Minggu, 27 Desember 2015

Mengukir Kisah di Hobart and William Smith Colleges Geneva New York State

Hobart Quadrangle,  Hobart and William Smith College  

Setiap orang punya cara sendiri memaknai jalan-jalan.  Ada yang menjadikan jalan-jalan sebagai moment bersenang-senang, pelepas kepenatan, penghibur hati yang sedih, sarana mendapat inspirasi, dan hadiah untuk sebuah prestasi yang telah dicapai.

Begitu besar manfaat yang dapat diperoleh dari sebuah perjalanan. Bahkan Nabi Muhammad  SAW diberi Allah SWT  hadiah berupa perjalanan agung Isra’ Mi’raj untuk menghibur hatinya yang lara, sekaligus menerima perintah shalat 5 waktu. Kala itu Rasulullah tengah dirundung duka maha berat  akibat wafatnya orang-orang terkasih yang mendukung perjuangan menegakkan Islam,  yaitu istri tercinta Siti Khadijah RA dan pamannya Abu Thalib.


 Dalam   buku The Paspport to Happiness, sebuah catatan perjalanan, penulis  Ollie  menjadikan jalan-jalan sebagai sarana perenungan untuk berdamai dengan keadaan  dan mencari sebuah happy ending. Baginya, hidup telah mengajarkan bahwa perjalanan itu menyembuhkan.


Dulu, aku memaknai jalan-jalan sebagai perwujudan mimpi masa kecil. Ya, saat kanak-kanak aku bermimpi menjejakkan kaki di Eropa. Ketika hal itu menjadi kenyataan, perjalanan itu membangkitkan rasa syukur yang besar pada Sang Maha Pencipta.

Lalu acara jalan-jalanku makin bermakna.  Aku mulai melakukan perjalanan yang bukan sekedar jalan-jalan.  Aku berharap memperoleh hal yang lebih daripada sekedar kesenangan. Harus ada pencerahan, hikmah, pelajaran hidup yang kuperoleh. Bahkan kalau bisa harus ada kebaikan, pengetahuan,  ilmu  bermanfaat yang bisa kuberikan pada teman-teman atau orang-orang di tempat tujuan jalan-jalan. Dan terakhir, harus ada kebaikan yang bisa aku tulis dan bagikan kepada para pembaca blogku.  Ketika tujuan itu telah tercapai, efek yang kurasakan adalah  bahagia.

Sebuah perjalanan bersama sahabatku, Indriya R Dani ke negeri Paman Sam tahun 2014 lalu menjadi pengalaman yang sangat membahagiakan.

Kami mengunjungi Los Angeles, Detroit- Michigan, Geneva- New York State,  lalu kembali lagi ke Los Angeles.  Namun kali ini aku ingin mengukir kisah saat kami mengunjungi sebuah perguruan tinggi di Geneva, New York State.

Bagaimana bisa blogger dan penulis seperti aku dan Indriya  melanglang ke tempat ini? Semua tak terlepas dari kemurahan dan rezekiNya. Adalah salah seorang ilmuwan Indonesia yang bergelar associate professor bernama Etin Anwar, kami memanggilnya Teh Etin. Beliau mengajar studi Islam  di Hobart and Williams Smith Colleges. Kedatangan kami ke tempat ini atas undangannya, dan tugas kami adalah berbagi dengan mahasiswa-mahasiswi  mengenai hijab dan busana muslim.

Penerbangan lokal dengan pesawat United Airlines membawa aku dan Indriya dari Detroit Wayne County Airport Michigan, transit di Newark, New Jersey. Tak sampai satu jam kemudian perjalanan berlanjut.

Aku menatap awan-awan putih bermandi cahaya matahari melalui kaca jendela pesawat. Kulirik Indriya, mulutnya komat-kamit membaca teks opening speech  sambil menatap layar laptop kesayangannya.  Sesekali aku ikut membenarkan pengucapan bahasa Inggrisnya.

Setelah menarik nafas panjang, aku merebahkan kepala di sandaran kursi, lalu tenggelam dalam lamunan. Tindakan ini kelak kusesali....

Kami tiba di bandara Rochester New York yang terletak di Monroe County pukul 9.39 AM, tanggal 1 September 2014.

Kami berdua celingukan mencari orang yang menjemput.  Pesan melalui inbox facebook  mengandalkan wifi gratisan, belum dibalas Teh Etin. Kami berpikir mungkin beliau sedang  mengajar di kelas.

Setelah menunggu tanpa hasil, kami memutuskan menghubungi nomor teleponnya. Indriya menghampiri sebuah telpon koin, memasukkan koin lalu menekan nomor telepon. Tapi berkali-kali koin itu  keluar lagi, sebelum telepon bisa tersambung. Kami berpandangan-pandangan dengan hati cemas. Duh, bagaimana ini?
Rupanya kelakuan kami menarik perhatian seorang wanita tua  yang mengenakan seragam petugas bandara. Dia menghampiri kami dengan senyum ramah dan tatapan  bersahabat.

“Ada yang bisa dibantu? “ Tanyanya padaku.

Aku menjelaskan bahwa kami ingin menghubungi sebuah nomor. Wanita itu memperhatikan nomor telepon  yang kusodorkan, lalu menggelengkan kepala.

“Kalian tidak bisa pakai telepon koin ini.  Nomor ini berbeda wilayah. Sebaiknya pakai telepon selulerku  saja.” Ujarnya sambil memberikan ponselnya.

Alhamdulillah.. Rasanya lega sekali. Ini pertolongan Allah. Aku tak akan pernah melupakan kebaikan hati Dorothy, demikian nama wanita itu.

Akhirnya kami menemukan Jhon, sopir yang diutus menjemput kami. Wah, gaya sekali si Jhon ini! Dia mengenakan kemeja putih,  rompi hitam lengkap dengan dasi, dan sepatu kulit yang disemir kinclong.  Pria tua itu ramah tapi agak kaku. Ada yang aneh saat dia tersenyum, sepertinya pria ini mengenakan gigi palsu. Sikapnya resmi,  sangat teratur, seperti menjalankan sebuah prosedur standar.


Jhon mengangkat koper-koper kami, meletakkannya dalam bagasi. Mobilnya, sebuah taxi limo yang lega dan keren. Jhon membuka pintu mobil lalu mempersilakan aku dan Indriya masuk. Kami merasa seperti putri Cinderella yang dijemput kereta kuda. Hahaha...

Hobart and William Smith Colleges

Perjalanan menuju Hobart and William Smith Colleges  memakan waktu kira-kira satu jam.   Ketika tiba di tempat tujuan, aku langsung terpesona dengan suasana  kampus yang cantik, luas, dan asri itu.

Suasana di Kampus Hobart and William Smith Colleges

Kampus seluas 78,9137 hektar itu terletak di jantung   Finger Lake region  Geneva, New York State. Tepatnya di 300 Pulteney Sreet, Geneva, NY 14456, United States.

Peta Kampus HWS

Perguruan tinggi ini didirikan sebagai dua bagian terpisah, yaitu Hobart untuk laki-laki, berdiri tahun 1822, dan William Smith untuk perempuan, tahun 1908. Saat ini, meski    seluruh mahasiswa  bergabung dalam kampus, fakultas, dan kurikulum yang sama, tetapi tradisi masing-masing masih  tetap dipertahankan.

Indriya dan Aku 

Terdapat 46 majors atau jurusan bidang studi yang spesifik di HWS. Diantaranya terdapat jurusan yang  paling populer yaitu Economics, Media & Society, English, Environmental Studies, Public Policy Studies, Psychology, Architectural Studies, Biology, Political Science dan International Realtions.



Bangunan-bangunan indah di lingkungan HWS

Jalan-jalan menikmati suasana kampus menjadi kegiatan yang  sangat menyenangkan. Bagian terluar kompleks kampus itu terletak di tepi danau Seneca yang cantik. Terdapat sebuah bangunan berdiri  di atas tepi danau. Bangunan itu  disebut Bozzuto Boat House and Dock.



Bozzuto Boat House and Dock.


Menikmati pemandangan cantik danau Seneca

Bangunan-bangunan  megah,  berdiri tersebar di area kampus yang spektakuler. Hobart Quadrangle, sebuah lapangan hijau luas terbentang di tengah-tengah sekumpulan gedung indah seperti Geneva Hall, Salisbury Center, Eaton Hall, Gulick Hall, Coxe Hall dan Medbery Hall. Di sinilah biasanya  mahasiswa bersantai, berkumpul, bermain frisbie, lacrosse, atau football.  Duduk diam menatap lapangan hijau itu dari sebuah kursi dibawah pohon, terasa sangat nyaman . HWS memiliki  lingkungan yang sangat mendukung gairah belajar.

Indriya menikmati pemandangan lapangan hijau di HWS



Salah satu bangunan di kompleks HWS

Aku dan Indriya menginap di Harris Hall, sebuah bangunan tua cantik yang dibangun pada 1827. Dulunya bangunan ini pernah menjadi rumah tinggal Elon Howard Eaton, seorang professor di bidang Biologi.

Kamar di Haris Hall

Bathroom dan toilet

Ruang Tamu di Harris Hall

Kamar kami cantik, bersih dan nyaman. Kamar mandinya bersih dan tampak baru. Aku dan Indriya menyempatkan duduk-duduk di ruang tamu Harris Hall yang nyaman. Sangat menyenangkan menikmati suasana ruangan bangunan tua ini.


Perpustakaan HWS

Aku dan Indriya sempat masuk ke perpustakaan. The Warren Hunting Smith Library, dibuka pada 1976. Perpustakaan ini besar dan nyaman. Terdapat koleksi buku-buku langka, ruang CD, laboratorium mikro kampus, ruang arsip pada basement, smart classroom yang dilengkapi teknologi terbaru termasuk kontrol panel layar sentuh untuk mengoperasikan dan memproyeksikan semua peralatan dalam ruangan. Pada bagian Selatan gedung perpustakaan ini terdapat The Melly Academic Center,yang dilengkapi ruang-ruang kelas berteknologi tinggi.


Dining Hall di Scandling Center

Dining hall atau ruang makan utama mahasiswa  terletak dalam bagunan bernama Scandling Center. Tempat ini tak kalah menariknya. Ada sangat banyak pilihan menu di tempat ini. Ada bagian ruangan yang tampak seperti suasana resto hotel bintang 5, lengkap dengan berbagai menu makanan yang tampilannya mirip karya master piece para chef terkemuka, sungguh membangkitkan selera.

 Teh Etin Anwar, Sebuah Lentera di Kegelapan

Akhirnya kami bertemu Teh Etin. Wanita mungil enerjik itu menyambut kami dengan ramah. Sebentar saja kami sudah mengobrol ngalor-ngidul seperti sudah kenal lama. Kami menikmati makan siang di Scandling Center.   

Indriya, Teh Etin dan aku


Teh Etin adalah lulusan IAIN, dia bergelar doctor dari Philosophy Department. Tepatnya Philosphy, Interpretation, and Culture Program dari Binghamton University, New York. Sudah belasan tahun dia menetap di USA. Suaminya, Shalahudin Kafrawi, Ph.D. juga mengajar di HWS.

 “Teteh harusnya menulis. Tulis tentang pengalaman Teteh, dan bagikan pada orang lain. “ Ucapku sambil mengunyah menu makan siangku.

“Ah, siapalah saya ini. Apa sih yang bisa saya bagi? Masih banyak orang lain yang hebat. Saya belum ada apa-apanya.” Sahut Teh Etin.

Ucapannya itu kontan mengundang reaksiku.Duh, gemas rasanya.  Bagaimana mungkin seorang associate professor, salah satu ilmuwan  kebanggaan Indonesia seperti beliau tak yakin akan dirinya. Padahal di mataku apa yang sudah dicapai Teh Etin begitu menginspirasi.

“Teteh bisa menulis pengalaman Teteh, perjuangan Teteh sampai akhirnya bisa mengajar di sini. Menurutku itu hebat, Teh. Banyak lho orang Indonesia yang ingin berkarier di Amerika, tapi mereka tak tahu caranya. Berbagi pengalaman Teteh pasti banyak manfaatnya bagi orang lain. “ Ujarku penuh semangat.

Teh Etin sempat mengungkapkan kekecewaannya. Dia merasa kurang dihargai di negeri sendiri.Tapi  aku melihat apa yang terjadi pada dirinya merupakan potongan-potongan puzzle. Potongan puzzle yang tersusun sesuai  rancangan Allah,  membentuk skenario hidupnya.

“Itu memang sudah sesuai dengan rencana Allah, Teh. Teteh sengaja dibuatNya merasa tak nyaman berkarier di Indonesia karena tempat Teteh di sini. Teteh di butuhkan di sini. Ibarat cahaya, mungkin teteh hanya lilin kecil di tengah terik matahari bila diletakkan di Indonesia. Begitu banyak orang mengajar  Islam di sana.  Tapi di sini, kehadiran Teteh  seperti lentera dalam kegelapan. Banyak orang berprasangka buruk terhadap Islam karena mereka buta Islam. Nah, tugas Teteh sudah jelas yaitu  menyampaikan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin. Rahmat bagi alam semesta. Islam itu indah dan damai. “ Perkataanku membuat Teh Etin tersenyum.

Bersama Aminata

Tentang lentera dalam kegelapan itu menurutku bukan omong kosong. Jumlah muslim dilingkungan HWS sangat sedikit. Aku hanya berjumpa dengan satu saja mahasiswi muslim di sini. Namanya Aminata. Selebihnya adalah non muslim. Tapi aku salut pada semangat belajar para mahasiswa itu, meski bukan muslim, tapi mereka mau belajar tentang Islam. Teh Etin adalah sumber pengetahuan tentang Islam di sini.

Makan malam di rumah Teh Etin

Malamnya, aku dan Indriya diajak berkunjung ke kediaman Teh Etin. Kami menikmati makan malam bersama teman-teman Teh Etin dan suaminya. Obrolan di meja makan itu mengasyikan, apalagi ditemani masakan Teh Etin yang lezat.

 Workshop Tutorial Hijab

Hari berganti. Kami menyiapkan berbagai kebutuhan untuk tutorial hijab dan fashion show  yang merupakan inti dari kedatangan kami di sini.

Indonesia telah menjadi kiblat busana muslim dunia. Kepada para mahasiswa di sini kami ingin menunjukkan bahwa wanita yang berbusana muslim tetap bisa tampil nyaman, dan menyejukkan  dipandang mata.

Indriya membawa busana-busana muslim  rancangannya.  Busana-busana itu berbahan batik Bogor. Ya, kami berdua sama-sama dari Bogor, karena itu mempromosikan produk Bogor menjadi salah satu hal yang penting. Kami ingin memperkenalkan batik Bogor di sini.

Siapa yang akan menjadi para model  peragawati yang mengenakan hijab dan  busana-busana muslim ini? Tak lain para mahasiswi itu sendiri.

Workshop Tutorial Hijab

Para mahasiswi telah berkumpul di ruangan untuk menyaksikan tutorial hijab.  Suasananya santai. Ketika acara akan dimulai, Indriya tampak tegang.  Aku yang berada disampingnya melihat dia gelisah. Sepertinya dia   lupa membawa text opening speech-nya.  Benar saja...

“Mbak. Mbak saja yang mulai bicara. Opening speech!” Bisiknya panik.

Dengkulku mendadak lemas. Oh my God!. Aku menyesali diri tak menyimak isi opening speech yang ada pada Indriya, yang didengungkannya komat-kamit di kursi pesawat.  Aku sama sekali tak ada persiapan. Indriya sudah sering menjadi pembicara pada talkshow fashion  di Jakarta, Bandung dan Bogor. Rupanya dia masih bisa demam panggung juga  berada di depan mahasiswa HWS ini.

Ya, apa boleh buat. Tak mungkin kami berdua sikut-sikutan di depan mata para mahasiswa.  Aku menarik nafas dan mulai bicara.

Kuucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan pada kami berdua. Aku memperkenalkan diri sebagai blogger dan Indriya sebagai penulis buku fashion muslimah.  Aku berbicara tentang ketentuan dalam berbusana muslim. Dalam kondisi “kepepet” seperti ini, ternyata otak masih  mampu bekerja menghasilkan kata-kata, meskipun sambutanku itu tidak panjang lebar.  Seandainya aku menyimak isi opening speech yang sudah disiapkan, tentu aku bisa bicara lebih dalam dan lebih banyak, tentang perintah dalam Al Quran mengenai hijab, dan  tentang perkembangan fashion muslim di Indonesia. Sayang sekali, ini kesempatan langka.  Ah... penyesalan selalu datang terlambat.





Bersama  mahasiswi dan dosen usai workshop

Tapi raut wajah para mahasiwi yang bersemangat, membuat aku dan Indriya kembali bergairah. Kami memulai tutorial hijab dan langsung mendapat tanggapan meriah. Para mahasiwi satu persatu mengajukan diri menjadi model, bahkan sedikit berebutan. Keingin tahuan mereka tentang bagaimana rasa mengenakan hijab demikian besar.  Pada akhir workshop, salah seorang dosen tak mau kalah, dia juga mengajukan dirinya menjadi model. Wah, seru sekali..!

Peragaan  Busana Muslim

Workshop tutorial hijab telah selesai dilaksanakan. Kemudian kami  menuju ruang Vandervort yang terletak di Scandling Center lantai 2. Di tempat ini telah disiapkan  panggung catwalk, untuk para model memperagakan busana muslimah.

Indriya mengarahkan gaya para peragawati sebelum fashion show dimulai

Kemudian aku dan Indriya kembali  dilingkupi ketegangan. Kutatap dengan cemas para mahasiswi yang tertawa-tawa berlatih berjalan di atas catwalk. Bukan keceriaan mereka, tapi  ukuran tubuh mereka yang tinggi besar itu masalahnya. Baju-baju yang dibawa Indriya tidak bakalan muat di tubuh mereka!

Ini pelajaran bagi kami, lain kali bila mengunjungi Amerika, kami harus membawa baju berukuran extra besar. Baju yang kami bawa sebenarnya bukan pula berukuran kecil. Ukurannya standard wanita tinggi langsing. Tapi para mahasiswa yang mengajukan diri menjadi model  ini banyak yang bertubuh bongsor.

Teh Etin tampil sebagai penyelamat. Untunglah dia membawa sejumlah busana muslim yang berukuran besar.
Setelah selesai latihan di catwalk, acara segera dimulai. Para penonton berdatangan. Dari balik panggung, aku mendengar Teh Etin menyampaikan pidato pembuka.

 Ada dua sesi peragaan busana, sehingga setiap model kebagian memperagakan dua baju.   Aku dan Indriya berjibaku mendandani para peragawati, mulai dari busana hingga hijabnya, tegang,asyik sekaligus seru sekali perjuangan kami di belakang panggung!






Busana muslim berbahan batik Bogor karya Indriya R Dani

Untungnya masih ada beberapa baju karya Indriya yang muat di tubuh para model, sehingga tujuan kami memperkenalkan batik Bogor di acara ini tercapai.

Para Peragawati

Lucunya, bukan saja busana yang kesempitan, tapi para peragawati itu ada yang terpaksa tak mengenakan sepatu karena kaki mereka tak muat! Hihihihi... Tapi tetap saja mereka melenggak-lenggok penuh percaya diri.  Mendapat hadiah tepuk tangan meriah dari para penonton, para peragawati makin sumringah, tampak jelas dari senyum yang mengembang di bibir mereka.

Aku dan Indriya,lega di ujung acara

Di akhir acara, aku dan Indriya tampil di panggung. Rasanya bahagia dan lega sekali sudah melaksanakan  tugas kami dengan lancar.

Tapi masih ada sebuah kejutan menyenangkan.  Seorang dosen setengah baya menghampiriku.

“Aku juga ingin di dandani. Aku ingin memakai busana muslim.” Ujarnya penuh harap.

Aku bingung karena seluruh busana muslim masih dikenakan para model, akhirnya aku ambil salah satu bajuku,  gamis dari bahan jumputan Palembang berwarna merah. Kudandani wanita itu. Untung   dia langsing hingga gamis itu muat ditubuhnya.

Tersenyum dalam balutan jumputan Palembang
Wanita  itu memeluk dan menciumku, mengucapkan terimakasih. Selanjutnya dia memamerkan penampilannya, disambut tepuk tangan dan seruan meriah para mahasiswa dan dosen yang hadir. Aku ikut tertawa senang melihat aksinya. Senang rasanya bisa membuat dia gembira.


Aku tersenyum-senyum sendiri melihat dua gadis bule cantik yang tak henti-henti berselfie ria mengagumi kecantikan diri mereka sendiri dalam balutan busana muslim.

Menurutku, busana muslim justru membuat kecantikan wanita yang mengenakannya makin bersinar.

Tomat Istimewa Anne dan Musik Jazz Live

Perjalanan kali ini sungguh mengesankan. Hari yang indah itu ditutup dengan undangan dari Anne.  Dia mengundang kami ke rumahnya yang terletak tak jauh dari rumah Teh Etin. 

“Kalian harus mencicipi tomat hasil kebunku. “Ujarnya antusias.

Aku merasa aneh. “Tomat sih  di Indonesia juga banyak.” Begitu pikirku.


The boy band

Alunan musik jazz terdengar sejak aku melangkah masuk rumah Anne. Aku berseru senang ketika menyadari musik itu ternyata di mainkan secara live oleh suami Anne dan teman-temannya. Wow...keren!
Aku berkenalan dengan personel “boy band” itu, kemudian larut dalam keasyikan menikmati musik mereka.

Jamuan Anne

Aku duduk   di meja makan bersama Indriya, Teh Etin dan Patrick White, seorang mahasiswa ganteng yang sejak siang menemani kegiatan kami.  Anne menghindangkan tomat kebanggaannya.  Aku mengambil sepotong daging tomat dari  piringku. Warnanya merah, tebal, dan tampak dagingnya berbutir halus. Ketika potongan daging tomat itu masuk mulut, barulah aku menyadari kalau ini adalah tomat ter-enak yang pernah kucicipi. Ini bukan tomat seperti di Indonesia. Rasanya cenderung manis, tidak asam. Dagingnya lembut, enak sekali. Oh, pantas saja Anne demikian bangga pada hasil kebunnya ini. Sayang sekali aku lupa memotret tomat lezat itu.


Kenangan manis terukir. Perjalanan ini sungguh membahagiakan. Aku  dan Indriya  bersyukur bisa berada di sini, merasakan suasana Hobart and William Smith Colleges yang nyaman. Berbincang dan bertukar pengalaman dengan para mahasiswa dan dosen, membuka wawasan kami lebih luas.  

Sekecil apapun yang kami lakukan, aku dan Indriya  berharap bahwa para mahasiswa non muslim di sini dapat melihat Islam sebagai ajaran penuh kedamaian. Kami berharap kesalah pahaman tentang Islam kian terkikis sehingga tak ada lagi perlakuan tak adil  terhadap muslim. Semoga....

17 komentar:

Aprie mengatakan...

Terharu bacanya, beneran. :(
Sekaligus iri. Pemandangannya kayak di buku-buku dongeng euy.

Ophi Ziadah mengatakan...

Seruuuu bgt pengalamannya mba iwed...
Perjalanannya pasti sngt mengesankan. Sy Yg baca aja smp terbawa aura keseruannya.
Thank sharingnya mba

Meutia rahmah mengatakan...

Perjalanan yg menyenangkan bisa berbagi tentang islam, tempatnya juga bagus mba, tulisannya keren salam kenal

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Aprie : Alhamdulillah... Iya disana memang indah

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Ophi Ziadah : sama2 Mbak..

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Meutia rahmah : terimakasih apresiasinya.. Salam kenal juga

Lidya mengatakan...

suka sama kampusnya mbak, pingin banget deh kalau sekolah lagi

Kornelius Ginting mengatakan...

wah.. perjalanan menjadi seorang blogger sudah membawa mba Juliana Dewi keluar dari Indonesia .. mengujungi belahan dunia lainnya dann berbagi tentang ilmu Hijabnya.. keren.. terima kasih sudah menginspirasi saya untuk tetap semangat ngeblog :)

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Lidya : enak banget ya kalo dapat beasiswa full buat sekolah di sana :-)

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@kornelius ginting : sama2... Semangaaat....!

TS mengatakan...

seru...

Unknown mengatakan...

Mbak Iwed.. Mbak Juliana Dewi yang selalu kece.. Masya Allah Luar Biasaaaaaa. Perjalanan yang sangaaaaat menakjubkan. Berbagi Islam sampai ke sana yaaaa. Ini benar-benar pengalaman yang mahal. Tidak bisa dibeli dengan uang.
Foto-fotonya juga kereeeeeen. Mendukung banget deh.

Semoga aku bisa mengikuti jejak mbak Iwed yaaaa..
Blogger n hijabers yang produktif

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@TS ; Thanks

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Ella Nurhayati : Aamiin... Terimakasih apresiasinya, Mbak Ella

Murtiyarini mengatakan...

Terhanyut dalam perjalanan yang mba Iwed lakukan. Pengalaman berharga ya mbak. Tfs

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Murtiyarini : sama2 Mbak Arin..

sutopo mengatakan...

Mantab sekali perjalannnya , nyimak dulu mbak hehe
salam kenal
sutopo blogger jogja