Sabtu, 24 Januari 2015

Kata Adalah Doa


Saat itu tahun 2005. Aku dan suamiku, si Akang, menikmati pagi yang cerah sambil menatap kecantikan Pagar Alam. Pagar Alam adalah sebuah wilayah dataran tinggi  di propinsi Sumatera Selatan yang berjarak 298 km dari kota Palembang.   Cantiknya Pagar Alam berwujud  kebun teh hijau terbentang dengan latar gunung Dempo yang berselaput  kabut tipis.  Vila-vila cantik bergaya tradisional  demikian serasi dengan alam. Kecantikan yang  membuai mata. Kami diam terbius indahnya alam.





“Enak ya, Neng kalau kita punya rumah dekat gunung seperti ini. Akang suka pemandangan gunung. Tapi kapan bisa tinggal di dekat gunung? Kalau kita tinggal di sini, ya tidak mungkin. Tempat ini terlalu jauh dari lokasi kerja Akang. Kemungkinan lain kita bisa bangun rumah di Kuningan Jawa Barat, di kaki gunung Ciremai kampungnya Babe. Tapi itu juga jauh dari lokasi kerja. Repot kalau kita paksakan  “

“Neng juga suka alam pegunungan. Sejuk. Bikin hati tentram. Mungkin kita harus panjang sabar. Kemungkinan kalau Akang sudah pensiun baru kita bisa tinggal dekat gunung. Lucu ya. Kita akan seperti tokoh  dalam cerita anak-anak. Sepasang kakek-nenek yang tinggal di kaki gunung. “ Sahutku sambil terkekeh.  

Perkiraan manusia   tak sejalan dengan skenario Tuhan. Itu karena manusia tak mampu menyibak misteri kehendakNya.

Tahun 2007, keadaan di perusahaan tempat suami bekerja mulai tak nyaman.  Akang merasa sulit menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan hati nuraninya. Dia ingin suasana kerja  baru yang lebih nyaman dan banyak tantangan. Hingga tahun 2008 setelah melalui rangkaian doa dan pertimbangan panjang, dia memutuskan untuk meninggalkan perusahaan itu di saat kariernya kian meroket.  Apa boleh buat, hati nurani tak bisa dipungkiri. Di saat genting, sebuah tawaran untuk pindah ke perusahaan lain menghampirinya. Sungguh pertolonganNya hadir di saat yang  tepat.

Meskipun perusahaan yang lama berusaha menahannya, tapi keputusan telah diambil. Akang hijrah ke perusahaan baru, yang juga bergerak dibidang minyak dan gas bumi.

“Kami beri waktu satu tahun. Tahun 2009 keluarga Pak Sutedja sudah harus bertempat tinggal di Jabodetabek. Tidak boleh diluar itu. “ Demikianlah ketentuan  dari perusahaan yang baru.

Setelah menunaikan ibadah haji tahun 2008, kami harus bergegas pindah dari Palembang ke wilayah Jabodetabek.

Selanjutnya, kami seperti setrikaan. Bolak-balik dari Palembang menelusuri Jakarta, Bintaro, Bumi Serpong Damai, Cibubur dan wilayah lain yang kira-kira nyaman untuk ditinggali.  Di saat waktu kian menyempit, penelusuran kami tiba di Bogor.

Salah seorang teman Akang menyarankan kami melihat sebuah perumahan di Bogor. Ketika akhirnya aku bisa mengunjungi tempat itu, aku langsung suka. Udara Bogor sejuk dan orang-orangnya ramah. Lalu mulailah pencarian kami berburu rumah di Bogor.

Satu hari tersisa dari batas akhir kunjungan kami ke Bogor. Aku sudah mulai putus asa. Tak mudah mencari rumah yang tepat.  Mencari rumah ibarat mencari jodoh. Harus ada  chemistry yang terbangun antara kami dengan rumah idaman itu. 

Hingga sore menjelang maghrib, kami tiba di depan sebuah rumah. Penampilan rumah itu membuat aku ragu. Ini masalah  kemampuan kami membelinya. Jangan-jangan kami tak sanggup membayar harga rumah ini.

“Coba saja tanya, siapa tahu harganya masuk akal.” Nada suara Akang terdengar tak yakin.

Jatuh cinta. Itulah ternyata chemistry yang terbangun antara aku dan rumah itu. Hati nyaman dan tentram berada di dalamnya.  Harga rumah itu pun ternyata masih  masuk akal, masih terjangkau dalam perhitunganku.

Malam itu aku tak bisa tidur. Kelakuanku persis anak muda  yang sedang jatuh cinta. Setiap sudut rumah itu terbayang-bayang sepanjang malam.  Rasanya aku akan merana bila tak bisa memilikinya.

Rencana pun disusun.  Dengan uang tabunganku ditambah menjual salah satu rumah di Palembang kami bisa membayar harga rumah idaman itu. Rumah di Palembang  sudah akan dibeli orang. Orang itu bahkan  sudah membayar uang muka sejumlah 100 juta rupiah.  Tampaknya semua akan berjalan lancar dan mudah.

 Tapi perjuangan meraih rumah idaman tak semudah itu. Tiba-tiba orang yang berniat membeli rumah di Palembang mengurungkan niatnya. Aku dan Akang tak sampai hati memotong uang yang telah ditransfer ke rekeningku. Kemudian kami mengembalikan semua uang muka itu.

Kini kami menghadapi masalah besar. Tak jadi menjual rumah artinya kami kekurangan dana untuk membayar rumah idaman. Jumlah kekurangan itu tidak sedikit. Mau bagaimana? Pinjam di bank? Pinjam ke teman-teman? Tak semudah itu meminjam uang dalam jumlah besar. Kalau pinjam ke bank kami bakal terkena bunga bank yang memberatkan.

Hatiku pedih. Cintaku pada  rumah idaman di Bogor  tampaknya harus layu sebelum berkembang. Aku tak tega memaksa Akang meneruskan rencana membeli rumah itu. Kenyataan pahit yang harus kutelan adalah kami tak sanggup membayar. Titik. Solusinya adalah mencari rumah lain yang harganya lebih murah.

Siang itu setelah meeting di kantornya, salah seorang atasan Akang menanyakan kesiapan kami pindah.
“Bagaimana, Pak? Kapan akan pindah ke Jabodetabek? Sudah dapat rumahnya? “ Tanya sang atasan.
Mulanya Akang ragu mengutarakan permasalahan kami, tapi sang atasan meyakinkannya. Akhirnya mengalirlah curhat Akang.

“Oh, begitu masalahnya. Baiklah, saya usahakan nanti Pak Sutedja  mendapat pinjaman  tanpa bunga dari perusahaan melalui program kepemilikan rumah. Saya usahakan secepatnya. “

Kata-kata sang atasan bagaikan oase di padang tandus.  Seperti sebuah keajaiban. Bagaimana tak takjub, Akang baru saja diterima di perusahaan itu. Baru beberapa bulan. Padahal kalau merunut dari peraturan setidaknya karyawan baru bisa memperoleh pinjaman kepemilikan rumah setelah bekerja selama beberapa tahun.  Masya Allah...

Alhamdulillah... akhirnya semua bisa berjalan lancar. Bulan Februari 2009, rumah itu resmi menjadi milik kami.

Mataku basah. Hatiku  dibanjiri rasa syukur tiada tara  kala menatap pemandangan melalui balkon rumah idamanku. Ingatanku kembali pada untaian kata yang terucap di tahun 2005, di kaki gunung Dempo Pagar Alam.


 “Nggak nyangka ya, Neng... Ternyata ucapan Akang diijabahNya. Empat tahun saja jarak waktunya. Dia bukan saja mengabulkan harapan kita ingin tinggal di dekat gunung, tapi Dia juga memilihkan lokasi yang tepat buat kita. Bukan di Pagar Alam, bukan juga di Kuningan. Tapi di sini, di kaki gunung Salak di Bogor. Jarak yang tak terlalu jauh untuk di jangkau dari kantor Akang di Jakarta.  “ Ucap Akang penuh haru.

Ya Allah. Ternyata kata adalah doa. Dan doa itu diijabahNya. Tiada yang tak mungkin bila Dia membukakan jalan.


Sebuah kata bijak memenuhi relung pikiranku. “ Berdoalah! Bukan hanya untuk hajat kita dipenuhi, tetapi karena banyak yang perlu kita syukuri.”

Kata adalah doa, bisa terwujud karena kemurahanNya. Mari kita berkata-kata yang baik, sehingga yang terwujud adalah hal-hal yang baik.


Tidak ada komentar: