Minggu, 29 Juni 2014

Hikmah Berhijab


"Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin "Hendaklah mereka mengulurkan hijab  keseluruh tubuh mereka" yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.".(al ahzab:59)


Membaca ayat Al Qur’an itu sama sekali tak membuat hatiku tentram. Aku malah galau bukan kepalang. Bagaimana mungkin aku berhijab sedangkan aku suka menari. Aku kan ingin jadi penari profesional, manalah mungkin menari dengan memakai hijab. Aku bisa dapat honor yang lumayan dengan menari di acara-acara pernikahan dan lain-lain. Aku akan terus menari kalau perlu sampai ke luar negri membawa misi kebudayaan, mengharumkan nama Indonesia.  Jadi aku tidak akan berhijab!! Tegas suara hatiku. Tapi masalahnya, sisi lain hatiku meneriakkan protes berat. Bagaimana mungkin kebenaran Al Qur’an ku ingkari? Memangnya siapa sih aku ini berani-beraninya berpaling dari petunjukNya?

Kegalauan itu timbul tenggelam, bertahun-tahun kumat dan reda bagai penyakit kronis dalam hatiku. Hingga suatu hari saat aku sudah menjadi mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negri. Aku tengah berada di atas panggung dalam  latihan menari tahap akhir untuk mengikuti sebuah festival tari mahasiswa tingkat nasional. Aku seharusnya bangga sudah terpilih  dan lulus dalam audisi yang diikuti ratusan orang.  Namun tiba-tiba di atas panggung itu penyakit galauku kumat lagi. Kali ini ke tingkat yang paling   parah, sisi lain hatiku menyerangku dengan keji. “ Kau pikir kau hebat dengan menari meliuk-liuk seperti itu? Kau menjadi tontonan buat  laki-laki dan perempuan di kursi penonton itu, sementara kau ingkari Tuhanmu sendiri, yang sudah memberimu segalanya? Kalau Dia tak mau lagi mendengar doa’mu, kau mau lari kemana ?”

Sabtu, 28 Juni 2014

Choosing Soul Mate within Seven Days

Today, my husband and I  celebrate our 16th wedding anniversary. I am so grateful for everything we’ve reached. I am so happy to be his wife. Hopefully we can maintain our marriage, love, compatibility, and faithfulness till death do us part.

I am neither a consultant nor a competent adviser. I am just an ordinary woman who wants to share my experience when I under went the process of finding my life partner. I don’t mean to show off my happiness and to be proud of it. I just hope that the readers can learn something from what I had been trough. As a Moslem, I believe in God. Its power had leaded me to find my soul mate.

It was in the year of 1997. At that time I was mentally exhausted after the failure on maintaining a relationship with a man. I said to my self “That’s enough. I don’t want to have another boy friend or any intended husband. Getting married is not the main priority anymore.” I just didn’t care. I  enjoyed my job in a foreign company in the field.

My office was located in the middle of the forest on South Sumatera. It’s like a small city, or a small community in the middle of the forest. The Company was doing a corridor block gas project. There were many companies involved in this project.

Then, life was full of choices. At least, it was the condition that I faced. There were 4 men trying to get my attention at the same time, while I was not interested. I felt reluctant to begin a relationship again. But one of my friends said that I had to consider those men. She said,” You’ll never know what will happen to you. Maybe one of them is your soul mate. The fact that you don’t have any special feeling towards them is good as a basis to select the best one. You can be more objective. A life partner should not be chosen on the basis of feelings.”

Ok, I will tell you about the 4 candidates.

The first was one of my colleagues. We worked at the same office, but actually his company and mine had a kind of join operation. His company provided workers for my company such as carpenters, welders, workmen, day laborers, crane operators, drivers, etc. He was the supervisor of those workers who was also responsible for their salary payment.

Jumat, 27 Juni 2014

Menjelajah Museum Presiden Korea Selatan

Museum Presiden Korea Selatan 

Begitu mendengar agenda hari ini adalah berkunjung ke museum, kepalaku “nyut-nyutan”. Menurut suamiku, si Akang, berwisata ke Korea Selatan  kurang lengkap bila tidak sekaligus mempelajari sejarah dan peradabannya.

“Kenapa tidak ke tempat lain saja sih? Apa enaknya berkunjung ke museum?” protesku.

Di kepalaku, museum  itu tak lebih sebuah gudang  yang suram, bergaya jadul, tempat menyimpan barang-barang kuno yang berhubungan dengan sejarah. Aku benci pelajaran sejarah. Seingatku dulu waktu sekolah nilai sejarahku selalu pas.  Enam saja.  Tak lebih, tak kurang. Bagiku pelajaran sejarah selalu membosankan.  Terlalu banyak nama-nama dan tanggal yang harus dihafal. Seandainya saja buku pelajaran sejarah dibuat seperti penulisan novel, mungkin aku  lebih tertarik.  Kenyataannya buku pelajaran sejarah ditulis dengan kaku, sehingga sukses membuat pusing kepalaku.

 “Yaah... payah Neng ini. Ingat tidak kenapa kita pilih jalan-jalan ke Korea Selatan? Katanya pengen tahu kenapa negara ini  bisa menjadi demikian populer dan  demikian pesat kemajuannya. Memangnya kemajuan Korea saat ini bisa dipisahkan dari sejarah dan peradaban masa lalunya? Menurut Neng bagaimana?” tanya Akang sengit.

Pertanyaan retorisnya tentu tak perlu ku jawab. Aku tahu, Akang suka  sejarah. Sebut saja tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia terutama tokoh dari kerajaan-kerajaan di nusantara, misalnya Ken Arok,  Mpu Gandring, Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, Raden Wijaya, dan masih banyak lagi. Akang hafal nama-nama dan alur sejarahnya. Minat kami berbeda,  tapi alasannya untuk mengunjungi museum tak terbantahkan.  Jadi jelaslah sudah, acara ke museum ini tak dapat kuhindari.

Keheningan senja terasa pecah oleh suara derap kaki-kaki bersepatu boot yang menghentak-hentak trotoar jalan.  Dengan napas ngos-ngosan, aku dan Akang berlari-lari  menuju ke sebuah bangunan bergaya modern. Bangunan yang terletak persis di depan istana Presiden Korea Selatan itu dirancang dengan sistem ramah lingkungan. Unsur kaca banyak mendominasi bangunan  untuk memaksimalkan masuknya cahaya matahari.

Kami celingukan mencari-cari rombongan tour yang sudah lebih dulu sampai, tapi tak kelihatan juga.  Inilah akibat terlalu narsis. Aku dan Akang sibuk berfoto-ria sampai tidak sadar terpisah dari rombongan. Untunglah akhirnya wajah Mr. Danny, tour leader kami, menyembul dari sebuah pintu lebar. Wajah cemasnya segera berganti kelegaan ketika melihat kami.

 “Maaf, Mr. Danny.  Kami tadi tertinggal rombongan. Untung saja ada yang membantu menunjukkan jalan  ke sini.” Ujarku sambil mengatur napas yang memburu.

“Ya, syukurlah. Ayo kita masuk. Inilah museum Presiden Korea Selatan, Cheong Wa Dae Sarangchae. Di sini kita bisa melihat sejarah Korea Selatan, kondisi negara saat ini dan juga harapan di masa datang.”

Kami  memasuki  salah satu ruang museum. Lantai dasar museum dibagi menjadi 2 ruangan. The Republic of Korea Hall. Begitulah  judul ruangan ini. Pengunjung yang hadir di dalam ruang itu tidak terlalu banyak, dan terdiri dari kelompok-kelompok kecil dengan masing-masing pemandunya.

 Ternyata museum ini sama sekali tidak seperti gudang. Suasananya nyaman, modern, tidak bergaya jadul. Sejenak aku menikmati suasana  remang-remang dengan pencahayaan terfokus pada layar-layar di dinding yang menampilkan gambar-gambar tokoh Korea.

 Di bagian ini terdapat  tokoh-tokoh yang paling terkenal  dan berperan dalam sejarah Korea. Salah satunya adalah  raja ke empat kerajaan Joseon,  Sejong yang Agung, yang hidup  tahun 1397-1450.  Sejong adalah putera ke-3  Raja Taejong. Sejak kecil Sejong unggul dalam banyak hal melebihi kedua kakaknya. Pada tahun 1418 Sejong naik takhta menggantikan ayahnya. Di masa pemerintahannya, Sejong mendorong rakyatnya berprilaku sesuai ajaran Konfusianisme, sehingga ajaran itu berkembang menjadi norma sosial. Di masa pemerintahannya Sejong juga melaksanakan kebijakan-kebijakan luar negri yang menguntungkan negaranya, mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk juga teknologi militer, sastra dan sistem abjad fonetik asli untuk bahasa Korea. Dalam 32 tahun masa pemerintahannya, Sejong telah menyumbangkan banyak hal yang menjadi asal mula berkembangnya Korea Selatan.
Di depan gambar King Sejong The Great

Sambil menjepretkan kameranya mengabadikan gayaku di dekat gambar King Sejong the Great, Akang mulai menceramahiku.  

“ Neng, belajar sejarah itu penting. Mempelajari sejarah itu sama dengan mempelajari pengalaman masyarakat di masa lalu. Keberhasilan di masa lalu bisa memberi pengetahuan bagi kita untuk mencapai keberhasilan yang lebih baik lagi. Sebaliknya, kegagalan di masa lampau dapat menjadi pelajaran berharga yang harus diwaspadai. Jadi dengan mempelajari sejarah kita dapat berbuat bijaksana  dalam menghadapi masa depan.”

“ Iya... tapi Akang sajalah yang belajar sejarah ya.  Jadi kalo Neng butuh informasi tentang sejarah,  tinggal tanya sama Akang . Setuju?” Ujarku sambil berlalu.

Dari sudut mata kulihat Akang menggeleng-gelengkan kepala. Hehehe... mana bisa membuatku suka sejarah meskipun dengan cara membawaku ke museum se-keren ini.

Di ruangan kedua yaitu “ Hi Seoul Hall” terpajang segala sesuatu yang menarik dari Seoul sebagai ibu kota negara. Mulai dari  tempat-tempat bersejarah  dan juga tempat-tempat  menarik di Seoul yang layak dikunjungi oleh wisatawan misalnya Gwanghwamun Square, Insadong Street, N Seoul Tower, Namdaemun Market, dan lain-lain. Ada layar sentuh yang dapat digunakan pengunjung untuk memperoleh informasi secara rinci mengenai istana-istana yang terdapat di Seoul, kuil, galeri seni, gedung pertunjukan hingga restauran.

Dari tempat-tempat itu, sepertinya Namdaemun sangat menarik. Terutama bagi aku dan teman-teman serombongan.  Kabarnya di sana banyak di jual berbagai barang , dari yang biasa sampai bermerk, hingga souvenir  yang lebih murah dibandingkan di tempat lain. Mr. Danny tersenyum-senyum waktu  ibu-ibu mendesaknya  membawa rombongan ke sana.

“Sabar. Besok ada acara shopping ke Namdaemun.” Janjinya.

“Mestinya hari ini saja, kita tidak usah ke museum.” Ujar mbak Rani. Bibirnya manyun, matanya   menyapu  dinding ruangan yang penuh foto-foto berbagai lokasi wisata di Korea Selatan tanpa minat.  Dia  terlihat bosan.
Indahnya pemandangan di Korea Selatan

Aku nyengir sambil melirik Akang.” Tuh kan! Ternyata bukan cuma Neng yang tidak suka ke museum.”
 Wajah Akang kontan cemberut. “Payah, perempuan di mana-mana sama saja. Pengennya shopping. Padahal museum ini gunanya untuk menambah isi otak. Sedangkan shopping itu hanya menghabiskan isi dompet.” Bisiknya di telingaku.

Tawaku pecah. “ Ya nggak apa-apa, sekarang isilah otak Akang sebanyak-banyaknya. Besok giliran Neng menghabiskan isi dompet. Sebanyak-banyaknya juga ya...hahaha.”

Di lantai 2 terdapat Presidential Center. Di sinilah ruang utama museum ini.  Aku melihat foto-foto yang menampilkan  adegan-adegan sejarah Korea dipajang di dinding. Foto-foto hitam putih yang menampilkan peristiwa besar dan saat-saat bersejarah bagi Korea Selatan itu seolah berbicara.    Diam-diam aku merasakan apresiasi  mendalam ketika  melihat  bangsa Korea  tumbuh secara dramatis.

Di Presidential Center ini, terpampang foto semua presiden Korea.  Dari presiden pertama, Rhee Syng-man, hingga presiden ke -18 yang sekarang, lengkap dengan transkrip pidato pelantikan serta berbagai kebijakan yang diambil para presiden untuk menggambarkan gaya kepemimpinan mereka.    Presiden  ke-18 yaitu Park Geun-hye adalah seorang wanita.
Foto virtual dengan Presiden Korea Selatan

Uniknya, pengunjung bisa berfoto secara virtual dengan sang Presiden.  Di sebuah ruang, terdapat layar berwarna hijau terang. Aku berdiri di depan layar hijau tersebut. Posisi kaki kuletakkan   pas di atas gambar telapak kaki yang tercetak di lantai.  Lalu di layar TV terlihatlah diriku sedang berdiri berdampingan dengan Presiden Geun-hye di depan istananya. Waah.... keren juga, serasa berdekatan dengan orang nomor satu di Korea Selatan.

Ketika berjalan menyusuri ruang pameran, mataku menyapu sebuah sudut ruangan. Di sana ada sebuah meja yang menyerupai meja kerja presiden Korea, lengkap dengan bendera Korea sebagai latar belakangnya. Wuiih... buru-buru aku duduk di kursi itu,   berpose  ala presiden. Duduk tegak  dengan dagu terangkat  anggun seperti  layaknya first lady.

“Dasar, first lady katrok! “ seru Akang setelah menjepret gayaku. Garis bibirnya membentuk senyum mengejek.

Aku meleletkan lidah, membalas ejekannya. “ Kasihan ya, yang punya istri katrok. Biar katrok yang penting eksis!”. Aku tak perduli ejekan Akang, yang penting adalah dia selalu  mau menjepretkan kameranya mengabadikan gayaku. Tampaknya aku telah terjangkiti penyakit narsis tingkat kronis.

Di lantai dua ini juga terdapat ruangan yang menampilkan posisi Korea  Selatan di dunia internasional. Sebuah tiruan ruangan  KTT G-20 sengaja dibuat untuk menjelaskan bahwa Korea Selatan adalah salah satu negara anggotanya.

Fasilitas lainnya yang tak kalah menarik dari museum ini terdapat di lobby lantai 2.  Ada ruang pamer khusus yang menampilkan hasil karya anak-anak. Terdapat area yang cukup luas dengan kursi dan meja untuk pengunjung duduk bersantai. Lalu di dinding terdapat beberapa komputer dengan akses internet gratis yang bisa digunakan oleh pengunjung museum.

Aku dan akang sempat duduk-duduk sebentar, sambil menikmati suasana nyaman diruangan itu. Melalui  jendela kaca kami melihat   gunung Bugaksan di luar sana tengah memamerkan kecantikannya. Wah, ternyata duduk sambil memandang kecantikan gunung Bugaksan melalui jendela museum bisa juga membangkitkan romantisme.

Setelah melihat semua ruang museum, aku dan akang menyempatkan melihat souvenir yang dijual di sebuah toko di lobby museum. Di sini dijual berbagai barang tradisional Korea yang dibuat dengan sentuhan modern. Ada juga  kartu pos dan buku-buku berisi informasi seputar Seoul dan Korea Selatan.
Di depan toko souvenir museum Presiden Korea Selatan

Museum ini juga dilengkapi juga dengan sebuah restoran kecil. Pengunjung bisa menikmati minuman hangat  dan makanan untuk mengusir dinginnya suhu udara.

Secara keseluruhan, museum ini cukup menarik. Tampilannya modern dan nyaman. Semua point penting tentang Korea Selatan telah tersaji dengan lengkap, menarik, didukung dengan teknologi dan sistem pencahayaan yang tepat.
 Aku ingat kata-kata Bung  Karno, menurutnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Sayang sekali aku belum bisa seperti Akang, menyukai dan senang mempelajari sejarah, meskipun aku tahu bahwa sejarah itu penting dan tak dapat dipisahkan dari pencapaian yang diperoleh saat ini.  Seperti Korea Selatan, yang tak terlepas dari perjalanan sejarahnya kini telah menjelma menjadi negara yang patut diperhitungkan.


Kamis, 26 Juni 2014

Hebohnya Rumah Kakek

Aku dalam gendongan Nenek, bersama Om Yadi dan Tante Wita


Pengalaman masa kecilku tinggal di Bandar Lampung di sebuah rumah tua yang besar bersama kakek dan nenekku sungguh tak dapat kulupakan. Rumah tua itu panjang,  bagian depannya berada di Jl. Padjajaran (sekarang Jl. HOS Cokroaminoto) dan bagian belakangnya tembus ke sebuah jalan kecil di dekat rel kereta api. Ada 5 kamar dan satu loteng atau kamar yang sangat luas di lantai 2.  Di masa kecilku, penghuni rumah tua kakek semuanya ada 25 orang.  Mereka adalah  kakek dan nenekku, 11 orang anak-anaknya,   para menantu, adik-adik menantu,cucu-cucu, keponakan-keponakan kakek, bahkan teman-teman akrab om-omku juga ikut tinggal di rumah itu.

Karena ramainya penghuni rumah, terasa kehangatan dan kebersamaan yang sangat berkesan. Tidak ada pembantu di rumah kakekku, jadi semua pekerjaan rumah dikerjakan bersama . Ada Tante Cong,  yang pintar masak dan bertindak sebagai “chef” untuk makanan berat, dan ada tante Yati  yang khusus bertugas bikin kue dan cemilan.  Tante Ana dan Tante Iyah bertugas bersih-bersih rumah, mengisi belasan botol kaca bekas botol sirup dengan air putih lalu disimpan  di lemari es.   Om Picon  kebagian tugas mencuci piring. Sedangkan Om Ukang  bertugas sebagai “tukang” yang keahliannya memperbaiki jaringan listrik, alat-alat elektronik yang rusak, sampai menambal panci yang bocorpun bisa dilakukannya. Tante Nung yang pintar menjahit seringkali membuatkan aku baju, dia juga sering menjahit taplak meja untuk meja tamu dan meja makan. Bagaimana dengan aku? Meskipun masih kecil aku punya tugas juga.  Dengan sepeda miniku  aku meluncur ke warung membawa secarik kertas dari tanteku, yang  berisi daftar belanjaan seperti  bumbu-bumbu dan sayur yang harus dibeli. Tapi tugasku itu hanya sekali-sekali saja kulakukan, bila nenekku berhalangan pergi ke pasar.

Unik-unik sekali nama tante dan omku ya. Singkat dan lucu... Sebenarnya itu hanya nama panggilan saja.
Untuk urusan makan, kami tidak pernah kekurangan. Kakekku punya sawah dan ladang yang hasilnya lumayan.Kakek juga punya kebun cengkeh dan tanah yang luas. Setiap hari tante-tanteku memasak menyiapkan sedandang besar nasi, sekuali sambal,  dan sepanci besar sayuran. Lauknya bagaimana? Tentu saja ada. Tapi khusus untuk lauk,  buah dan cemilan, ditangani oleh mamiku. Ya, mami adalah anak tertua kakek. Dia bertugas membagi dengan adil lauk pauk, buah dan cemilan. Jadi setiap hari ada nampan-nampan besar berisi 23 tumpuk makanan. Hal ini harus dilakukan supaya semua anggota keluarga kebagian makanan.  Kalau hari itu menunya ikan goreng, maka akan ada 23 potong ikan goreng di nampan. Setiap orang berhak mengambil satu potong. Demikian juga dengan kue dan  buah-buahan. Bila kakek membeli  buah duku satu karung, maka mamiku akan membagi-bagi  menjadi 23 tumpuk duku yang diletakkan di nampan-nampan besar. Kenapa hanya 23 tumpuk? Ya karena 2 bagian lagi dengan porsi istimewa sudah dipisahkan lebih dulu untuk kakek dan nenekku sebagai pemimpin keluarga besar.

Uniknya, memilih tumpukan makanan atau buah kadangkala bukanlah urusan mudah. Kami akan melihat, menimbang dan mengira-ngira tumpukan mana yang paling banyak isinya, padahal mamiku sudah membagi sama rata.

Aku ingat salah satu omku yang suka iseng. Namanya om Yadi.  Bila ada pembagian kue atau roti, dia akan menyimpan dulu jatahnya. Bila semua orang sudah memakan bagiannya, termasuk juga aku, maka dia akan mengeluarkan kue simpanannya dan memakannya sedikit-sedikit sambil mencium-ciumkan wangi kue itu di depan hidungku supaya aku ngiler kepingin makan kuenya. Tapi biar aku menangis keras sekalipun, dia takkan sudi membagi kue jatahnya padaku. Sebaliknya dia akan tertawa-tawa puas melihat aku merengek dan menangis.  Hahaha..

Tanteku yang paling bungsu bernama Tante Wita. Usianya 3 tahun lebih tua dari aku. Dia punya kebiasaan unik yang dilakukannya setiap pagi setelah bangun tidur, yaitu menangis tersedu-sedu tanpa sebab yang jelas. Aku seringkali duduk menemani aktivitas rutinnya itu sambil bengong memandanginya.   Tangisnya akan berhenti sendiri setelah dia lelah dan merasa lega.

Di saat tanggal muda tiba, Om Keren  yang sudah bekerja akan memanggil mang Kumis, tukang bakso yang sering lewat di depan rumah. Wajah mang Kumis berseri-seri, melayani permintaan  tante-tante dan om-omku yang cerewet, minta sambel yang banyak, tidak pakai mie kuning, ataupun minta tambah sayur dan kuah baksonya. Hatinya girang bukan kepalang karena sudah pasti 25 mangkuk baksonya diborong untuk seluruh anggota keluarga besarku.

Tukang mie tek-tek dan kue putupun kerap kali kecipratan rezeki bila tante Yati gajian.  Setiap tanggal muda jam 9 malam, mamang mie tek-tek dan kue putu akan mangkal di depan rumah, menunggu serbuan kami.
Kalau malam tiba, teras belakang rumah kakekku akan ramai oleh anggota keluarga yang duduk di kursi rotan, berkumpul  sambil mengobrol dan bercanda. Dari main tebak-tebakan, berbagi cerita keseharian, sampai menikmati “live music” persembahan om Jendol dan Om Yanto, adik-adik papiku, yang lihai bermain gitar. Dan penyanyinya siapa lagi kalau bukan aku... hehehe..

Bila ada acara TV yang menarik, kami akan berkumpul di ruang keluarga yang besar sambil menonton TV hitam-putih berukuran 20 Inchi. Waktu itu TV adalah barang mewah yang masih jarang dimiliki orang.
Yang paling seru adalah ketika bulan Ramadhan tiba. Hanya di bulan istimewa inilah seluruh keluarga bisa makan bersama saat buka puasa dan sahur. Di hari-hari biasa, karena kesibukan yang berbeda, kami jarang bisa makan bersama.

 Jam 3 dini hari, tante-tante yang bertugas memasak akan menyiapkan hidangan sahur. Setelah siap, salah satu omku, namanya Om Acah,  akan berkeliling  dari kamar ke kamar membangunkan anggota keluarga yang lain untuk makan sahur bersama.  Saat itu aku  tidur bersama 6 orang tanteku di loteng atau kamar yang sangat luas di lantai 2. Kami tidur di kasur kapuk ukuran single yang disusun berderet-deret di lantai. Om Acah paling kesal bila harus membangunkan kami satu persatu, karena  kemudian kami tidur lagi. Hingga dia harus mengulang 2 sampai 3 kali, barulah  bisa membuat kami turun ke ruang makan.

Dia sudah mencoba beberapa cara, misalnya dengan menggelitik telapak kaki kami, atau mencipratkan air di wajah kami, tapi masih saja tidak mempan membuat pekerjaannya sukses. Om Acah lalu memutar otak mencari cara cepat membangunkan kami. Suatu kali dia berteriak,” Kebakaran! Kebakaran! Banguuun!”  Mendengar teriakannya kami bangun dengan panik  lalu  lari tunggang- langgang turun ke ruang makan, sementara om Acah terpingkal-pingkal. Sayangnya hanya satu kali saja cara itu berhasil. Kedua kalinya, kami sudah tahu bahwa teriakannya hanya bohong belaka.

Tak habis akal, om Acah menemukan cara jitu lain untuk membangunkan kami. Dengan mengendap-endap dia masuk ke kamar, menarik napas dalam-dalam, mengerahkan segenap tenaganya, lalu “ Priiiittt!!!!” bunyi  nyaring bukan kepalang memekik dari peluit pramuka yang ditiupnya kuat-kuat. Tujuh orang yang sedang tidur dengan lelapnya  serempak  terduduk kaget sambil menutup telinga. Peluit nyaring itu terus ditiupnya sampai kami tersuruk-suruk berlari turun ke ruang makan. Tampaknya cara jitu itu tak pernah gagal. Om Acah akan bertolak pinggang dengan wajah sumringah,   sangat puas dengan keberhasilannya.

Suasana hangat rumah tua kakekku selalu kurindukan.  Sayang sekali kakek dan nenekku kini telah tiada. Tapi  indahnya kebersamaan di rumah itu akan selalu hidup dalam kenanganku..


Rabu, 25 Juni 2014

Touring, Travel and Love


Rindu pada jalan hitam yang berdebu
Rindu pada angin yang selalu membelai wajah dan tubuhku
Rindu pada bunyi mesin yang menderu
Rindu pada sawah, gunung, sungai dan gedung yang berbaris rapi
di sepanjang jalan yang kulalui, 
dan pada orang-orang yang bergerak
menantang waktu…..

Puisi karya suamiku, Akang, begitulah aku memanggilnya, menggambarkan hobinya touring dengan motor besar. 

Setiap pulang touring, Akang menceritakan   asyiknya meliuk-liuk mengikuti alur jalan yang menikung, menanjak,  dan menurun. Bagaimana pemandangan indah  sepanjang jalan, saat menerjang angin, menantang sinar matahari, berlumur debu jalanan,  dan menembus rinai hujan.  Serunya berinteraksi dengan masyarakat lokal di  perjalanan atau di daerah tujuan touring.

“Neng takkan  mengerti kalau tidak mengalami sendiri. “ Ujarnya suatu hari.

Ketika akhirnya aku ikut touring untuk pertama kalinya,  saat itulah aku lebih memahami Akang. Aku ketularan hobi-nya.

Saat berada di boncengan,  menerjang angin di bawah terik matahari dan debu, aku merasa lepas dan bebas. Pemandangan indah membuai mata  menimbulkan drama tersendiri. Suatu ketika,   kami melewati jalan  tinggi di atas tebing di daerah Bayah, Banten kala  senja hampir memeluk malam. Di bawah sana, jurang hijau menghampar berbatas  putihnya pasir pantai. Laut biru dihiasi  perahu-perahu berlayar putih.  Barisan bukit hijau bertaut gunung menjadi latar  indah sementara kilau keemasan matahari senja menyempurnakan lukisan alam. Mataku  berkaca-kaca menatap pemandangan itu. Indahnya, Masya Allah...

Kami lebih sering melakukan solo riding atau touring dengan satu motor tanpa rombongan. Jogjakarta, Bandung, Kuningan, Sukabumi, Pangandaran, pantai-pantai di Banten seperti pantai Sawarna, Malingping, Bagedur, Cisolok, dan Pelabuhan Ratu  pernah kami kunjungi.  Touring  yang baru saja kami lakukan tanggal 6 Juni  2014  menempuh route Bogor- Palembang- Bogor.

Pantai Bagedur- Banten

Palembang

Kuningan, Jawa Barat


Bagaimana dengan keluarga? Anak-anakku tak keberatan ditinggal touring selama kami  menyediakan waktu bersenang-senang bersama mereka sebelum berangkat, dan segala keperluan mereka disiapkan terlebih dulu.

Protes keras datang dari orang tua dan mertuaku. Mereka cemas, karena kegiatan yang kami lakukan beresiko besar. Mereka mengkhawatirkan bahaya yang mengintai selama perjalanan touring. Pernah kami dinasehati habis-habisan, dengan harapan  tak lagi menekuni hobi ini. 

Yang bisa kami lakukan adalah meminta pengertian mereka. Kami berusaha untuk selalu berhati-hati, menerapkan safety riding, melengkapi diri dengan pakaian pelindung seperti helm, sarung tangan, masker, knee - elbow protector, dan sepatu touring untuk meminimalisasi benturan. Dan yang terpenting adalah memohon doa tulus  orang tua dan anak-anak  untuk keselamatan kami, lalu menyerahkan hidup kami di tanganNya.

Kegiatan touring kami  lakukan sekaligus dengan hobi  menulis dan fotografi. Pengalaman touring seringkali menjadi bahan tulisanku. Sementara foto-foto  hasil jepretan Akang melengkapi sajian tulisanku di blog, atau untuk koleksi pribadi.

Kebersamaan  menjalani touring merekatkan hubungan kami. Touring ibarat perjalanan hidup. Kadang kami menjumpai kemudahan berupa jalan  mulus, udara  sejuk, pemandangan  indah dan lain-lain.   Namun ada kalanya kami  menghadapi kesulitan berupa jalan  rusak,  hujan deras,  terjebak macet, terperosok ke lumpur, gangguan  mesin motor, hingga jatuh dari motor.

Dibalik kesulitan ada kemudahan. Senang susah silih berganti, tapi tetap menyenangkan bila dinikmati berdua. Berbagai masalah di jalan adalah ujian kekompakan bagi kami. Banyak hikmah selama menjalani touring.

Walau bagaimanapun saat-saat paling dinanti usai perjalanan touring adalah pulang ke rumah, kembali memeluk anak-anakku.

Touring is’nt about the destination, it’s a journey....


Artikel ini diikut sertakan dalam “3rd Giveaway : Tanakita – Hobi dan Keluarga

Selasa, 24 Juni 2014

Resep Mie Ayam Sehat


Sudah berhari-hari Dea, anakku yang nomor dua, meminta aku membuat mie ayam. Tapi berbagai kesibukan sebagai emak-emak rempong selalu menghalangiku memenuhi keinginannya.

“Mama kan tahu Dea  suka mie. Tapi Mama marah kalau Dea makan mie instan. Makanya, buat dong mie ayam sehat seperti dulu. Ayoklah, Ma...” Rengeknya
.
“Tapi Mama lagi ada urusan yang tidak bisa ditunda, Nak. Besok ya...”Rayuku

“Ma, sini Dea sajalah yang buat mie-nya. Mama kasih tahu caranya. Pokoknya hari ini Dea harus makan mie ayam home made!” Keinginan Dea kali ini tak dapat ditunda lagi.

Maka, mulailah Dea membuat mie ayam-nya. 

Bahan-bahannya sebagai berikut :

-          250 gram terigu Cakra Kembar
-          50 gram tepung sagu tani
-          50 cc minyak sayur ( Tapi Dea mengggantinya dengan minyak zaitun)
-          telor ayam 3 butir
-          garam 1 sdt

Semua bahan di campur, lalu diuleninya hingga padat dan kalis. Setelah itu didiamkan selama 15 menit.

Langkah selanjutnya, Dea menggiling adonan itu menggunakan noodle machine. Mula-mula ukuran yang dipakai adalah ukuran terbesar. Noodle machine yang kami miliki adalah merk OXONE, jadi ukuran  terbesar untuk menggiling dimulai dari no. 7. Diulanginya 2- 3 kali menggiling , hingga adonan padat dan tidak pecah atau berlubang-lubang. Selanjutnya, Dea memindahkan ukuran gilingan ke no 6. Setelah itu ke nomor 5, dan 4.






Setelah selesai menggiling dengan ukuran 4, adonan akan cukup tipis. Lalu, terakhir Dea menggiling lagi adonan dengan gilingan membentuk mie. Taraaa! Jadilah mie buatan  Dea. Dia menyimpan mie-nya diwadah tertutup.


Sementara itu, di dapur aku menyiapkan bahan-bahan pelengkap sebagai berikut :

Bahan Tumisan Ayam :

-          
-          1 sdm kecap asin
-          250 gram daging ayam, potong kecil.
-          150 gram jamur merang, potong-potong.
-          2 sdm minyak sayur untuk menumis
-          2 siung bawang putih, cincang halus
-          2 sdm saus tiram
-          1 sdm kecap asin
-          1 sdm kecap manis ½ sdt merica bubuk
-          1 sdt garam
       200 ml air

Cara membuat tumisan ayam :

Tumis bawang putih hingga wangi. Masukkan potongan ayam, aduk hingga berubah warna dan kaku. Masukkan jamur, aduk hingga layu. Masukkan saus tiram, kecap manis, kecap asin, merica dan garam. Aduk rata. Tuang air, didihkan sebentar hingga kuah habis. Angkat.

Cara membuat minyak bawang putih:

Bawang putih digiling halus, lalu ditumis dengan sedikit lemak ayam dan minyak. Setelah wangi masukkan dalam wadah tertutup.
Untuk kuahnya sebagai berikut :
Rebus kaldu ayam, bawang putih, daun bawang, merica dan garam hingga mendidih lalu angkat, sajikan untuk kuah mie ayam.

Pelengkap:

-          4 batang sawi, potong-potong, rebus
-          2 sdm bawang merah goreng

Cara penyajian mie ayam :

Rebus mie yang selama 2-3 menit, angkat dan tiriskan.
Siapkan wadah berupa mangkuk, beri sedikit minyak bawang putih,   sedikit kecap manis dan kecap asin. Masukkan mie yang sudah direbus, aduk-aduk. Beri tumisan ayam diatasnya, taburi dengan  daun bawang  dan bawang goreng. Letakkan beberapa daun sawi . Sajikan dengan kuah kaldu yang dibumbui bawang putih, lada, minyak wijen, garam dan penyedap . Bila suka boleh juga diberi beberapa butir bakso.


Dea akhirnya puas, bisa menyantap mie ayam buatannya, tapi yang lebih girang adalah Rafif. Lihat saja ekspresi wajahnya saat menyantap mie ayam sehat buatan tetehnya!


Senin, 23 Juni 2014

Kentut Membawa Nikmat


Kala itu aku masih duduk di kelas tiga  sebuah SMP negri di Palembang. Hari itu adalah hari pertama ujian EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Aku kebagian duduk di barisan terdepan. Suasana kelas sepi, tenang. Semua siswa sedang mengerjakan soal-soal ujian. Ada yang terlihat sangat tegang, ada yang gelisah, ada yang tampak tak perduli , tapi ada juga yang  sangat menikmati soal-soal yang tercetak di dua lembar kertas berukuran folio itu. Dua orang guru yang bertugas mengawasi jalannya ujian di kelas, mondar-mandir dengan wajah yang bengis dan kaku. Mereka mengedarkan pandangan mata yang tajam ke seluruh penjuru kelas, memastikan bahwa semua berjalan dengan tertib, tak ada siswa yang mencontek atau berbuat curang.

Aku tenggelam dalam keasyikan mengerjakan soal. Sekitar setengah jam sebelum waktu ujian berakhir untuk mata pelajaran pertama, keasyikanku terusik oleh rasa tak enak di perut. Mules, seperti ada gas yang berputar-putar, dan memberontak di dalam rongga perutku. Wah, ini pasti gara-gara sarapan rujak buah tadi. Mamiku sudah mengingatkan  untuk tidak menyantap rujak manis asam dan pedas itu, karena bisa bikin sakit perut kalau dimakan pagi-pagi. Tapi karena rasanya yang sedap,  masih saja aku lahap rujak itu sampe habis satu mangkuk. Kerakusan yang mengundang bencana..

Aku berusaha menahan rasa mulas itu, dan tetap saja melanjutkan mengerjakan soal. Tapi makin ditahan, rasa itu makin menggangguku, menyiksa sekali. Entah ketololan apa yang merasukiku, sehingga aku tidak cepat mengambil tindakan, padahal alarm tanda bahaya sudah meraung-raung di benakku. Seharusnya aku cepat-cepat minta izin ke luar kelas, kemudian lari dengan kecepatan penuh ke toilet. “ Nanti juga hilang sendiri.” Begitu pikirku. Dengan bodohnya aku membiarkan menit demi menit berlalu, hingga akhirnya aku benar-benar tak tahan. Aku tau aku akan buang angin, dan pasti bunyinya “dahsyat”. Untuk minta izin keluar kelas, sudah terlambat, karena sedikit saja aku bergerak, pasti si angin langsung “ meledak”.

Ketegangan menyelimutiku, seperti menghadapi angka-angka digital yang terpasang di bom yang siap meledak, angka-angka yang bergerak mundur, detik demi detik menuju nol. Otakku bekerja, tepatnya, dipaksa bekerja.

Aku punya rencana. Aku akan menjatuhkan kotak pensilku yang besar, yang terbuat dari bahan kaleng, sehingga bunyinya yang nyaring akan menutupi bunyi dahsyat yang akan aku ledakkan dalam waktu bersamaan. Sudah tidak ada waktu lagi, akupun melaksanakannya. Di tengah-tengah suasana tenang dan sepi itu, “ Klontang!!!” nyaring sekali bunyi kotak pensilku memecah kesunyian, mengundang reaksi seantero kelas, semua mata tertuju padaku. Lalu…” Prooot ...prot… prot.. prooot..” Astaga! Rencanaku gagal total. Bunyi kotak pensil dan ledakan itu ternyata tidak kompak!

Oh Tuhan, jadilah aku bahan tertawaan teman-teman dan guru pada hari itu, dan juga hari-hari selanjutnya. Suasana kelas yang tadinya sepi dan tenang berubah riuh karena tawa. Sebagian dari mereka sampai terpingkal-pingkal. Yang lainnya menutup mulutnya dengan tangan, tapi tubuh mereka bergetar hebat akibat tawa yang tak tertahankan. Aku mengkerut, menundukkan kepala. Kalau  bisa, ingin rasanya menenggelamkan diri ke perut bumi. Entah bagaimana tampangku saat itu, pasti seperti kepiting rebus, merah dan konyol ! Hancurlah reputasiku, sebagai murid perempuan yang manis dan santun.

Tapi rasa malu itu membakar semangatku. Aku jadi belajar mati-matian, aku ingin menebus rasa malu ini dengan nilai yang bagus. Tiada sedikit waktupun kusia-siakan, sejak pulang sekolah hari itu,untuk hal lain selain belajar. Aku makan sambil membaca buku. Aku berbaring di kamar sambil berlatih mengerjakan soal. Aku ke kamar mandi membawa catatan pelajaran. Tiap kali peristiwa memalukan itu terbayang, aku benamkan mataku di buku-buku pelajaran. Aku tertidur di tumpukan buku, untuk kemudian terbangun dan belajar lagi.

Soal-soal ujian di hari-hari berikutnya aku lalap habis, tanpa kesulitan. Semangatku semakin membara, disulut oleh ejekan teman-temanku yang menirukan bunyi kentut tiap aku lewat di dekat mereka.

Pada saat hasil ujian EBTANAS diumumkan, semua murid dan guru berkumpul di lapangan. Setelah sambutan dari kepala sekolah, tiba-tiba namaku disebut, dan aku di daulat berdiri ditengah lapangan, disalami oleh kepala sekolah dan guru-guru karena aku menjadi juara umum dengan NEM ( Nilai Ebtanas Murni ) tertinggi di sekolahku. Tak ada rasa malu, tak ada lagi ejekan dari teman-temanku . Ha..ha..puas sekali rasanya, sudah membuktikan bahwa si konyol ini bisa juga berprestasi. Itu namanya kentut membawa nikmat!



Minggu, 22 Juni 2014

Iga Ayam Bakar : Menu Khas Nami Island



 Saat jalan-jalan di Nami Island-Korea Selatan, Mr. Danny, sang tour leader yang orang asli Korea membawa kami makan siang di resto Seomhyanggi dengan menu yang sangat dibanggakannya. “ Menu iga ayam bakar ini paling terkenal seantero Korea Selatan.” Katanya.
Kami langsung bertanya-tanya. “ Bagaimana sih bentuk daging iga ayam? Ayam kok ada iga-nya?”
Mr. Danny tersenyum dan melanjutkan penjelasannya. “ Sebenarnya ini daging  ayam yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip iga. Diberi nama  iga ayam untuk membuat wisatawan penasaran ingin mencobanya.”
Seomhyanggi adalah resto yang cukup nyaman. Bukan resto bergaya modern, tapi bergaya tradisional.
Meski angin  musim gugur sesekali menerjang mengantarkan dingin, kami memilih duduk diteras restoran agar lebih menyatu dengan  suasana alam yang indah.
Sebuah meja panjang dari kayu coklat  berpernis  dengan bangku yang dibuat menyatu dengan konstruksi menyerupai konsol yang bertumpu pada kaki meja telah disiapkan untuk kami. Di atas meja  tersedia berbagai macam sayuran khas Korea, kimchi, yaitu sayuran yang diberi bumbu lalu  di fermentasi sehingga menghasilkan rasa asam dan sedikit pedas . Selain itu ada selada segar, taugo,  cabe hijau, dan botol air minum.  Nasi putih yang pulen dan lengket seperti ketan terhidang dalam mangkuk stainless tertutup, sehingga tetap hangat. Lalu ditengah meja terdapat tungku untuk memanggang ayam.
Seorang pelayan kemudian menyalakan tungku. Dia mengambil potongan ayam yang besar. Dengan gunting dipotongnya daging ayam itu hingga berukuran lebih kecil dan berbentuk seperti iga. Selanjutnya, dia menyusun  potongan-potongan iga ayam berlumur bumbu berwarna kuning itu atas tungku . Bara api menyala, proses memanggang pun dimulai.
Asap beraroma sedap mengepul, menyelinap dalam indra penciuman kami, sungguh menggoda. Akibatnya, perutku makin keroncongan, air liur memenuhi rongga mulutku akibat membayangkan rasanya... Duuuh...  tak tahan lagi ingin cepat-cepat menyantap iga ayam yang menggiurkan itu!
“Sudah matang belum, Kang? “ Aku bertanya pada suamiku.
“Sabar. Sebentar lagi.” Ujar Akang sambil membolak-balik potongan iga ayam dengan menggunakan pegangan berbentuk capit.
Mr. Danny menghampiri kami sambil tersenyum-senyum.
“ Bagaimana cara makan iga ayam bakar ini, Mr. Danny? “  Tanyaku.
“ Begini caranya.”
Mr. Danny mengambil selembar daun selada, lalu dengan sumpit dia mengambil sepotong iga ayam bakar yang sudah matang. Iga ayam itu diletakkannya di tengah-tengah daun selada. Selanjutnya dia mengambil sepotong kimchi sawi dan tauge, yang juga diletakkan di atas iga ayam. Dengan cermat dibungkusnya iga ayam beserta sayuran dengan daun selada, lalu memakannya.

“Waaah... repot ya!” Seruku.”  Untuk perut yang sudah meronta-ronta seperti ini, mana bisa bersabar harus bikin “prakarya” membungkus-bungkus iga ayam dulu. Keburu kelaparan.”
Mr. Danny tergelak. “ Kalau begitu silahkan makan, dengan cara apapun boleh.”
Iga ayam itu terasa lembut, tapi kenyal. Meski berlumur bumbu, tapi rasa bumbunya tidak kuat. Sedang saja. Rasanya sedikit pedas, sedikit asam dan gurih menyatu dengan sempurna di lidahku.
Aku mengunyah perlahan, meresapi  rasa lezat  yang memenuhi rongga mulutku. Tak heran kenapa masakan ini menjadi menu andalan kebanggaan Nami Island. Memang enak!
“Kunyah 30 kali, Neng!” Akang melirik sambil mengambil potongan iga ayam. Entah sudah berapa banyak iga yang berpindah dari tungku itu ke perutnya.
“Yaah, kalo mengunyah mesti 30 kali, rugi dong. Keburu iga ayamnya dihabiskan semua sama Akang.” Sahutku.
“ Ya, nggak apa-apa. Neng makan sedikit saja, jangan banyak-banyak. Nanti gendut. Yang capek membawa ransel camera belasan kilo dari tadi kan Akang. “ Ekspresi iseng diwajah Akang membuatku gemas.
“ Ogah!” Sergahku, lalu kuambil lagi potongan iga ayam, 5 potong sekaligus.
Akang melongo.
“ Yaah, Neng!... Sisain dong!”

“Hihihi....”

Sabtu, 21 Juni 2014

Sehat dan Langsing dengan Kimchi


Senja hampir memeluk malam ketika aku, suamiku dan Mr. Danny duduk menikmati secangkir kopi di Paul Basset Coffee di kawasan Dong Daemun, Seoul, Korea Selatan. Hawa dingin 5 derajat Celcius membuat hembusan nafas kami beruap. Suamiku berbincang dengan Mr. Danny yang orang asli Korea tapi fasih sekali bahasa Indonesianya. Perbincangan mereka tentang perekonomian Korea Selatan yang maju pesat  tidak membangkitkan minatku. Aku lebih tertarik mengamati orang yang lalu lalang keluar masuk mall. Mereka anak muda yang berdandan modis meskipun tetap dengan mantel dan jaket tebal. Setelah setengah hari keluyuran di mall lalu duduk di caffe ini sambil mengamati, barulah aku sadar. Dari sekian banyak pengunjung mall, ternyata jarang sekali  yang bertubuh gemuk. Kalaupun ada beberapa orang yang gemuk, mereka itu kalau tidak bule, ya Melayu dengan kulit sawo matang.

“ Mr. Danny, kenapa orang Korea langsing-langsing? “ Tanyaku penasaran. “ Oya? Seperti saya juga kan? “. Tukas Mr. Danny sambil terkekeh. Diseruputnya capuccino sebelum menjawab pertanyaanku. “ Itu karena pola makan kami  sehat. Kami gemar makan sayuran. Kimchi.” Ucapnya bangga.

Kimchi adalah menu  tradisional Korea berupa asinan sayur yang difermentasi. Bumbunya berwarna merah dan rasanya pedas-asam-asin. Agak mirip asinan sayuran Bogor, hanya saja rasa manis pada kimchi tidak menonjol. Selama aku berlibur di Korea, setiap kali makan  di resto manapun, selalu ada menu kimchi yang dihidangkan.

“ Jadi kimchi yang selalu ada di  menu makan kita selama beberapa hari di sini  bisa membuat langsing? Waah... kalau begitu aku mau belajar bikin kimchi. Siapa tau aku juga bisa langsing kalo setiap hari makan kimchi .” Kataku malu-malu. “ Nanti ya, kita ke Kimchi  Culinary School.” Sahutnya. “ Disana orang bisa belajar membuat kimchi. Dan nanti akan dijelaskan semua hal tentang kimchi.”

Mr. Danny benar-benar menepati janjinya. Keesokan paginya aku sudah berada di sebuah ruangan  bersama sekitar 20 orang lainnya di Kimchi Culinary School. Di atas meja di depan para peserta kursus membuat kimchi, tersedia  piring lebar dengan satu bonggol sawi  yang sudah terlebih dulu direndam air garam . Lalu ada  bumbu halus berwarna merah. Seorang wanita Korea menjelaskan asal-usul Kimchi, lalu Mr. Danny menterjemahkannya.

Di Korea, hanya ada waktu –waktu tertentu  dimana tersedia sayuran segar. Di musim dingin tak ada sayuran yang tumbuh. Kimchi dibuat untuk menjamin ketersediaan sayuran sepanjang tahun di Korea. Dalam hati aku bersyukur, tinggal di Indonesia yang beriklim tropis dan selalu ada sayuran segar setiap hari.

Ada sekitar 200 jenis kimchi, tapi sayuran yang paling umum dibuat kimchi adalah sawi putih, lobak, dan timun. Menurut asal katanya, kimchi berarti “ sayuran yang  direndam”. Cara pembuatan kimchi tidaklah rumit. Mula-mula sayuran, misalnya sawi putih, dicuci bersih hingga helai-helai daun terdalamnya dengan air mengalir.  Lalu sawi ditaburi garam hingga ke sela-sela daunnya dan direndam dalam air garam selama 6 jam. Kemudian sawi dicuci lagi  untuk mengilangkan garamnya. Selanjutnya, sawi  diolesi merata  dengan bumbu halus yang terbuat dari bubuk cabai merah, jahe, gula, bawang putih,  lobak, daun bawang , sedikit garam dan saus ikan. Sawi yang sudah dibumbui dilipat lalu dimasukkan ke dalam tempayan tertutup dan dibiarkan selama beberapa hari hinggga terjadi proses fermentasi. Setelah didiamkan selama minimal  2 x 24 jam,  kimchi siap dikonsumsi. Pada zaman dahulu, rakyat Korea menyimpan tempayan besar berisi kimchi di dalam tanah sehingga awet untuk persediaan sayuran di musim dingin hingga datangnya musim semi tahun berikutnya.

Lalu, apa istimewa-nya kimchi ini? Karena di buat dari sayuran,  kimchi kaya serat namun rendah kalori. Kimchi juga kaya vitamin A, B1, B2, zat besi,  antioksidan, kalsium dan asam laktat  yang baik untuk pencernaan serta daya tahan tubuh.  Bakteri Lactobacillus yang berperan dalam proses fermentasi pada kimchi menghasilkan asam laktat dalam jumlah lebih tinggi dibandingkan kandungan asam laktat pada yogurt. Selain itu, manfaat yang tak kalah penting adalah   mencegah pertumbuhan kanker  terutama kanker payudara,  dan menurunkan kolesterol .  Pernah ada penelitian pada ayam yang terjangkit virus flu burung. Ayam tersebut kembali sehat setelah diberi makan kimchi.


Kalau menyimak manfaat yang terdapat dalam kimchi, pantas saja orang-orang Korea sebagian besar bertubuh langsing dan sehat. Rata-rata orang Korea menghabiskan 40 pon kimchi dalam setahun. Jarang ada orang Korea yang tahan tidak mengkonsumsi kimchi untuk waktu yang lama. Contohnya, Mr. Danny. Dia tetap mengkonsumsi kimchi buatan istrinya  selama 15 tahun tinggal di Indonesia. Mengkonsumsi kimchi telah menjadi tradisi yang sulit dipisahkan dari orang Korea. Kimchi merupakan salah satu dari 5 makanan tersehat di dunia, selain  minyak zaitun, yogurt, kedelai dan lentils (sejenis kedelai) menurut versi Health Magazine. Mau sehat dan langsing? Makan kimchi yuk!


Romantisme Nami Island

“ A couple who travel together, grow together” 

Demikianlah sebuah kutipan yang di tulis oleh A. Fuadi dalam bukunya “ Rantau 1 Muara”.  Seperti juga hal yang aku yakini bersama suamiku, si Akang,  saat kami melakukan travelling berdua.  Melalui travelling kami  bisa mengembangkan hobi. Aku hobi menulis, dan suamiku hobi photography. Dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang indah, aku bisa memperoleh ide menulis, dan suami bisa menyalurkan hobi memotret landscape maupun foto untuk dokumentasi pribadi.

Perjalanan yang  kami lakukan di bulan November 2013 adalah mengunjungi  Korea Selatan saat musim gugur tengah berlangsung. Mengapa ke Korea Selatan? Tak lepas dari kenyataan bahwa Indonesia sekarang ini tengah dilanda “demam Korea”. Masyarakat Indonesia telah terjangkiti oleh  budaya musik  pop Korea, produk –produk Korea seperti kosmetika,masakan, barang elektronik sampai banjirnya film drama Korea yang begitu di gemari di Indonesia. Kemajuan yang telah dicapai Korea Selatan membuat kami penasaran, bagaimana sebenarnya negara yang dulu miskin dan tertinggal di banding Indonesia, namun kini telah maju menyalip perkembangan perekonomian Indonesia.

Perjalanan menuju Korea Selatan  memakan waktu lebih kurang tujuh jam dengan menggunakan pesawat. Setibanya di bandara Incheon, suhu dingin bertemperatur 7 derajat Celcius segera menyambut. Saat menghembuskan nafas akan terbentuk uap putih akibat perbedaan  temperatur yang mencolok antara gas karbondioksida yang dihembuskan  dengan temperatur udara.

Kabut tipis menyelimuti kota Incheon menimbulkan kesan keheningan yang syahdu. Dari balik kaca jendela bus yang berembun aku memandang suasana Incheon. Saat itu masih jam 8.30 waktu setempat. Waktu di Korea Selatan lebih cepat 2 jam dibandingkan di Jakarta. Deretan bangunan berbentuk segi empat terlihat disepanjang jalan. Aku tak tahu pasti apakah itu kantor, toko atau rumah makan karena tulisan pada bangunan-bangunan itu semuanya menggunakan aksara Korea berbentuk bulat dan kotak. Bangunan-bangunan itu tutup, belum terlihat  ada aktivitas, mungkin karena masih pagi.

Kami langsung menuju ke pulau Nami. Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam,  akhirnya bus berhenti di suatu tempat. Kami turun dari bus sambil membawa peralatan photography, lalu tempat pertama yang dituju adalah : toilet! Ya, tak ayal lagi, udara yang begitu dingin membuat kami lebih sering buang air kecil. Setelah memperoleh tiket, kami berjalan menuju sebuah dermaga yang sudah dipadati oleh wisatawan lainnya. Disana kami  menunggu kapal datang untuk menyeberangkan kami ke pulau Nami.

Kapal ferry yang membawa kami ke pulau Nami terdiri dari 2 lantai. Ada ruangan yang berbentuk bundar dengan tempat duduk yang melingkar mengikuti bentuk ruangan. Tapi aku dan suamiku tidak memilih duduk di dalam ruangan karna kami ingin menikmati pemandangan di luar. Di sekeliling kapal dipasang bendera-bendera dari berbagai negara, misalnya Malaysia, Singapura, Jepang, Philiphina,dll. Ada juga bendera merah putih disana.
Kapal Penyeberangan ke Nami Island

Hanya butuh 5 menit saja untuk tiba di pulau Nami . Begitu turun dari kapal ada sebentuk gapura bertuliskan aksara Korea. Suasana musim gugur di pulau Nami segera menyambut.

Aku dan Akang berjalan berdampingan menikmati suasana. Meski banyak orang di sana, tapi  terasa hening. Suasananya menentramkan. Aura romantisme pulau ini demikian kental.  Dalam hati aku bersyukur bisa datang ke sini bersama si Akang.


Sebuah  areal terbuka seperti lapangan yang sangat indah telah mempesona mataku.  Bumi tempat kaki berpijak dipenuhi oleh guguran daun-daun berwarna merah, coklat, hijau kekuningan dan kuning. Daun-daun yang masih berada di ranting pepohonanpun berwarna-warni. Ada pohon yang  tak lagi berdaun karena seluruh daun telah gugur ke tanah. Suasana yang demikian terlihat sangat indah.



Pulau Nami ditumbuhi pohon-pohon chestnut, murbai ,poplar, cemara, bunga-bungaan dan lain-lain. Di Pulau ini juga banyak terlihat tupai, kelinci, burung unta ,  bebek, dan burung merak yang hidup bebas.

Sebenarnya Nami Island hanyalah pulau kecil yang luasnya 430.000 meter persegi, dan diameternya sekitar 4 Km. Menurut sejarahnya “Nami’ adalah nama seorang jendral berusia 28 tahun yang sangat setia kepada Kaisar Sejo,Kaisar ke tujuh dalam dinasti Joseon.Tapi karena fitnah keji, sang Jendral dibunuh oleh orang suruhan Kaisar. Setelah dibunuh, sang Kaisar baru mengetahui bahwa Jendral Nami bukanlah pengkhianat dan koruptor sebagaimana informasi yang diperolehnya. Atas penyesalan dan permintaan maafnya, Sang Kaisar menghadiahkan pulau kecil ini kepada keluarga Jendral Nami.

Aku berjalan sambil memperhatikan deretan restoran dan coffe shop di pinggir jalan. Sekelompok wisatawan duduk-duduk menikmati minuman panas dibangku-bangku kayu yang nyaman. Mereka terdiri dari anak-anak muda dari berbagai ras. Ada yang berambut pirang  dan bermata biru, tapi ada juga yang berwajah melayu dan oriental.

Hawa dingin membuat kami kelaparan. Apalagi saat itu memang sudah waktunya makan siang.  Kami menuju sebuah restoran yang kabarnya cukup terkenal dengan menu andalannya di Pulau Nami ini. Namanya resto Seomhyanggi.  Di resto ini kami menikmati menu istimewa : iga ayam bakar yang lezat. Ceritanya ada disini

Setelah  menikmati makan siang  kami melanjutkan jalan-jalan menikmati suasana indah di Nami Island sambil berfoto-foto. Saat itu  mataku tertumbuk pada gambar kubah berwarna hijau bertuliskan “Musolla” yang tertempel di pintu Nami Library. Kami berdua berseru senang. Bagi muslim seperti kami, melihat ada tempat untuk shalat di negeri orang ibarat menemukan oase di padang pasir. Kami pun memasuki bangunan itu lalu melaksanakan shalat.

Lega rasanya  telah melaksanakan shalat.  Shalat terasa istimewa karena dilakukan di belahan bumi yang berbeda dari tempat kami biasanya.  Belahan bumi dimana muslim adalah kaum minoritas.  Ada semacam sensasi rasa yang sulit kuungkapkan, seolah ada energi baru yang menggetarkan jiwa.  Suasana hening, syahdu dan dingin, rasanya makin mendekatkan kami pada Sang Pencipta.  

Nami Library di mana musholla berada  adalah perpustakaan anak-anak yang ditata sangat cantik dengan rak buku menjulang sampai ke langit-langit. Buku-buku berwarna-warni dipajang di rak itu. Di dekat rak buku terdapat terowongan dan jembatan kecil untuk anak-anak bermain. Selain itu, ada panggung untuk menggelar pertunjukan boneka. Panggung itu terletak di ruangan yang bergambar gajah-gajah berwarna cerah. Sudah dapat dibayangkan, anak-anak pasti akan senang sekali berada disini!

Sesi pemotretan berlanjut. Rasanya ingin merekam setiap detik, setiap sudut dan suasana pulau indah ini.  Aku dan Akang bergerak kian kemari, berseru-seru senang ketika menangkap  pemandangan yang patut diabadikan. 

Di pulau ini terdapat deretan pohon cemara yang telah menjadi sangat populer sejak dijadikan setting film drama Korea “ Winter Sonata”. Sepertinya sudah menjadi keharusan untuk berfoto di lokasi itu bila berkunjung ke Nami Island.

 “Foto di sini, Kang! Eh di sana juga. Terus ke sebelah sana ya... waaah... cantik semuanyaa!” Seruku kegirangan.

“Sst, jangan norak, Neng. “ Bisik Akang. Tangannya sibuk mensetting kamera.

“Biarlah, Kang. Sekarang saatnya norak-norak bergembira!” Teriakku.

Di satu titik dimana terdapat patung seorang Ibu yang menyusui anaknya, aku bergaya lagi. Entah berapa kali jepretan camera si Akang melukis gambarku. Syukurlah si Akang senang-senang saja meladeni istrinya yang kena penyakit narsis tingkat kronis.

Seorang nenek  berwajah oriental dengan sweater hijau melemparkan senyumnya melihat kelakuanku. Dia berdiri mengawasi aku seperti menunggu.

“Kang, nenek itu kenapa ya memperhatikan Neng terus? Memangnya ada yang aneh?” Tanyaku.
“Bukannya aneh, Neng.  Sudah selesai belum sesi fotonya. Si Nenek ini pengen gantian berfoto disitu! Masak nggak ngerti sih?”

“Oalaah...hehehe...kenapa dia nggak bilang, ya?” Sahutku cengengesan. Cepat-cepat aku menepi dari dekat patung besar itu.

“Memangnya Neng bakal mengerti kalau dia bilang? Memangnya Neng bisa bahasa dia? Sepertinya dia  orang Jepang.” Akang mengangsurkan tangannya memberi isyarat pada nenek itu.

 Eh,ternyata benar . Dia langsung mengambil posisi di tempat aku berdiri tadi. Seorang anak muda   menjepret camera poketnya mengambil gambar si Nenek.

Hehehe, maaf ya, Nek...

Hari beranjak sore. Aku dan Akang melepas lelah duduk dibawah pohon. Ransel berisi camera dan lensa-lensa yang beratnya 11 kg itu kami letakkan di tanah yang berlapis guguran daun-daun kuning.

Duduk  berdua di bawah pohon berdaun warna-warni, di tengah udara dingin, dan keheningan alam, lalu diam tanpa kata. Tak perlulah berkata, karena alam telah mengungkapkan berjuta rasa.


Angin bertiup mengantarkan hawa dingin menusuk, lalu sebuah daun merah lepas dari tangkainya, melenggok gemulai, turun ke bumi  dengan gerak perlahan.

Aku memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam. Jemariku dalam genggaman Akang. Hangat.
Bagaimanalah aku mengungkapkan rasanya, ya. Pantas saja pulau Nami dijadikan setting drama Korea yang bertema cinta dan romantis habis itu.

Maka,kukatakan padamu, Kawan! Bagi yang berencana mengunjungi Korea Selatan dan Nami Island di musim gugur, datanglah bersama suami atau istri ! Lalu  bersiaplah jatuh cinta lagi, pada orang yang sama....