

Sudah bagus anak datang kepada Mamanya untuk mengadukan permasalahan. Di saat anak dirundung masalah, sang Mama yang tidak bisa mengelola emosi malah memilih mengambil posisi sebagai hakim yang memarahi dan mengadili anak.

Kalimat “Tuh kaan! Mama bilang juga apa?? Makanya belajaaar” itu  seperti mengatakan bahwa Mama benar dan kamu salah. Itu akibatnya, itu hukumannya karena kamu tidak belajar. Padahal belum tentu anak tidak belajar.  Bisa saja cara belajarnya kurang tepat, atau sudah belajar tapi belum mengerti, sehingga hasilnya tidak sesuai harapan.

Didorong emosi negatif, sang Mama memilih posisi berseberangan dengan anak. Tanpa sadar hal ini merusak kedekatan dengan anak.
Tak heran bila anak berpikir,

“Wah, ternyata nggak asyik mengadu ke  Mama. Aku malah kena marah. Lain kali kalo ada masalah aku nggak mau bilang sama Mama lagi ah!”

Nah, repot kan kalau begini  😟

Dari pengalamanku sendiri sebagai Mama 3 anak, permasalahan paling mendasar dalam menjalin komunikasi dengan anak adalah pengelolaan emosi. Komunikasi tidak berjalan lancar, masalah jadi ruwet  sebagian besar karena sang Mama tak mampu menyelesaikan emosi. Karena alasan itulah, guru sekaligus trainerku, Mbak Okina Fitriani, meletakkan point “Selesaikan Emosi” diurutan pertama dalam 5 pilar komunikasi.

Jadi sebaiknya yang dilakukan pertama kali adalah menyelesaikan emosi. Emosi siapa? Ya emosi Mama.

Caranya bagaimana?  Dalam training the Secret of Enlightening Parenting, diajarkan beberapa cara menyelesaikan emosi. Salah satunya dengan metode assosiasi - dissosiasi.

Saat anak datang dengan kekesalan dan kemarahan, lalu sang Mama merasakan hal yang sama, artinya Mama mengalami assosiasi, yaitu menjadi dirinya sendiri yang terlibat dalam sebuah peristiwa. Segera kenali emosi itu, tahan mulut agar tidak bicara dalam kondisi emosi  tak memberdayakan. Mama mundur dulu satu langkah. Lakukan disossiasi, yaitu sang Mama membayangkan  “keluar” dari dirinya sendiri, menjadi sosok yang tidak terlibat dalam peristiwa itu.

Bayangkan ada dua sosok Mama. Untuk lebih jelasnya, dissosiasi itu seperti menonton film. Dalam hal ini film yang aktornya adalah Mama dan anaknya. Lalu, penontonnya adalah Mama yang tak terlibat dalam peristiwa itu. Mama yang menjadi penonton itu bisa melihat permasalahan yang terjadi tanpa terlibat  atau terpengaruh emosinya. Bila emosi tak terlibat, logika akan berjalan dengan baik.

Lalu mulailah menganalisa peristiwa itu dari sudut pandang observer atau penonton.

“Ini ada kejadian, anak datang pada Ibunya, mengadukan kekesalannnya, kekecewaannya, kemarahannya karena nilai matematikanya jeblok. Lalu apa yang seharusnya dilakukan sang Ibu?
Sebagai Ibu harusnya dia tidak marah. Dia harus memahami anaknya, menghiburnya supaya emosinya selesai, lalu membimbing anak mencari solusi. Jadi, tujuan Ibu  adalah membimbing anak menemukan sendiri solusinya.(menentukan tujuan dan fokus pada tujuan itu)”

Sampai disini, sang Mama yang jadi penonton dengan membawa kebijaksanaannya,  masuk kembali ke sosok dirinya, sehingga terjadi proses assosiasi. Setelah ini bisa dipastikan kondisi emosi Mama sudah baik, tidak marah lagi, tidak terdorong untuk menghakimi anaknya.

Selanjutnya yang harus dilakukan adalah menyelesaikan emosi anak.
Bagaimana caranya? Be Creative!

Katakan bahwa Mama memahaminya.

“Mama mengerti Adek kesal. Yuk sini.. Mau Mama peluk nggak?”
Menawarkan pelukan adalah upaya membangun kedekatan.

Seandainya anak menolak, lalu bagaimana?
“Nggak mau! “ Teriaknya.

Apakah Mama menyerah? Ini saatnya mengeluarkan jurus yang ke 5,  kreatif atau fleksibel dalam bertindak. Ingat baik-baik, bahwa tidak ada kegagalan,  yang ada adalah feedback. Kalo satu cara tidak berhasil, cari cara lain sampai berhasil. Jangan mudah menyerah.

“Adek, Mama tadi beli ice cream. Enak banget lho. Yuk kita makan berdua. Sini, Dek..

Ajak anak  makan berdua. Bangun kedekatan  sambil terus diperhatikan bagaimana ekspresi wajahnya, bahasa tubuh, intonasi suaranya. Gunakan ketajaman indera untuk mengenali apakah emosinya sudah reda atau belum.

Ketika raut wajahnya sudah kelihatan ceria, baru sang Mama bisa mengajak anaknya berdiskusi. Mulai lakukan parental coaching.

“Adek, coba Mama lihat ulangan matematikanya. “

“Ini Ma, dapat 4!”

“Oo.. Ini  Adek sudah benar mengerjakan  4 soal lho… (Mama fokus pada hal baik). Tinggal 6 soal lagi yang perlu diperbaiki.” (Pemilihan kata “tinggal 6” membuat anak merasa permasalahannya tidaklah terlalu parah. Hati-hati memilih kata. Kalau Mama memilih berkata “ masih 6 lagi” maka efeknya akan berbeda. Ingat padanan kata “tinggal- sedikit” dan “masih- banyak”)

“Oh iya ya.”

“Coba, Adek lihat. Enam soal  itu tentang apa saja?”

“Tentang luas lingkaran, keliling lingkaran, volume limas, volume kerucut, volume tabung, dan volume bola.”

“Oke. Jadi 6 subjek itu ya yang perlu Adek pelajari. Kapan ada ulangan lagi, Nak?”

“Minggu depan, Ma.”

“Jadi Adek masih punya waktu 1 minggu ya untuk belajar. Supaya cukup waktunya untuk belajar 6 subjek itu, bagaimana Nak?”

“Ya dibagi-bagi waktunya. Aku ingin menguasai dalam 2 hari, jadi satu hari aku akan belajar 3 subjek.”

“Bagus, Nak. Menurutmu bagaimana caranya supaya bisa menguasai 6 subjek ini?”

Biarkan anak yang mencari sendiri solusinya. Jawaban harus datang dari anak. Jawabannya bisa saja  belajar lewat internet, atau minta diajari temannya yang pandai, atau anak minta dicarikan guru les.

Yakinkan bahwa apa pun solusinya, hal itu adalah keputusan dia sendiri, bukan Mama yang menyuapi solusi.

Bila anak memilih belajar lewat internet, Mama sebaiknya mendampingi dalam proses belajar. Bila anak memutuskan minta diajari temannya, izinkan dia melakukannya. Bila anak meminta dicarikan guru les, Mama tinggal memfasilitasi.

Solusi yang datang dari keputusan sang anak, akan membuat anak lebih berkomitmen melaksanakannya.

Apa sih sebenarnya yang dilakukan orang tua dalam mendidik anak? Prinsip pengasuhan anak adalah menjaga fitrah atau potensi baik anak yang sudah ada dalam dirinya sejak lahir. Melakukan parental coaching adalah salah satu upaya orang tua untuk menjaga fitrah baik anak. Fitrah baik yang mana? Fitrah untuk bertahan hidup, fitrah  tanggung jawab dalam hal ini untuk menemukan solusinya sendiri ketika menghadapi masalah.

Ingin punya anak  tangguh yang mampu menghadapi berbagai masalah dan  tak tergantung pada orangtuanya?

Yuk, mulai lakukan parental coaching  😃💗💗💗👍

6 komentar:

Herva Yulyanti mengatakan...

Aku pun sudah mulai sedikit2 parental coaching pada anakku meskipun hasilnya ga sesuai karena masih 3 tahun hehe
Nice for reminder mba

Fanny f nila mengatakan...

Ini juga cara yg diterapkan di HSBC kantorku mbak. Kita tiap 6 bulan ada yg namanya staff coaching. Jd dr situ staff dan line managernya saling ngobrol , bicara ttg apa ug msh jadi kendala, tp atasan berusaha supaya solusinya bisa berasal dr staff sendiri, dgn tujuan ya supaya commit saat melaksanakan :). Buatku sih bgs jg dilakukan di anak yaa.. Supaya mereka terlatih berfikir mencari solusi sendiri :)

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@herva yulyanti : wah keren,Mbak. sejak dini sudah dikenalkan dengan parental coaching. 👍👍👍👍

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Fanny f nila : iya, harusnya para orangtua melakukan ini pada anak2nya.😊

Anonim mengatakan...

Sejak kapan mba parental coaching ini bisa diterapin mba?

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@maarceuu : parental coaching bisa diterapkan sejak anak paham bahasa dan sudah bisa diajak bicara. Ada anak sahabat saya yang umur 3 tahun sudah bisa di coaching, meskipun tetap cara coaching harus disesuaikan dengan usianya.

Rata-rata usia 4-5 tahun sudah bisa dicaoching untuk permasalahan sederhana. Biasanya kalau sudah mulai sekolah, sudah semakin bisa. Kalau anak sudah dibiasakan didengar pendapatnya dari kecil, maka anak lebih cepat bisa di coaching.Misalnya dari kecil sudah dibiasakan diberi pilihan, misalnya pilih mau pakai baju apa hari ini, lalu Mamanya memberi apresiasi. itu baik banget untuk memupuk kemampuan anak mencari solusi.