Sabtu, 10 Januari 2015

Waktu Bukan Milik Kita


 Melihat foto-foto yang diposting salah seorang sahabat yang sedang menjalankan ibadah haji dan umroh, hatiku diliputi rindu untuk kembali ke tanah suci. Tiba-tiba terlintas ingatan akan seorang sahabat masa kecil. Kenangan tentangnya  membuatku hatiku sesak oleh kesedihan.   

Sebut saja namanya Devika (  bukan nama asli). Pertama kali saling kenal, saat  masih pakai seragam putih merah. Aku anak baru, pindahan dari Bandar Lampung. Bagiku Palembang masih asing. Asing adatnya, asing bahasanya.  Aku perlu menyesuaikan diri beberapa waktu untuk bisa melebur dalam pergaulan di lingkunganku.



Diantara teman-teman yang selalu berbahasa Palembang, ada satu teman yang tampak istimewa di mataku. Dia bicara dalam bahasa Indonesia. Setidaknya aku merasa punya kesamaan dengannya.

Di mataku Devika istimewa. Pipinya halus, matanya bening , kulitnya putih bersih. Cantik. Saat berbincang dengannya aku merasa nyaman karena aku bisa mengerti semua ucapannya.

Seingatku berteman dengan Devi sangat menyenangkan. Kami bisa berbincang-bincang tentang banyak hal. Tapi dia  tak pernah bercerita tentang keluarganya

Suatu hari dia mengajakku main kerumahnya.  Kami berjalan berdampingan menyusuri jalan  beraspal yang makin lama makin menyempit. Lalu disebuah pertigaan, jalan aspal itu berganti rupa menjadi jalan setapak berbatu. Aku terlarut dalam obrolan asyik bersamanya. Entah berapa lama kami berjalan hingga sampai di sebuah tempat yang sepi. Ilalang tinggi di sisi kiri kanan jalan  dan suasana yang hening menyentakku.

“Bagaimana Devi bisa tinggal di tempat yang begitu sepi. Suasana di sini misterius.” Batinku.

“Itu rumahku.” Serunya.

Sebuah bangunan bergaya Belanda tampak di sisi kiri jalan. Ilalang tinggi tumbuh rapat di halamannya.  Bangunan itu berkesan dingin dan asing.  Di belakangnya tumbuh  pohon bambu tinggi menjulang dengan daun-daun yang berdesir di tiup angin. Di sekitarnya tak ada rumah lain. Rumah tetangga terdekat berjarak beberapa ratus meter. 

Seorang wanita cantik berambut sebahu tiba-tiba muncul di teras rumahnya. Wajahnya tanpa ekspresi menatap kami.

“Mama...” Ujar Devi.

“Masuk!” Sahut wanita yang dipanggilnya Mama. Wajahnya tak ramah. Dia hanya menyuruh Devi masuk, bukan aku. Aku mulai merasa tak nyaman.  Sepertinya kehadiranku tak dikehendaki.

“Maaf, Tante. Saya permisi pulang. “ Aku berusaha mengukir senyum di bibir, meski senyum itu tak berbalas.

Wanita itu bersikap dingin seperti aura rumahnya. Dia mengangguk, lalu membalikkan badan. Sekilas aku melihat raut kecewa di wajah Devi. Dia pun kemudian menghilang masuk ke rumah.

Keheningan menyergapku. Aku kini sendirian di depan sebuah rumah tua membisu,  dengan batang-batang bambu berdesir-desir dan ilalang tinggi .  Tiba-tiba   aku panik. Secepat kilat aku berlari dan terus berlari. Nafasku tersengal-sengal melintasi jalan  sepi yang seolah tak berujung. Aku terus berlari hingga sampai di simpang jalan berbatu. Ada beberapa orang disana, dan aku merasa lega.

Berada di depan rumah Devi seperti sejenak terdampar di negri antah berantah yang serba misterius. Berbagai pertanyaan menyeruak di benakku. Mengapa rumahnya berkesan dingin?  Mengapa sikap Mamanya tak ramah? Mengapa Devi tampak tegang dan takut?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak terjawab. Di perjumpaan selanjutnya Devi tak pernah mau membicarakan rumah, mama dan apapun tentang keluarganya.

Hingga suatu hari, salah seorang teman mengatakan Devi telah pindah. Aku agak kecewa karena Devi sama sekali tak memberi tahu aku, atau setidaknya berpamitan. Padahal aku merasa cukup akrab dengannya.

Kenangan tentang Devika,  teman masa kecil itu tersimpan lama sekali, lebih dari 25 tahun. Aku bahkan hampir lupa.

Tahun 2011 lalu, saat aku mudik ke Palembang. Pandanganku menangkap sebuah wajah berpipi halus, dengan mata bening berbinar dan rambut hitam sebahu tertata modis. Pemiliknya tengah sibuk memilih baju disebuah butik. Sesekali dia menempelkan  gaun di tubuh rampingnya, lalu memandang bayangan di cermin. Tak salah lagi, itu Devika. Dia makin cantik, jauh lebih cantik dibanding saat masih anak-anak dulu.

Aku agak ragu menegurnya. Takut dia lupa.

Tapi saat Devi tersadar ada sepasang mata tengah memperhatikan, dia menghentikan kesibukannya.  Si cantik itu menatapku.

Sejurus kemudian, kami menjadi pusat perhatian pengunjung butik akibat ulah  kami  berteriak-teriak kegirangan. Dia memelukku melepas rindu.

Aku bersyukur hari itu dipertemukan dengan teman masa kecil yang menyenangkan. Perbincangan kami berlanjut di sebuah caffe  cantik di sudut mall.

“Apa kabarmu? Rasanya tak percaya kita bisa bertemu lagi.” Seru Devika.

“Aku senang kau masih mengenaliku meski aku sudah berhijab. Kenapa dulu kau pindah tak bilang-bilang? Sopan sedikit kenapa sih!” Sungutku kesal.

Devika tertawa.

“Maaf... keadaanku waktu itu ...”Devika berhenti sejenak, menghela nafas.

“Aku sebenarnya malu. Aku punya mama tiri. Mama kandungku sudah meninggal karena kanker payudara. Hubunganku dengan mama tiri kurang harmonis. Kami sering ribut. Aku berusaha tahu diri, tapi tetap saja kami tak cocok. Kami pindah dulu itu juga karena keputusan Mama. Aku tak berdaya... Ayahku jarang pulang, dia pelaut. “Ucap Devi sendu.

Sedikit banyak ungkapan Devi telah menjawab beberapa pertanyaanku dulu.

“Sebenarnya Mama tiriku tidak jahat. Dia kaku, tegas  dan penuh aturan. Masih untung aku disekolahkan hingga tamat D3. “ Lanjut Devi.

“Ketidak cocokanku dengan Mama membuat aku ingin melepaskan diri.  Aku berharap bisa cepat dapat pekerjaan dan hidup mandiri, tapi ternyata malah jodoh yang datang duluan. Hahaha...” Wajah Devi berubah ceria. Bibirnya terus tersenyum saat kisah tentang suami dan anak-anaknya mengalir.

“Aku beruntung mendapat suami yang baik. Pintar cari duit. Dia juga mengajari aku berbisnis. Dan bisnisku juga lumayan sukses. Aku tak pernah kekurangan uang sejak menikah.” Ucapan Devika membuat hatiku turut bahagia. Lega rasanya mengetahui hidupnya kini sangat menyenangkan.

Kami  kembali terpekik girang saat mengetahui   sama-sama suka travelling. Devika malah sudah melanglang buana ke tempat-tempat yang masih dalam impianku, seperti Afrika Selatan dan Tibet. Bertukar kisah travelling membuat kami kian larut dalam obrolan seru.

“Kalau ke Arab Saudi sudah pernah?” Tanya Devika padaku.

“Sudah, waktu menunaikan ibadah haji tahun 2008. Memangnya dirimu belum pernah ke sana?”  Balasku.

Devika menggeleng.

Ada rasa heran menggelayut di benakku. Mengapa sudah berkeliling dunia kemana-mana, tapi menginjak rumah Allah dia belum pernah.

“Lho, kenapa Dev? Kau tak ingin menunaikan haji, atau umroh?”

“Ah, nanti saja. Tunggu usia 40 tahunan deh. Sekarang masih senang-senang dulu.” Devi terseyum sambil mengerling.

Aku baru saja akan melontarkan protes, tapi kata-kataku tercekat di tenggorokan, terkoyak dering telepon selular Devi.

“Dari suamiku.” Ujar Devi. Dia kemudian berbicara beberapa saat sambil melirik jam tangannnya. Setelah menutup telepon Devi memandangku.

“Tak terasa sudah 3 jam kita ngobrol. Sayang sekali aku harus pergi. Suamiku sudah menunggu. Ada urusan yang harus diselesaikan. “

Setelah Devi membayar makanan, kami menutup pertemuan dengan pelukan hangat. Hari itu sungguh menyenangkan. Devi memberi aku kartu namanya. Sayang sungguh sayang, karena kecerobohanku kartu nama itu hilang sebelum aku sempat mencatat alamat dan nomor teleponnya. Dan satu hal lagi, aku bahkan lupa berfoto bersama Devika. Bodohnya aku!

Di pertengahan 2013, aku menyambung kembali tali silaturrahmi lewat blackberry messenger dengan salah seorang tetangga saat masih tinggal di Palembang, teman masa kecilku juga. Setelah bertukar kabar, kami saling memberi informasi tentang teman-teman lama.

“Masih ingat Devika? Aku dapat kabar dari saudaranya, dia meninggal dua minggu yang lalu. Sakit kanker payudara katanya.”

Jantungku terasa berhenti berdetak membaca pesan  BBM itu.

Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Rasanya tak percaya!

Tak kuasa aku menahan air mata mengenang pertemuan dengan Devika yang ternyata adalah pertemuan terakhir. Aku bersyukur masih sempat menuntaskan rindu selama 3 jam,  berbagi kisah, tertawa bersama, dan memeluknya. Satu hal yang sangat aku sayangkan, Devika belum sempat menunaikan ibadah haji.  Dan aku sungguh menyesal, mengapa waktu itu tak sempat memberi nasehat agar dia  menyegerakan  ibadah haji.

Belum genap  40 tahun usianya kala maut menjemput. Devika sahabat kecilku, semoga Allah SWT mencatat niatmu untuk menunaikan ibadah haji, meski niat itu belum kesampaian. Semoga Allah menerima semua amal ibadah dan memberimu tempat yang indah di sisiNya.


Kupetik sebuah pelajaran berharga. Segerakan berhaji bagi  yang sudah mampu, jangan  sekali-kali menunda. Kita tak pernah tahu kapan waktu akan berakhir. Segeralah mendaftar untuk menyempurnakan niat itu, meskipun antrian ibadah haji saat ini sangat panjang. Menunda melakukan  kewajiban saat telah diberi kemampuan adalah sebuah kesalahan.

 Jangan menunda, karena waktu bukan milik kita...

8 komentar:

Nan Djabar mengatakan...

Setujuuu jgn menunda...kita tdk pernah tau kpn ajal menjemput..... critanya bikin aku merinding

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@nani djabar :sedih ya..hiks..

Rebellina Santy mengatakan...

aku jadi teringat kisahku sendiri, yang setiap kali mengingatnya akan membuat air matamenggenang. Tahun 2000, aku sudah daftar haji, bayar sudah lunas, walau belum jelas kapan akan berangkat mengingat daftar tunggu tahu sendiri.

Namun, beberapa bulan kemudian meragu mulai merasuki pikiranku. Aku takut sekali hartaku tidak halal dan berkah, karena saat itu aku mula belajar kembali agamaku. saking takutnya, aku menarik kembali niatku naik haji dengan membatalkan pembayaran tersebut. Aku tidak tahu, apakah keputusanku tu salah atau benar. Hanya tak berhenti berharap, semoga Allah memperkenanku mengunjungi rumahnya, kali ini dnegan kayakinan biayanya datang dari yang halal dan berkah, serta ke sana bareng keluarga. Amiin. Maaf ya, jadinya ikutan curhat :)

mutia ohorella mengatakan...

Masya Allah... kesempatan,rejeki,sehat, dan waktu milik Allah, sayang ya mak...bila tidak cepat kita pakai untuk berkunjung ke bait /rumah sang pemilik...

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@Rebellina Santy : Aamiin... Semoga diijabahNya. Semoga Allah memudahkan dirimu dan keluarga menunaikan ibadah haji....

Juliana Dewi Kartikawati mengatakan...

@mutia ohorella : betul Mak... Prioritaskan ke rumah Allah dulu bagi muslim yang sudah mampu, baru urusan yg lain. Terimakasih sudah berkunjung :-)

thechosen mengatakan...

Cerita yg indah dan lgs menusuk ke hati..khas gaya iwed...thanks dear..you should share it in any wa group you have...reminding everyone..that they have five pilars to be completed in their life in order to be a good moslem..

thechosen mengatakan...

Cerita yg indah dan lgs menusuk ke hati..khas gaya iwed...thanks dear..you should share it in any wa group you have...reminding everyone..that they have five pilars to be completed in their life in order to be a good moslem..