Rabu, 16 September 2009

Dea dan Layang-layang



Ramadan hampir berlalu. Empat hari menjelang lebaran Idul Fitri, kesibukan umat muslim bertambah. Mulai tercium aroma lezat kue-kue dari rumah-rumah, pertanda sang ratu rumah tangga sedang memanggang aneka kue untuk persiapan lebaran. Mall penuh sesak, pasar tradisional lebih sesak lagi. Toko-toko kue kebanjiran pembeli. Tradisi merayakan lebaran sudah menyatu dengan masyarakat Indonesia.

Anak-anak kecil sibuk mencoba baju lebaran. Mematut-matut diri di muka cermin dengan baju barunya, tak sabar ingin memakainya di hari lebaran. Sebagian yang lain sibuk menghitung-hitung banyaknya uang yang bakal mereka dapatkan dari tradisi “salam tempel” atau angpao di hari lebaran. Lalu sibuk berfikir akan dibelikan mainan apa uangnya nanti.

Anak-anak yang lain sudah tak sabar ingin mencicipi hidangan lebaran. Kue kastagel, putri salju, nastar, kacang mete, kue coklat, opor ayam, ketupat, dan kue-kue basah yang lezat mengundang selera.

Tapi, anakku Dea berbeda dengan yang lain. Si Tomboy ini tak peduli dengan baju baru, salam tempel, kue-kue dan segala aktivitas menjelang lebaran. Di awal Ramadan, ketika sore menjelang saat berbuka, dia telah terpesona melihat sebentuk kertas yang meliuk-liuk di udara. Kertas berbentuk belah ketupat itu dicat warna warni, melayang dan menukik, melambai-lambai mengikuti arah angin di langit. Benda itu bernama layang-layang.

Setiap sore dia menanti sang layang-layang di kejauhan menari-nari di langit. Lalu suatu sore dia berteriak, lalu berlari bagai dikejar setan, menerobos rerumputan di lapangan dekat rumah lalu menghilang di balik gundukan tanah. Tak lama, dengan baju kotor dan rambut kusut masai di berlari pulang ke rumah, membawa layang-layang putus, yang telah robek dan basah. Wajahnya terlihat gembira dan puas. Dia menunjukkan layang-layangnya pada Bapaknya. “Pak! Dea dapat layang-layang! Ayo kita main layang-layang! “ Teriaknya girang.

Sayang sekali, layang-layang yang telah sekarat itu tidak dapat dimainkan lagi. Lalu wajah Dea muram. Besok paginya, aku lihat dia sibuk dengan kertas HVS dan lidi, juga lem, spidol dan gunting. Ketika selesai, dengan bangga dia memamerkan hasil karyanya. “Mama! Dea bisa buat layang-layang! Ayo main layang-layang!” Teriaknya.

Layang-layang karya Dea

Sekali lagi, sayang seribu sayang... Layang-layang karya Dea tidak bisa diterbangkan. Kertasnya terlalu tebal dan bentuknya tak memenuhi standart layak terbang buat layang-layang. Deapun kembali muram.

Akhirnya, aku dan suamiku iba juga melihat Dea. Maka dimulailah perburuan layang-layang. Sore hari, sambil menunggu waktu berbuka tiba, Dea dan bapaknya berkeliling naik motor mencari penjual layang-layang. Mereka menyusuri pasar tradisional, dan juga mall-mall. Tapi hari itu mereka gagal. Tak ada seorangpun penjual layang-layang mereka temui di tempat-tempat itu.

Keesokan harinya, perburuan dilanjutkan. Kali ini di mall dan pasar yang lain di Bogor. Tapi kali ini juga gagal lagi. Dea cuma bisa pulang dengan wajah cemberut. Lalu di kejauhan dia melihat layang-layang putus diterbangkan angin. Seketika itu juga dia berlari kencang, tak perduli kakinya kotor karena tak sempat memakai sandalnya. Kelihatannya dia masih juga kurang beruntung, layang-layang itu memang bisa diambilnya, tapi lagi-lagi sudah robek.

Suatu sore dia pulang dengan membawa layang-layang putus di tangannya. Layang-layang itu masih bagus, tidak sobek. Semangatnya kembali membara, dia sibuk mencari-cari benang di lemari dan laci-laci. Lalu dengan semangat dia menyambungkan layang-layang itu dengan benang. Weleh...weleh... Deaku sayang, Deaku malang, tentu saja dia gagal menerbangkan layang-layang itu karena benangnya putus melulu. Dia tak tahu kalau menerbangkan layang-layang harus dengan benang khusus, bukan benang untuk menjahit baju!

Suatu sore, suamiku ingin membeli kue-kue kecil untuk buka puasa sambil ngabuburit menunggu waktu buka puasa. Dengan motor dan Dea yang nangkring dijok belakang dia berkeliling. Kali ini masuk ke perkampungan padat penduduk di kelurahan Mulya Harja. Ketika menyusuri jalan disepanjang rel kereta api, di sebuah gubuk kayu yang kumuh, ada pemandangan yang sangat menarik yang membuat Dea terlonjak girang. Di teras gubuk itu ada bale-bale kayu, yang diatasnya terjejer beraneka warna layang-layang dari kertas roti. Segera saja mereka mampir di gubuk itu dan memborong 10 layang-layang impian Dea.

Kali ini aku melihat senyum puas di wajah Dea. Tak bosan-bosan dipandanginya ke 10 layang-layang itu. Tapi lagi-lagi Dea masih belum bisa memainkan layang-layang itu, karena belum ada benangnya.

Keesokan harinya, suamiku pulang ke rumah sambil membawa satu gulungan benang layang-layang. Tak terperikan betapa gembiranya Dea. Setelah berhari-hari berharap, akhirnya hari itu dia bisa benar-benar mewujudkan keinginannya. Ketika layang-layangnya telah menari-nari di langit sore, dia berteriak girang, tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak tak mampu menahan kegembiraannya yang membuncah.

Empat hari menjelang Ramadan, Dea kembali muram. Aku heran, apalagi yang difikirkan si tomboy-ku ini. “ Dea, kenapa,Nak?” Tanyaku. “ Dea pengen ngajak Bapak jalan-jalan lagi, cari kacamata.” Katanya. Aku heran, kok kacamata? Apa Dea sudah bosan dengan layang-layangnya? Demikian fikirku. “ Buat apa kacamata?” Tanyaku lagi. “ Ya, buat dipakai dong! Dea perlu kacamata hitam, untuk dipakai waktu main layang-layang supaya gak silau kena sinar matahari!” Teriaknya.

Oalaaah.... Dea..Dea...