Selasa, 30 Juni 2009

Mengenang Sahabatku, Hendro Darsono


Hendro Darsono adalah salah satu temanku dari SMA3 Palembang yang cerdas dan tekun. Meskipun cuma sempat 1 tahun sekelas dengan dia, di kelas 1, tapi aku mengenalnya sebagai anak yang baik, pendiam, cerdas dan berprestasi. Tidak banyak yang aku ketahui tentang dia, karena dia sangat tertutup. Ada beberapa teman wanita yang menaruh hati pada Hendro, tapi kelihatannya Hendro tak menanggapi. Tak pernah aku melihat letupan emosi dari Hendro, dia selalu tampak tenang dan kalem.


Waktu itu, dia tidak pernah ikut pelajaran praktek olahraga. Aku yang tidak tau kondisinya, sempat juga “iri” karena disaat kami semua harus lari keliling lapangan, berpanas-panas, capek dan berkeringat,dia cuma duduk saja di kelas.Dari teman-teman yang lain aku cuma tau bahwa dia kurang sehat, ada masalah dengan tulangnya sehingga dia tidak boleh melakukan aktivitas yang berat.


Pada saat kami duduk di kelas 3, aku dan Hendro di utus sekolah untuk ikut pemilihan murid teladan tingkat SMA. Jujur saja, saat itu aku merasa tak pantas, berbeda dengan Hendro yang menurutku memang cocok jadi murid teladan. Tapi karena desakan guruku waktu itu, akhirnya aku bersedia. Aku masih ngat bagaimana kami bersama-sama datang ke tempat test dan wawancara di sekolah lain. Dia kelihatan sehat dan siap, meskipun akhirnya kami berdua gagal menjadi siswa teladan, tapi aku tahu Hendro memperoleh nilai yang cukup tinggi sebagai kandidat siwa teladan.


Setelah tamat SMA, aku tahu Hendro diterima tanpa test di Universitas Sriwijaya, fakultas Ekonomi. Tapi kemudian dia mengundurkan diri, karena tubuhnya tak kuat bila harus menjalani masa perkuliahan yang melelahkan.


Bertahun-tahun kemudian, aku dapat kabar lagi bahwa dia ternyata sudah menyelesaikan pendidikan S1 Ekonomi lewat jalur Universitas Terbuka.


Akhir tahun 2007, aku dapat kabar bahwa Hendro sudah menerbitkan beberapa buku. Aku langsung tertarik untuk menghubungi Hendro, karena ingin menimba ilmu dari dia. Maka setelah dapat nomor ponselnya, aku coba hubungi dia.


Suara di seberang sana masih seperti dulu, tenang, hati-hati dan terkontrol. Dia masih Hendro yang dulu. Dia cerita bahwa meskipun dia hanya di rumah saja, tapi banyak sekali kegiatan yang dilakukannya. Dia mengajar anak-anak SMP, SMA, bahkan tamatan S1 dan S2 juga banyak yang belajar darinya. Hendro yang cerdas dan tekun, itulah dia. Selain itu dia bertanya tentang kegiatanku. Dengan malu-malu aku bilang bahwa aku ibu rumah tangga. “Wah, gak kreatif dong. Mau gak aku ajari bikin blog? Bisa buat cari dollar lho... cocok buat ibu rumah tangga sepertimu, gak perlu meninggalkan rumah, tapi bisa juga menghasilkan uang.” Begitu katanya. Lalu dia menjelaskan bagaimana blog bisa dipakai buat mengais dollar. “ Dewi kan sudah bisa bahasa Inggris, dan bisa menulis. Artinya sudah ada modalnya, kalo mau datang saja ke rumahku.”


Hari selanjutnya aku bertemu Prima Maya Sari, sahabatku di SMA. Ketika aku ceritakan tawaran Hendro itu, Prima langsung semangat, dia juga mengajak Indrawati, teman kami juga untuk ikut bergabung belajar bersama Hendro.


Di awal tahun 2008, Aku, Prima dan Indrawati rajin menyambangi rumah Hendro. Ada 10 kali pertemuan untuk belajar berbagai hal tentang internet dan terutama blog. Setiap petunjuknya aku ikuti sampai aku bisa membuat blog dan bahkan bisa juga mengikuti jejaknya mengais dollar, meskipun belum sebanyak yang dihasilkannya tapi aku sudah membuktikan bahwa hal ini bisa aku lakukan.

Aku sering juga berkomunikasi lewat telepon, e-mail dan sms, menanyakan berbagai hal. Dia juga sering mengirimiku tips-tips tentang blog dan menjaring job dan juga software yang mendukung blog.


Hingga suatu hari, setelah beberapa lama tidak ada kabarnya, dia mengirimi aku sms. “ I’m somewhere, waiting for a miracle..” begitu bunyi sms-nya. Aku langsung merasa tak enak, aku langsung mencoba menghubungi ponselnya, tapi tak ada jawaban. Berkali-kali tak diangkatnya. Akhirnya aku kesal juga. Aku kirimi dia sms bernada marah. Barulah dia jawab, bahwa dia dalam kesulitan besar. Tak lama kemudian, ponselku berdering, dari Hendro. “ Hallo, ...” lalu diam. Aku segera merasakan gelombang kesedihan yang dahsyat di seberang sana. Terbata-bata dia bercerita bahwa dia baru saja menjalani operasi besar yang menghabiskan tabungannya, dengan harapan setelah ini dia akan bisa berjalan lagi, tapi... hasilnya malah sangat menyakitkan dan dia saat ini lumpuh total, dari pinggang ke bawah, dia tak dapat merasakan sentuhan, dan tak dapat mengontrol buang air besar maupun kecil. Dunia bagaikan runtuh bagi Hendro.. Air mataku mengalir, tapi aku tak ingin dia tau aku menangis. Aku berusaha menguatkannya, memberikan harapan bahwa Tuhan bisa menyembuhkan semua penyakit. Aku ingatkan dia agar tak berhenti berusaha mencari jalan kesembuhan.


Keesokan harinya aku datangi dia di rumah sakit. Dia terbaring, pucat, sedih dan lesu. Tak banyak yan dibicarakannya, aku ajak ibunya keluar ruangan dan kami bertangis-tangisan. Ya Allah... betapa berat cobaan hidup Hendro Darsono.


Hari-hari berlalu, dukungan dan bantuan teman-teman mengalir. Ada yang memberikan dana ada juga yang memberikan obat alternatif dan supplemen kesehatan. Beberapa kali aku main ke rumahnya,emosinya up and down. Terkadang dia terlihat bersemangat dan ingin terus menjalani theraphy, tapi kadangkala dia terlihat lesu dan banyak diam.


Pada kesempatan aku dan suami berangkat menunaikan ibadah haji di akhir tahun 2008, aku berdoa buat kesembuhannya, di depan Ka’bah, juga di tempat-tempat lain di tanah suci. Aku mohon kesembuhan dan secercah kebahagiaan buat sahabatku Hendro.


Sehari menjelang kepindahanku ke Bogor, aku sempatkan mengunjungi dia, dan memberi sovenir untuk kenang-kenangan. Aku yang di temani Prima, dan seorang teman SD-ku bisa melihat dengan jelas betapa pucat dan lesunya sahabatku itu. Dia bilang sudah dua minggu tidak aktif mengurus blog-blognya. Lalu dia banyak diam. Aku dan Prima hanya ngobrol dengan ibunda Hendro yang menjelaskan bahwa Hendro demam lagi. Hanya sebentar aku bertemu dengannya, karena masih banyak hal lain yang harus aku urus untuk kepindahan ke Bogor. Itulah saat terakhir aku bertemu Hendro.


Pagi ini, 30 Juni 2009, ponselku berdering. Nama Hendro Darsono terlihat dilayar ponselku. Aku sempat senang, karena mengira dia yang menelepon, ternyata suara isak ibundanya yang mengabarkan Hendro Darsono sudah berpulang ke Rahmatullah. Tak dapat kutahan derai air mataku, sempat terbersit kenapa Tuhan tak mengabulkan doaku dan memberi kesembuhan bagi Hendro... Tapi aku tersadar bahwa Tuhan tau apa yang terbaik buat hambaNya. Selamat jalan, sahabatku. Semoga ilmu yang telah kau ajarkan pada aku dan murid-muridmu yang lain akan menjadi amal jariah dan pahala yang tak terputus buatmu. Semoga Allah Swt mengampuni dosamu dan memberimu tempat yang lapang di surga. Amiin....

Rabu, 10 Juni 2009

Membahagiakan Anak? Cuma Rp. 2000,-!

Sore itu saat bersantai di teras rumah bersama anak-anak, lewatlah tukang odong-odong di depan rumah. Segera saja Rafif merengek minta naik odong-odong. Kebetulan si Bapak tukang odong-odong itu mendengar rengekan Rafif, jadi dia berhenti di depan rumah. Rafif dengan gembira langsung naik ke odong-odong.

Aku sebenarnya agak khawatir, takut odong-odongnya patah, tak sanggup menahan beban berat tubuh si bungsuku itu yang sudah mencapai 28 kg. Lalu, mulailah sang bapak mengayuh odong-odongnya. Kasihan juga melihat bapak itu harus mengayuh lebih kuat, karena bobot Rafif yang berat. Tapi lihatlah keceriaan anakku itu, dia ikut bersenandung riang mengikuti lagu yang diputar seiring kayuhan odong-odong.



Selesai satu lagu, Rafif masih tak mau turun, maka si Bapak sekali lagi mengayuh odong-odongnya sampai selesai satu lagu lagi. Rafif tertawa gembira, dia turun dari odong-odong dengan puas. “Berapa, Pak?” tanyaku pada si Bapak. “ Rp. 2000,- bu.” Katanya sambil mengelap peluh di jidatnya. Kasihan juga bapak itu, lalu aku bayar dengan memberi lebih dari yang diminta.



Kalau difikir, sungguh sederhana cara membuat anakku gembira, cukup Rp. 2000,- aku sudah bisa melihat luapan kegembiraannya. Pancaran kegembiraan yang ikut juga menghangatkan hatiku. Terimakasih Pak tukang odong-odong.....

Selasa, 02 Juni 2009

Would You Be a Good Wife or Husband?

I Would Be a Good Spouse 70% of the Time
I have what it takes to be an amazing wife.
I'm caring, patient, giving, and romantic. I'm willing to work for a marriage.

More than anything, I'm not about to let your ego ruin a relationship.
I'm humble and unselfish. And that's the key to being a good spouse.

Click here to know whether You Be a Good Wife or Husband