Jumat, 28 November 2014

Dermaga Coklat


Mata Reva berbinar-binar. Senyumnya mengembang ceria seolah dialah makhluk paling bahagia di dunia. Sambil duduk di bangku besi, tatapannya menebar memandang langit biru cerah berhias gumpalan putih berarak bagai kapas  lembut.  Deretan pepohonan hijau seolah memagari rumah- rumah cantik  yang berjejer di seberang sana. Sebuah kubah bertabur keramik biru dengan tiga menara langsing  berujung lancip  mencuat di atas rimbun pepohonan. Tiga angsa yang berenang-renang di tengah danau  seolah  bintang utama pada  layar indah yang terbentang di hadapan gadis itu, padahal tidak demikian.

Pusat perhatian Reva bukan pada tiga unggas cantik berbulu putih , tapi pada sebuah dermaga mini sepi membisu di seberang sana . Dermaga kayu bercat coklat   bergaya  minimalis itu berpagar  batang-batang kayu yang tersusun  vertikal.  Dua buah tiang  berwarna senada seolah tertancap kokoh di lantai dermaga.

“Indah sekali. Aku suka tempat ini, Raka.  Ah, aku lapar. “ Desah Reva.

Raka merasa hatinya kelu. Ucapan Reva yang bernada riang itu justru menusuk kalbunya. Dia bangkit menghampiri kakaknya, mengangsurkan sebuah wadah plastik segi empat berisi roti dan kue-kue. Reva menerima wadah itu, dan memakan isinya.

Raka kembali duduk agak jauh dari  sang kakak.

“Sebentar lagi dia datang, Raka. Dia pasti datang. “ Reva berucap lirih.

“Tentu saja.” Balas Raka. Matanya mengawasi wajah Reva dengan perasaan campuk aduk.

“Kau tahu, Raka. Dion sangat mencintaiku. Kemarin dia menulis surat cinta yang indah sekali. Apa kau ingin membacanya?” Tanya Reva. Jemari kurusnya bergerak merogoh-rogoh saku mantel merah jambu lalu mengeluarkan sebentuk kertas kumal yang terlipat.

“Tidak. Kau saja.” Ucap Raka pendek.

Reva tersenyum.

“Baiklah.”

Gadis itu membuka lipatan surat dengan riang. Kepalanya menunduk menekuri deretan huruf yang ditulis dengan tinta hitam.

Dion, pemuda tampan pujaan hatinya , sangat pandai merangkai kata-kata indah yang membuai hati. Surat cintanya seakan membawa Reva pada dunia bertabur bunga.

Raka melihat pipi Reva bersemu merah. Sesaat kemudian gadis itu tersenyum. Senyum yang makin mengembang  kemudian  berubah menjadi airmata haru.

“Aku sungguh beruntung, Raka. Dion benar-benar mencintaiku.” Gadis itu terisak-isak, mengusap butiran hangat  yang tergenang di  sudut – sudut matanya. Mata bening  yang sudah mulai diwarnai keriput.

 Lalu dia membalik lipatan kertas, membaca lembar kedua surat itu. Kini sang gadis terkekeh-kekeh.

“Oh, Dion... kamu lucu sekali.” Reva berkomentar sambil meneruskan menekuri kertas kumal di tangannya.

Dada Raka bergemuruh. Dia terus  menatap Kakaknya. Raka sudah hafal adegan terakhir prosesi pembacaan surat cinta itu. Yaitu ketika Reva mendekapkan lembaran kertas  di dadanya sambil menatap lurus ke dermaga kayu jauh di sana.

“Itu dia! Dia datang Raka! Dia datang!” Seru Reva gembira. Gadis itu berdiri.  Dia melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat kepada seorang laki-laki muda bertubuh tinggi atletis yang berdiri di dermaga kayu coklat.

Seluruh semangat hidup dan kebahagiaan seolah merasuki sekujur tubuh Reva. Gadis itu menatap pemuda gagah di sana dengan mata berbinar. Lalu dia kembali duduk, senyumnya terus mengembang. Lama sekali, hingga langit meredup.

Raka menahan gejolak perasaannya. Sudah ratusan kali hal ini dialaminya, tapi rasa itu tetap sama. Getir.

“Dia harus pulang, Raka. Kalau tidak, semua bisa kacau. Kau tahu  bagaimana ayah dan ibunya, kan?” Reva terus menatap pemuda tinggi yang menyemai cinta dihatinya, hingga gelap menelan bayangan pemuda itu.

“Dia sudah pulang, Raka. Tak apalah. Aku bahagia, dia datang. Artinya dia sungguh mencintaiku.” Ucap Reva.

Raka mengangguk.

“Ayo kita pulang, Kakak. “ Raka menghampiri Reva, membimbingnya perlahan menyusuri jalan setapak menuju mobil yang diparkir agak jauh di pinggir jalan raya.

Jalan setapak itu gelap, tapi tak apa.Setelah ini mereka akan berbelok  ke kiri. Raka sudah hafal di luar kepala. Sudah bertahun-tahun dia menemani Reva ke tempat itu.

Meskipun keadaan telah banyak berubah, tapi jalur jalan setapak menuju danau buatan masih tetap sama seperti 9 tahun lalu, ketika dia menemani Reva menemui Dion.

Cinta Dion dan Reva begitu indah, dan Rakalah saksinya.  Dengan setia, Raka selalu menemani Reva dalam setiap kesempatan bertemu Dion. Sayang sekali orang tua Dion membenci Reva. Mereka mendera Dion dengan keras, melarangnya menemui Reva.

Tak heran mengapa hubungan Dion dan Reva terhalang dinding yang tinggi, karena setinggi itu pulalah perbedaan status ekonomi mereka. 

Orang tua Dion pemilik kerajaan kecil di seberang danau buatan itu. Kerajaan kecil  mereka dimotori sebuah pabrik  yang menjadi  “pencetak uang” bagi keluarga Dion. Rumah-rumah cantik yang berjejer di belakang rimbunnya pohon di tepi danau tak lain adalah rumah-rumah karyawan yang bekerja di pabrik milik orang tua Dion.

Sementara Reva dan Raka, hanyalah dua bersaudara yatim piatu yang berusaha berdiri tegak di kaki sendiri. Mereka mewarisi sebuah rumah tua dan mobil sedan bobrok yang mesinnya sering ngadat. Mereka bukan siapa-siapa. Masih untung Raka memiliki pekerjaan yang membuatnya mampu menopang hidupnya dan Reva.

Suatu hari, 9 tahun yang lalu, Dion tak lagi  mampu menahan hasratnya . Ia bertekad menikahi Reva meskipun harus menentang orang tuanya. Dion membawa Reva melaju ke luar kota, menuju rumah paman Dion yang bersedia membantu proses pernikahan mereka.

Skenario Tuhan berkehendak lain. Sebelum tiba di tempat tujuan, sebuah truk tangki menghantam mobil Dion, menewaskannya seketika. Sementara Reva yang duduk di sebelah Dion tidak mengalami luka  berarti di tubuhnya. Tubuh Reva memang baik-baik saja tapi luka parah justru mengoyak jiwanya, merubah warna kehidupan gadis cantik itu menjadi gelap.

Berbulan-bulan Reva hanya  diam, seperti mayat hidup. Jiwanya seolah tercabut dari tubuh. Reva pernah menjadi penghuni sebuah rumah sakit jiwa, tapi akhirnya Raka membawanya kembali pulang. Rumah sakit jiwa itu tak memberi solusi apa pun untuk kesembuhan Reva.

Raka merawat kakaknya dengan penuh cinta. Di dunia ini hanya Reva satu-satunya saudara Raka .  Demi Reva, Raka rela menunda harapannya  menikah dan membangun sebuah keluarga. Tak mudah  menemukan seorang wanita  tulus  yang mau menerima  dirinya, dan merawat kakak ipar yang sakit jiwa.

Kematian Dion seolah menjadi pemicu kehancuran bagi banyak orang. Bukan cuma Reva, tapi orang tua Dion dan kerajaan kecilnya pun ikut runtuh. Raka tak mengerti apa sebabnya, tak lama setelah kematian pemuda itu, pabrik milik keluarga Dion tutup. Kabar yang  tersebar di media setempat menyebutkan keluarga besar Dion terlibat sengketa tanah. Sengketa itu berlarut-larut tak kunjung mencapai penyelesaian hingga detik ini.

Lalu semua berubah. Pabrik yang tutup itu merenggut  denyut nadi  kehidupan kompleks perumahan megah di seberang danau. Karyawan-karyawan kehilangan pekerjaan, sekaligus tempat tinggal nyaman yang selama ini menaungi mereka. Ayah Dion wafat, dan Ibundanya pindah dari istana berkubah biru dengan 3  menara berujung lancip itu, entah kemana.

Raka  melihat  betapa tempat indah saksi bisu kisah cinta Reva dan Dion  kini telah berubah wujud. Tahun berganti tahun. Danau itu kini berair keruh, bau dan penuh sampah. Pohon-pohon yang tumbuh mengitari danau  tertutup semak belukar. Rumah-tumah cantik yang berjejer berganti wajah, bobrok tak terurus. Bangunan megah berkubah biru  dengan tiga menara berujung lancip kini menyerupai istana hantu. Dermaga kayu coklat di sana, tempat biasanya Dion berdiri menatap Reva, kini tak kalah menyedihkan. Kayu-kayunya lapuk, lantai bolong di sana-sini, dan tiang –tiang yang dulu kokoh telah doyong, sekarat, hampir ambruk. Dan angsa putih itu sejak bertahun lalu tak pernah tampak berenang di sana.

Hal inilah yang menohok jiwanya. Bagaimana hatinya tak kelu, ketika Reva berkata bahwa tempat itu indah. Salahkah bila Raka sering membawa Reva ke tempat ini, padahal dia tahu bahwa mata, hati dan jiwa Reva berada dalam dunianya sendiri. Dunia yang tak sama dengan kenyataan.

Salahkah bila tujuannya membawa kakaknya kesini  karena ingin mengobati kerinduannya pada sosok Reva yang dulu, yang ceria, ekspresif dan bahagia.

Reva hanya bisa menjadi “makhluk hidup” beberapa jam saja  saat  Raka membawanya ke tempat itu. Rangkaian adegan selalu sama dari tahun ke tahun, seperti film singkat yang diputar berulang-ulang, ratusan kali.

Raka pun seperti terjebak lingkaran statis yang tak berujung. Bila rindu pada Reva mendatangkan sesak yang tak mampu lagi ditahan, dia akan melakukan hal yang sama.

Raka memakaikan mantel merah jambu di tubuh Reva, menyelipkan surat cinta lusuh peninggalan Dion ke saku mantel itu, lalu membawa wadah plastik berisi kue-kue dan roti kesukaan Reva. Selanjutnya dia menuntun gadis yang mirip mayat hidup itu menuju danau buatan. Raka seperti menyaksikan  jiwa sang mayat yang terikat di dermaga coklat kembali merasuki tubuh. Sejenak dia melihat Reva yang hidup, yang merasa lapar, yang tersenyum, berkata-kata, menangis, terkekeh, melonjak gembira, dan berbinar-binar menatap pemuda pujaannya. Hanya beberapa jam saja. Setelah mentari tenggelam, sang jiwa akan kembali meninggalkan raga.

Raka membuka pintu mobil, menuntun Reva duduk di jok sedan tua miliknya. Gadis itu diam, menatap lurus ke depan. Ekspresinya datar. Ketika Raka telah siap dibelakang kemudi, dia menoleh memandang wajah kakaknya dengan sayang. Raka beringsut memeluk tubuh kurus Reva.

“Kakak, kapan kakak sembuh? Aku rindu Kakak...” Bisik Raka pilu.

Reva tak bereaksi. Dia telah kembali menjadi mayat hidup, terbelenggu dalam dunianya sendiri.


Jiwanya tertinggal  dan terikat erat bersama bayangan Dion di dermaga coklat yang hampir ambruk..

1 komentar:

Fanny f nila mengatakan...

Sedih bacanyaaa.. :( kebayang kalo sodara kandung kita yg mengalami hal ini mba.. Suka cerpennya :). Bikin aku kebawa perasaan juga bacanya :)