Minggu, 06 Juli 2014

Balada Penerimaan Peserta Didik 2014


“Dea pengen sekolah di SMP 1 Bogor, Ma!” Ucap anak keduaku  dengan riang usai pengumuman kelulusan SD dan pembagian NEM. Dea memperoleh nilai NEM 28,35.

“Ya, mudah-mudahan diterima.  Dea harus siap dengan segala kemungkinan ya. Sekolah itu kan  favourite, Nak. Semua anak-anak yang berprestasi dan terpandai di Bogor rata-rata ingin masuk ke sekolah itu. Jadi saingan Dea banyak lho. “ Sahutku tanpa bermaksud memadamkan semangatnya.

“Dea yakin bisa. Kita coba ya, Ma!” Dea tampak begitu mantap dengan pilihannya, sehingga hari itu juga aku langsung mengisi formulir pilihan sekolah. Pilihan pertama SMP 1, pilihan kedua SMP 3 dan pilihan ketiga SMP 7.

Formulir itu langsung dikumpulkan ke wali kelas Dea, karena pendaftaran dikoordinir secara kolektif dari sekolah Dea.

Beberapa hari kemudian, aku mendapat sms dari guru Dea yang memberitahukan nomor pendaftaran dan password untuk melihat proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara online.

Sejak hari itu, Dea betah berlama-lama memantau proses PPDB SMP 1. Hatinya riang ketika namanya sudah masuk dalam daftar “Diterima Sementara” di sekolah itu.  Dalam sehari, dia bisa login berkali-kali di website PPDB Online. Tiap kali membuka website itu dia selalu melaporkan perkembangannya.

“Ma, Dea tadinya di urutan 84, sekarangn turun di urutan 94 dari jumlah quota 256. Masih aman, Ma.. Tenaaang...!” Seru Dea.

Aku hanya terseyum-senyum saja melihat tingkahnya.

Keesokan harinya dia menunjukkan layar laptop yang tengah menampilan daftar dengan formasi yang  telah berubah.

“Waduh, Ma. Saingan Dea berat banget. Coba lihat. Ini ada yang jumlah nilainya sampai 41-an!”  Teriaknya.
Aku kaget, kok bisa sampai segitu tinggi nilainya?  Bukankah hanya 3 mata pelajaran yang diujikan di ujian nasional. Kalau semua soal dapat dijawab dengan benar, berarti nilai maksimal yang dapat dicapai adalah 30, atau masing-masing bernilai 10 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA.

Ternyata pendaftar dengan nilai total 41-an itu selain NEM-nya tinggi, yaitu 29-an, ditambah dengan nilai prestasi yang mencapai belasan sehingga totalnya mencapai 41-an.

Jumlah pendaftar yang memiliki prestasi ternyata sangat banyak. Meskipun ada yang NEM-nya 26-an tapi  karena memiliki nilai prestasi maka  sukses mendongkrak rangking total perolehan nilai.

Posisi Dea makin turun, ke urutan 107 lalu ke 122. Aku melihat wajah Dea mulai cemas, apalagi dia melihat  beberapa teman  sekolahnya mulai tersingkir dari daftar.

Hari berlalu, masa pendaftaran mendekati penutupan. Drama yang berlangsung makin seru dan mendebarkan. Dea tampak cemas melihat posisinya makin melorot.

“Katanya sudah penutupan, tapi kok masih berubah terus posisinya? Dea sudah di urutan 144 nih, Ma. Gimana dong...” Ujarnya cemas. Mau tak mau kecemasannya pun mempengaruhi aku. Sebagai Ibu aku bisa merasakan kepanikannya.

“Dea, sabar saja. Kalau memang sekolah itu rezeki Dea, pasti Dea bisa masuk.” Aku berusaha setenang mungkin mengucapkannya, padahal cemasku pun memuncak.

Sebenarnya bagiku tak masalah kalau Dea tak sekolah di SMP 1, karena sebenarnya aku lebih suka Dea sekolah di SMP swasta Islam. Tapi melihat tekad dan keinginannya yang besar, aku jadi tak tega dan ikut terbawa perasaan galau Dea.

Pagi  itu Dea lagi-lagi menghampiriku dengan laporan terbarunya.

“ Ma, coba lihat. Ada kabar buruk. Beredar berita ada orang yang membeli jalur prestasi supaya bisa masuk sekolah pilihannya. Gawat, Ma! Yang jujur bisa tersingkir dong kalau begitu. “ Kata Dea berapi-api.

“Ya, biar saja kalau ada orang yang menempuh jalur itu, Nak. Tidak akan berkah buat dia. “ Kataku menenangkan.

“Tapi kan gak adil, Ma. Aduh, Dea menyesal. Kenapalah dulu tidak mau ikut macam-macam lomba. Jadi Dea nggak ada nilai prestasinya, hanya mengandalkan NEM saja. “ Wajah Dea tampak tegang.

“ Kita lihat saja prosesnya, sambil berdoa ya, Nak. Kalau tidak masuk juga kan bisa ke sekolah pilihan kedua. “

“Tapi Dea mau sekolah di SMP 1. Bagaimana supaya masuk, Ma?” Bibir Dea mengerucut, tampangnya terlihat rusuh.

“Satu-satunya yang bisa dilakukan cuma berdoa. Yang rajin ya shalat tahajjudnya, dan ditambah shalat dhuha. Telpon Nenek dan Kakek, minta bantu di doakan. “ Usulku.

“ Iya, Ma.” Dea pun beranjak ke kamar mandi untuk wudhu dan shalat dhuha.
---------------------

Sore itu , setelah berbelanja kebutuhan untuk buka puasa, aku melangkah masuk ke rumah. Di sofa ruang keluarga aku melihat Dea terduduk lemas, wajahnya pucat.

“Dea sakit?” Tanyaku sambil memegang dahinya. Tidak terasa panas.

“Mama, posisi Dea makin melorot. Sekarang di urutan 232. Dea takut tersingkir, Ma. “ Suara Dea terdengar lirih.

Hatiku  ikut sedih melihat kecemasan Dea.

“Sabarlah, Nak.  Memang yang berminat  menjadi siswa sekolah itu adalah mereka yang terbaik dan berprestasi. Dea harus siap terima kalau kalah bersaing, tapi juga sebelum ada keputusan akhir harus tetap yakin. Kalau itu rezeki Dea, tak akan ada yang bisa menghalangi. “ Aku berkata perlahan, mencoba menentramkan hatinya.

Selama  dua hari, posisi Dea berubah-ubah. Kadang naik menjadi 230, lalu turun kembali ke 232.  Puncak ketegangan terjadi dua hari sebelum pengumuman akhir.

“ Ya Allah, Ma...posisi Dea melorot lagi ke 244. Kawan-kawan Dea makin banyak yang tersingkir. Dea mesti bagaimana? “ Dea makin uring-uringan.

Kali ini aku tak bicara apa-apa, hanya membelai rambutnya sambil menyembunyikan kecemasanku yang  kian membuncah.

Dua hari kemudian, tanggal 5 Juli,  website itu  tak dapat diakses. Dea panik. Berkali-kali dia mencoba tapi tak bisa.

“ Harusnya jam 14 sudah ada hasil akhirnya, Ma. Dea pengen tahu hasilnya.”

“Mungkin masih di update, Nak. Nanti malam saja kita lihat lagi. Sekarang kita bikin makanan untuk buka puasa, yuk!” Ujarku. Aku pikir, kalau Dea punya kesibukan, pikirannya bisa beralih sehingga tak terus menerus merasa cemas.

Malam itu, usai  shalat tarawih, Dea langsung membuka website PPDB online. 

“Mama, sudah ada pengumumannya. Dea berhasil! Dea sekarang murid SMP 1! Horeee! Alhamdulillah...” Serunya. Wajah Dea berseri-seri. Sirnalah sudah semua ketegangan yang berhari-hari membuatnya galau.

“Syukurlah, Dea. Ingat ya, Dea harus rajin belajar. Kalau perlu lebih rajin dari teman-teman Dea. Dea tahu kan, teman-teman Dea di sekolah itu anak-anak unggulan. Kalau Dea malas belajar, Dea pasti ketinggalan jauh dari mereka.  Mama mendukung dan mendoakan, mudah-mudahan ini sekolah yang terbaik buat Dea. Dan semoga sukses ya, Nak..” Hatiku pun lega bukan kepalang.


Senangnya melihat anakku berhasil  mencapai keinginanya. Alhamdulillah..

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Senang rasanya melihat antusias adik kelas untuk masuk sekolah dengan pendaftaran online yang memang cukup menyulitkan dan membuat berdebar-debar. Banyak adik kelas yang mau masuk SMP rasanya pengin cepet-cepet pendaftaran ditutup, takut kalau-kalau dia malah tersingkir. Hehe, selamat ya Dea bisa jadi anak putih biru :D

Juliana Dewi K mengatakan...

@Asy-syifaa halimatu Sadiah. Terimakasih ucapan dan supportnya...Sebenarnya proses secara on-line ini tidak menyulitkan, malah lebih transparan karena bisa diakses semua pendaftar
Cuma jadinya seru, emosi turun naik dan bikin uring2an berhari-hari menunggu hasilnya. Hehehe...Terimakasih sudah mampir ya

Unknown mengatakan...

Mungkin bagi beberapa orangtua yang *maaf* kurang melek teknologi, mereka menganggapnya sulit, setahu saya ketika ada orangtua siswa yang mau daftar ke SMA. Apalagi, kalau pihak sekolah asalnya nggak pakai sistem kolektif, jadilah orangtua harus bingung sendiri mengisi form online.

Nah itu Mak, adik-adik saya yang mau daftar juga jadi nggak sabaran, takut namanya nggak ada. Hihi... pasti berdebar-debar deh untuk angkatan tahun sekarang, selamat ya Mak :)